![]() |
Ilustrasi : Google |
Cerpen
: Kartika Catur
Pelita
Siapa yang bisa mengubah goresan
takdir yang terpahat di telapak tangan
manusia. Tolonglah aku Tuhan.
Namaku Manohara. Tuhan telah menganugerahiku paras jelita. Tubuh proporsional, rambut panjang legam berkilau, dan
otakku yang cemerlang.
Papaku pemilik pabrik furniture terbesar di kota ini. Aku dibesarkan dalam
limpahan harta, perhatian dan kasih sayang, dikelilingi makhluk yang mengulurkan tali
persahabatan atau malah lebih. Seperti kumbang-kumbang itu yang tak bosan
merayu.
Sampai aku menjadi mahasiswi, usia 19 tahun, belum
pernah pacaran, karena belum pernah
jatuh cinta. Status yang jomblo sering jadi bahan godaan Anne dan
Putri, sahabat karibku.
“Mengapa sih suka ngejomblo?”
“Suka aja dong. Bebas, lepas.”
“Mengapa sih enggak pacaran, Mano?”
“Pacaran tuh asik.”
“Ada yang nemenin, nganterin, date, nonton….”
“Trus…. ciuman.”
“Aku ogah dicium cowok! Ngeri!”
Jujur sampai melewati usia sweet seventeen aku memang belum pernah
dicium cowok. Jika Anne dan Putri berkicau tentang first kiss mereka, aku
memilih menutup telinga. Kadang
aku berpikir, aku takkan pacaran dan
ciuman dengan cowok!
“Pikiran yang aneh!” celetuk Anne.
“Aku yakin one day kau kan kena karma!” senyum Putri.
“Karma? Karma apa?”
Putri lalu bertutur tentang karma
menurut definisinya. ”Karma tuh kalau kau dicium kelak juga mencium. Wekwekwek.”
* * *
Aku lupa-lupa ingat sejak kapan perasaan aneh itu mengalir dalam alur darah tubuhku.
Pertama kali bertemu di parkiran kampus, ketika bukuku jatuh dan ia
mengambilnya lalu mata kami beradu. Seperti ada magnet yang saling menarik,
membetot jiwa, sehingga aku ringan mengulurkan tangan dan menyebut nama. “Manohara.”
“Manohara Odelia Pinot?”
“Enggaklah. Nama depan aja sama.”
“Tapi kamu secantik dia.”
Tersipu, merah merona warna pipiku.
“Namaku Tampan.” Mantap dan simpatik
ia mengenalkan diri.
“Kamu parkir?”
“Ya. Hampir setahun di kampus ini.”
Hei, mengapa selama waktu yang
lumayan panjang aku tak pernah melihat cowok yang menurutku lebih pantas menjadi
pemain sinetron atau anak band daripada bermain peluit sebagai tukang parkir.
“Mengapa bengong?”
“Enggak. Kayaknya aku enggak
pernah liat kamu.”
“Tapi aku sering melihat kamu.”
”Ya.”
”Bareng temanmu yang gendut dan
kurus itu.”
”Ya.”
Lusa kemudian dia muncul di tempat
kosanku. Malam Minggu depannya kami nge-date,
dan resmi pacaran. Anne dan Putri yang pertama menyalami. Bukan memberi
selamat, tapi malah menebar nasihat.
“Dulu ketika aku enggak punya pacar, kalian bingung. Sekarang ketika aku punya pacar kalian ribut.”
“Dengarkan kami Mano.”
“Kalian aneh.”
“Bukan itu maksud kami, Mano.”
“Kami pikir…”
“Tampan enggak pantas untuk kamu.”
“Oya? Karena dia bukan anak
kuliahan? Enggak punya mobil dan sejuta
kekurangan lainnya?
“Bukan. Tapi kami dengar gosip di luaran tentang dia.”
“Kau pernah dengar kabar kalau
Tampan sudah married dan punya anak.”
“Ya,” jawabku datar. Tampan sosok yang jujur. Inilah yang membuatku suka.
“Kamu gak risi berpacaran dengan suami orang?”
