Bangkit Usai Jatuh Demi Cinta Sejati - Soeara Moeria

Breaking

Senin, 10 Agustus 2015

Bangkit Usai Jatuh Demi Cinta Sejati


Judul Buku
Diorama Rasa
Penerbit
Bunyan (PT Bentang Pustaka)
Penulis        
Fadhila Rahma
Tahun Terbit
2014
Tebal Buku
x+370
ISBN           
978-602-291-008-4

Emansipasi yang diperjuangkan RA Kartini ternyata belum dinikmati sebagian besar kaum perempuan. Bahkan dalam  wujud pernikahan, ketika emansipasi diartikan sebagai  kesadaran jika lelaki dan perempuan masing-masing memiliki hak dan kewajiban setara sebagai pasangan suami istri, sehingga seyogyanya saling menghargai demi terciptanya perkawinan yang  sakinah, mawadah, warahmah.

Namun pada kenyataannya, jauh panggang daripada api. Bahkan untuk hal-hal kecil dan prinsipal, semisal  mengatur perabot rumah tangga, seorang Kara dipersalahkan gara-gara tak menata bantal-guling sesuai keinganan Pram, suaminya. Atau saat sang istri menyeduhkan kopi dalam cangkir, padahal suami biasa membuat kopi dalam mug. Suami pun marah. Bahkan  kejamnya, ia tak mau membiayai finansial si istri yang notabene merupakan kewajibannya saat akad nikah sudah terjadi.

Trauma
Gara-gara pernikahannya yang seumur jagung gagal, Shankara Prameswari mengalami depresi. Pengalamaan dan perjalanan waktu  menempanya menjadi perempuan karir. Sukses sebagai agen asuransi, pada sisi permukaan pribadinya, ia adalah perempuan muda, cerdas, perhatian, pintar bergaul.

Padahal dalam keping pribadi lainnya, ia merasa terpuruk, setelah pasangan menceraikannya tanpa alasan yang bisa dipahami. Kara menikah dengan Pramana Kurnia Budi tanpa pacaran. Ia mencintai Pram karena lelaki itu  tampan dan mapan.
    
Ironis, ketika Kara tak diberi kesempatan memilih atau pun membela diri, karena suami tanpa ba-bi-bu menceraikannya,  menuduhnya bersalah, padahal baru beberapa bulan menikah. Ia yang mengalami trauma, dan setelah bercerai  tak bisa membuka pintu hati pada  lelaki yang mencoba mendekatinya.
    
Pada sebuah kesempatan Kara bertemu Adrian Purbo Aji,  eksekutif muda, simpatik,  bermasa depan cerah, yang segera ingin menikah. Adrian jatuh cinta pada Kara sejak  pandangan pertama. Ia memburu Kara seperti mengejar layang-layang putus. Setelah  lama berpikir, menimbang dan memilih, berbekal logika, Kara menerima uluran tangan Adrian. Tapi Kara tak membiarkan Adrian merengkuh hatinya.
    
Ketika Adrian terus terang mengatakan  ingin Kara menjadi pendamping hidupnya, Kara pun dilanda kebimbangan. Kara meminta pertimbangan  teman, dan saudara. Kara mengajak diskusi Adrian, seraya menjajaki hatinya, benarkah ia pantas untuk diingini seorang Adrian? Kara  mengajukan beberapa syarat, salah satunya Adrian disarankan belajar mengaji. Adrian menurut.  Padahal memenuhi keinginan Kara bukan jaminan Kara mau dipersuntingnya.
    
Bagian mengejutkannya, secara tersirat Kara berharap aku ikut mengaji seperti dirinya. Repotnya lagi, awalnya kupikir dia menghitung permintaan itu sebagai syarat bagiku untuk menikahinya. Begitu kutanyakan apakah dengan mengaji aku lantas bisa menikah dengannya, ternyata tidak juga jawabnya. Aku frustasi. Kara berusaha menjelaskan kepadaku. Katanya, mengaji akan menjadi pertimbangan yang penting baginya untuk mengambil keputusan. Menurutnya, aku tidak akan rugi sama sekali dengan mengaji ini, bahkan jika akhirnya dia menolak menikah denganku (cover cowok, hal. 65). Ternyata Kara masih  sangat dibayang-bayangi trauma perceraian.
    
Mahadaya Cinta
Ketika Kara mulai bangkit dari jatuh dan mencoba  bersandar pada cinta, seiring konflik satu persatu datang. Ibu Adrian keberatan memberi restu karena status Kara yang seorang janda. Kayak gadis sudah tak ada, pilih janda (cover cowok, hal. 92).
    
Padahal Kara hanya mau menikah, jika orang tua kedua belah pihak merestui. Maka Adrian pun berusaha menempuh berbagai cara demi  mencairkan hati ibunya  agar merestui. Pada batas  kemampuan, Adrian memasrahkan pada Tuhan. Ia ikhlas menerima takdir Tuhan. Seperti Kara, Adrian pun ingin menjadi anak yang berbakti pada orang tua.
    
Apakah Kara akan mengenakan baju pengantin untuk kedua kalinya? Benarkah Adrian hanyalah lelaki keenam yang  menoreh luka di hati Kara? Tak semua yang diimpikan mesti terwujud, walau manusia sudah berusaha. Jika pun takdir sudah berkehendak, Kara dan Adrian hanya bisa menjalaninya.
    
Novel setebal 370 halaman ini ditulis dengan  point of view (sudut pandang)  orang pertama. Sehingga pembaca seolah bisa merasakan riak gejolak yang dialami para tokoh, terutama Kara dan Adrian.
    
Secara fisik novel ini unik, karena terdiri  dari 2 cover, dan dua cerita. Cerita yang sama, tapi ditulis dengan dua sudut pelaku, tokoh aku, digabung dalam satu buku. Sehingga pembaca boleh memilih  mau membaca  cerita dalam cover cowok dengan sudut pandang aku (Adrian), ataupun cover cewek (Kara). Kedua-duanya ditulis dengan gaya mempesona, menarik,  mengharukan, tapi tak cengeng.  Setting kota Surabaya, Jogja, dan Solo digarap dengan apik. Pada beberapa bab novel, khususnya  bagian dialog  ada yang diselingi bahasa Jawa, dengan takaran pas, menguatkan makna cerita.
    
Membaca novel Pemenang Kedua Lomba 1000 Wajah Muslimah ini seolah menuntun kita  untuk bercermin bahwa  modal cinta semata tak cukup untuk membangun mahligai rumah tangga. Kadang  cinta datang bukan pada orang yang tepat, namun setiap cinta tak pernah sia-sia. Percayalah, jika Anda orang yang baik, pasti akan  menemukan ‘jodoh’  orang baik pula.
          
__Kartika Catur Pelita, Ketua Akademi Menulis Jepara (AMJ)
                                                     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar