Hikayat Ciuman Pertama - Soeara Moeria

Breaking

Senin, 14 September 2015

Hikayat Ciuman Pertama

Ilustrasi : Google

Cerpen : Kartika Catur Pelita

Siapa yang bisa mengubah goresan takdir yang terpahat di  telapak tangan manusia. Tolonglah aku Tuhan.

Namaku Manohara. Tuhan telah menganugerahiku  paras jelita. Tubuh  proporsional, rambut panjang legam berkilau, dan otakku yang cemerlang.

Papaku pemilik  pabrik  furniture  terbesar di kota ini. Aku dibesarkan dalam limpahan harta, perhatian dan kasih sayang,  dikelilingi makhluk yang mengulurkan tali persahabatan atau malah lebih. Seperti kumbang-kumbang itu yang tak bosan merayu.

Sampai aku menjadi  mahasiswi,  usia 19 tahun, belum pernah pacaran, karena  belum pernah jatuh cinta.  Status  yang jomblo sering jadi bahan godaan Anne dan Putri,  sahabat  karibku.

“Mengapa sih suka ngejomblo?”
    
“Suka aja dong. Bebas, lepas.”
     
“Mengapa sih enggak pacaran, Mano?”
     
“Pacaran tuh asik.”
    
“Ada yang nemenin, nganterin, date, nonton….”
     
“Trus…. ciuman.”
    
“Aku ogah dicium cowok! Ngeri!”
      
Jujur sampai melewati usia sweet seventeen aku memang belum pernah dicium cowok. Jika Anne dan Putri berkicau tentang first kiss mereka,  aku memilih menutup telinga. Kadang aku  berpikir, aku takkan pacaran dan ciuman dengan cowok!
   
“Pikiran yang aneh!” celetuk Anne.
   
“Aku yakin one day kau kan kena karma!” senyum Putri.
   
“Karma? Karma apa?”
   
Putri lalu bertutur tentang karma menurut definisinya. ”Karma tuh kalau kau dicium kelak  juga mencium. Wekwekwek.”
                                              * * *
     
Aku lupa-lupa ingat sejak kapan  perasaan aneh itu mengalir dalam alur darah tubuhku. Pertama kali bertemu di parkiran kampus, ketika bukuku jatuh dan ia mengambilnya lalu  mata kami beradu.   Seperti ada magnet yang saling menarik, membetot jiwa, sehingga aku ringan mengulurkan tangan dan  menyebut nama. “Manohara.”
     
“Manohara Odelia Pinot?”
     
Enggaklah. Nama depan aja sama.”
     
“Tapi kamu  secantik dia.
      
Tersipu, merah  merona warna pipiku.      
     
“Namaku Tampan.” Mantap dan simpatik ia mengenalkan diri.
     
“Kamu parkir?”
     
“Ya. Hampir setahun di kampus ini.”
     
Hei, mengapa selama waktu yang lumayan panjang aku tak pernah melihat cowok yang menurutku lebih pantas menjadi pemain sinetron atau anak band daripada bermain peluit sebagai tukang parkir.
     
“Mengapa bengong?”
      
Enggak. Kayaknya aku enggak pernah liat kamu.”
      
“Tapi aku sering melihat kamu.”
     
”Ya.”
     
Bareng temanmu yang  gendut dan kurus itu.”
     
”Ya.”
       
Lusa kemudian dia muncul di tempat kosanku.  Malam Minggu depannya kami nge-date,  dan resmi pacaran. Anne dan Putri yang pertama menyalami. Bukan memberi selamat, tapi malah menebar  nasihat.
       
“Dulu ketika aku enggak punya pacar, kalian  bingung. Sekarang ketika aku punya pacar kalian  ribut.”
       
“Dengarkan kami Mano.”
       
“Kalian aneh.”
       
“Bukan itu maksud kami, Mano.”
       
“Kami pikir…”
       
“Tampan enggak pantas untuk kamu.”
      
“Oya? Karena dia bukan anak kuliahan? Enggak  punya mobil dan sejuta kekurangan lainnya?
       
“Bukan. Tapi kami dengar gosip di luaran tentang dia.”
       
“Kau pernah dengar kabar kalau Tampan sudah married dan punya anak.”
       
“Ya,” jawabku datar.  Tampan  sosok yang jujur. Inilah yang membuatku suka.
      
