Diorama Rasa
Penerbit
Bunyan (PT Bentang Pustaka)
Penulis
Fadhila Rahma
Tahun Terbit
2014
Tebal Buku
x+370
ISBN
978-602-291-008-4
Emansipasi yang diperjuangkan RA Kartini
ternyata belum dinikmati sebagian besar kaum perempuan. Bahkan dalam wujud pernikahan, ketika emansipasi diartikan
sebagai kesadaran jika lelaki dan perempuan
masing-masing memiliki hak dan kewajiban setara sebagai pasangan suami istri,
sehingga seyogyanya saling menghargai demi terciptanya perkawinan yang sakinah,
mawadah, warahmah.
Namun pada kenyataannya, jauh panggang
daripada api. Bahkan untuk hal-hal kecil dan prinsipal, semisal mengatur perabot rumah tangga, seorang Kara
dipersalahkan gara-gara tak menata bantal-guling sesuai keinganan Pram,
suaminya. Atau saat sang istri menyeduhkan kopi dalam cangkir, padahal suami
biasa membuat kopi dalam mug. Suami pun marah. Bahkan kejamnya, ia tak mau membiayai finansial si
istri yang notabene merupakan kewajibannya
saat akad nikah sudah terjadi.
Trauma
Gara-gara pernikahannya yang seumur jagung
gagal, Shankara Prameswari mengalami depresi. Pengalamaan dan perjalanan waktu menempanya menjadi perempuan karir. Sukses
sebagai agen asuransi, pada sisi permukaan pribadinya,
ia adalah perempuan muda, cerdas, perhatian, pintar
bergaul.
Padahal dalam keping pribadi lainnya, ia
merasa terpuruk, setelah pasangan menceraikannya
tanpa alasan yang bisa dipahami. Kara menikah dengan Pramana Kurnia Budi tanpa pacaran. Ia
mencintai Pram karena lelaki itu tampan
dan mapan.
Ironis, ketika Kara tak diberi kesempatan
memilih atau pun membela diri, karena suami tanpa ba-bi-bu menceraikannya, menuduhnya bersalah, padahal baru beberapa bulan
menikah. Ia yang mengalami trauma, dan setelah bercerai tak bisa membuka pintu
hati pada lelaki yang mencoba mendekatinya.
Pada sebuah kesempatan Kara bertemu Adrian
Purbo Aji, eksekutif muda, simpatik, bermasa depan cerah, yang segera ingin
menikah. Adrian jatuh cinta pada Kara sejak pandangan pertama. Ia memburu Kara seperti
mengejar layang-layang putus. Setelah
lama berpikir, menimbang dan memilih, berbekal logika, Kara menerima
uluran tangan Adrian. Tapi Kara tak membiarkan Adrian merengkuh hatinya.
Ketika Adrian terus terang mengatakan ingin Kara menjadi pendamping hidupnya, Kara
pun dilanda kebimbangan. Kara meminta pertimbangan teman, dan saudara. Kara mengajak diskusi
Adrian, seraya menjajaki hatinya, benarkah ia pantas untuk diingini seorang
Adrian? Kara mengajukan beberapa syarat,
salah satunya Adrian disarankan belajar mengaji. Adrian menurut. Padahal memenuhi keinginan Kara bukan jaminan
Kara mau dipersuntingnya.
Bagian mengejutkannya, secara tersirat
Kara berharap aku ikut mengaji seperti dirinya. Repotnya lagi, awalnya kupikir
dia menghitung permintaan itu sebagai syarat bagiku untuk menikahinya. Begitu
kutanyakan apakah dengan mengaji aku lantas bisa menikah dengannya, ternyata
tidak juga jawabnya. Aku frustasi. Kara berusaha menjelaskan kepadaku. Katanya,
mengaji akan menjadi pertimbangan yang penting baginya untuk mengambil keputusan.
Menurutnya, aku tidak akan rugi sama sekali dengan mengaji ini, bahkan jika
akhirnya dia menolak menikah denganku (cover cowok, hal. 65). Ternyata Kara masih
sangat dibayang-bayangi trauma perceraian.
Mahadaya Cinta
Ketika Kara mulai bangkit dari jatuh
dan mencoba bersandar pada cinta, seiring
konflik satu persatu datang. Ibu Adrian keberatan memberi restu karena status Kara
yang seorang janda. Kayak gadis sudah tak ada, pilih janda (cover cowok, hal. 92).
Padahal Kara hanya mau menikah, jika orang
tua kedua belah pihak merestui. Maka Adrian pun berusaha menempuh berbagai cara
demi mencairkan hati ibunya agar merestui.
Pada batas kemampuan, Adrian memasrahkan
pada Tuhan. Ia ikhlas menerima takdir Tuhan. Seperti Kara, Adrian pun ingin
menjadi anak yang berbakti pada orang tua.
Apakah Kara akan mengenakan baju pengantin
untuk kedua kalinya? Benarkah Adrian hanyalah lelaki keenam yang menoreh luka di hati Kara? Tak semua yang
diimpikan mesti terwujud, walau manusia sudah berusaha.
Jika pun takdir sudah berkehendak, Kara dan Adrian hanya bisa menjalaninya.
Novel setebal 370 halaman ini ditulis dengan point
of view (sudut pandang) orang pertama.
Sehingga pembaca seolah bisa merasakan riak gejolak yang dialami para tokoh, terutama
Kara dan Adrian.
Secara fisik novel ini unik, karena terdiri dari 2 cover, dan dua cerita. Cerita yang
sama, tapi ditulis dengan dua sudut pelaku, tokoh aku, digabung dalam satu
buku. Sehingga pembaca boleh memilih mau membaca cerita dalam cover cowok dengan sudut pandang aku (Adrian), ataupun cover
cewek (Kara). Kedua-duanya ditulis dengan gaya mempesona, menarik, mengharukan, tapi tak cengeng. Setting kota Surabaya, Jogja, dan Solo digarap
dengan apik. Pada beberapa bab novel, khususnya bagian dialog ada yang diselingi bahasa Jawa, dengan takaran
pas, menguatkan makna cerita.
Membaca novel Pemenang Kedua Lomba 1000 Wajah Muslimah ini seolah
menuntun kita untuk bercermin bahwa modal cinta semata tak cukup untuk membangun
mahligai rumah tangga. Kadang cinta datang
bukan pada orang yang tepat, namun setiap cinta tak pernah sia-sia. Percayalah,
jika Anda orang yang baik, pasti akan menemukan
‘jodoh’ orang baik pula.
__Kartika Catur
Pelita, Ketua Akademi Menulis Jepara (AMJ)