“Siapa bilang begitu. Istri kerja di Arab. Sementara anak-anaknya dirawat
mertuanya, yang sebentar lagi akan jadi mantan, karena Tampan tengah mengurus perceraiannya.”
“Kau percaya?”
“Apakah aku harus curiga?”
“Mano sebagai sahabat kami ingin
kamu…”
“Please deh jangan ganggu aku. Urusin aja urusan kalian
masing-masing!”
Anne dan Putri berpandangan. Aku
tidak peduli.
* * *
Sungguh aku sangat takut
ditinggalkan oleh Tampan.
Kau harus percaya kalau sehari aku
tak bertemu dengannya aku merasa hatiku hampa. Tak ingin makan-minum, tak bisa
tidur, pergi kuliah pun enggan. Bertemu Tampan semangat hidupku seperti mobil
diisi bensin, melaju kencang.
Karma itu mungkin benar telah menerpa.
Aku malu kalau harus mengaku, akulah
yang pertama mencium Tampan.
Ketika di taman di sudut pantai itu, ketika kami menghabiskan senja
pada satu pantai nan jelita, ketika aku terpesona mengamati wajah Tampan yang
memang benar-benar tampan. Aku tergoda
untuk menyentuh pelataran wajah menawan itu dengan bibirku. Kemudian hei, aku
akhirnya punya kisah first kiss.
* * *
Kuberikan kunci mobilku. Tampan yang mengemudi. Ia ingin mengajakku ke kampung halamannya.
Satu kota kecil di kaki Gunung Halimun.
Ibunya sakit keras dan ia harus
datang.
Hei aku bersorak gembira karena Tampan akan mengenalkanku pada keluarganya. Siapa
yang tak bahagia sebentar lagi bertemu calon mertua.
Sungguh aku memimpikan menikah muda.
Aku ingin memiliki anak dari lelaki
yang kucinta.
Mobil melaju. Jalan bebas
hambatan. Tapi di tengah jalan yang sepi Tampan tiba-tiba menghentikan laju
mobil.
“Sayang sepertinya mesinnya ngadat nih. Biar aku periksa.“
“Aku…”
“Kamu di dalam mobil saja sayang. Gak usah takut. Kan ada
aku….”
Aku mengiyakan. Tampan turun dari
mobil.
Tampan sedang memeriksa mesin
mobil, ketika tiba-tiba 4 orang preman muncul dan mengeroyoknya. Tampan melawan. Mereka baku hantam. Aku bingung tak
tahu apa harus dilakukan. Aku ke luar dari mobil, aku ingin menolong tampan.
Aku menjerit ketika satu benda keras
menghunjam kepalaku. Itulah kali terakhir aku melihat Tampan.
* *
*
Hei, ada apa ini? Aku menyibakkan rambut, mengurai kegelapan
dan kebingungan! Mengapa orang-orang
berdatangan. Ada polisi, ada wartawan. Ada masyarakat awam, ada reporter TV.
“Telah ditemukan sesosok mayat di
tengah jalan tol. Pada rerimbunan pohon seorang penduduk menemukan mayat berjenis kelamin.”
Aku menyibak orang-orang yang berkerumun.
Aku penasaran. Siapa yang telah menjadi korban kriminal preman jalanan? Aku tak
ingin hal buruk terjadi pada Tampan. Aku berada tak jauh dari mayat yang sudah
membusuk, tapi wajahnya masih bisa dikenali.
Aku terkesima. Aku seperti
terpelanting ke dunia lain ketika samar-samar aku masih bisa mendengar suara reporter yang seperti datang dari dunia
lain dan semakin melemparkanku dalam dunia berkabut, gelap, asing dan tak
bertepi.
“Dari KTP yang ditemukan dalam
pakaian korban. Korban yang berusia 19 tahun bernama Manohara Wijaya. Mahasiswi sebuah PTN
ternama.”
Aku berteriak histeris. Mengapa
tak ada yang mendengar teriakan, kepedihan dan dan keputuasaanku.
* * *
Kota Ukir, 23
Juni 2011
- 1 Februari 2015