“Kamu gak risi berpacaran dengan suami orang?”
     
“Siapa bilang begitu. Istri  kerja di Arab. Sementara anak-anaknya dirawat mertuanya, yang sebentar lagi akan jadi mantan,  karena Tampan tengah mengurus perceraiannya.”
      
“Kau percaya?”
      
“Apakah aku harus curiga?”
      
“Mano sebagai sahabat kami ingin kamu…”
      
Please deh jangan ganggu aku. Urusin aja urusan  kalian  masing-masing!”
       
Anne dan Putri berpandangan. Aku tidak peduli.
                                                        * * *                                                 
      
Sungguh aku sangat takut ditinggalkan oleh Tampan.
       
Kau harus percaya kalau sehari aku tak bertemu dengannya aku merasa hatiku hampa. Tak ingin makan-minum, tak bisa tidur, pergi kuliah pun enggan. Bertemu Tampan semangat hidupku seperti mobil diisi bensin, melaju kencang.

Karma itu mungkin benar telah menerpa.

Aku malu kalau harus mengaku, akulah yang pertama mencium Tampan.

Ketika di taman di  sudut pantai itu, ketika kami menghabiskan senja pada satu pantai nan jelita, ketika aku terpesona mengamati wajah Tampan yang memang benar-benar tampan.  Aku  tergoda  untuk menyentuh pelataran wajah menawan itu dengan bibirku. Kemudian hei, aku akhirnya punya kisah first kiss.
                                                * * *
       
Kuberikan kunci mobilku.  Tampan yang mengemudi.  Ia ingin mengajakku ke kampung halamannya. Satu kota kecil di kaki Gunung Halimun.
       
Ibunya sakit keras dan ia harus datang.
        
Hei aku  bersorak gembira karena Tampan  akan mengenalkanku pada keluarganya. Siapa yang tak bahagia sebentar lagi bertemu calon mertua.
        
Sungguh aku memimpikan  menikah muda.
        
Aku ingin memiliki anak dari lelaki yang kucinta.
        
Mobil melaju. Jalan bebas hambatan. Tapi di tengah jalan yang sepi Tampan tiba-tiba menghentikan laju mobil.

“Sayang sepertinya mesinnya ngadat nih. Biar aku periksa.“
        
“Aku…”
       
“Kamu di dalam mobil saja sayang. Gak usah takut. Kan ada aku….” 
        
Aku mengiyakan. Tampan turun dari mobil.
       
Tampan sedang memeriksa mesin mobil, ketika tiba-tiba 4 orang preman  muncul dan mengeroyoknya. Tampan  melawan. Mereka baku hantam. Aku bingung tak tahu apa  harus dilakukan. Aku  ke luar dari mobil, aku ingin menolong tampan. Aku menjerit  ketika satu benda keras menghunjam kepalaku.  Itulah  kali terakhir aku melihat Tampan.
                                                   
                                            * * *
       
Hei, ada apa ini?  Aku menyibakkan rambut, mengurai kegelapan dan kebingungan!  Mengapa orang-orang berdatangan. Ada polisi, ada wartawan. Ada masyarakat awam, ada reporter TV.
     
“Telah ditemukan sesosok  mayat di  tengah jalan tol. Pada rerimbunan pohon seorang  penduduk  menemukan mayat berjenis kelamin.”
      
Aku menyibak orang-orang yang berkerumun. Aku penasaran. Siapa yang telah menjadi korban kriminal preman jalanan? Aku tak ingin hal buruk terjadi pada Tampan. Aku berada tak jauh dari mayat yang sudah membusuk, tapi wajahnya masih bisa dikenali.
      
Aku terkesima. Aku seperti terpelanting ke dunia lain ketika samar-samar aku masih bisa mendengar  suara reporter yang seperti datang dari dunia lain dan semakin melemparkanku dalam dunia berkabut, gelap, asing dan tak bertepi.
       
“Dari KTP yang ditemukan dalam pakaian korban. Korban yang berusia 19 tahun  bernama Manohara Wijaya. Mahasiswi sebuah PTN ternama.”
       
Aku berteriak histeris. Mengapa tak ada yang mendengar teriakan, kepedihan dan  dan keputuasaanku.
                                                         
* * *

Kota Ukir, 23 Juni 2011 - 1 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar