Kulit Ayam - Soeara Moeria

Breaking

Minggu, 21 Juni 2015

Kulit Ayam

Foto: Google

Cerpen : Kartika Catur Pelita

Mimin sekarang memiliki  kesibukan baru. Setelah suaminya berangkat kerja, dan   anaknya pergi  ke sekolah, Mimin segera memberi makan ayam-ayamnya.  Ayam yang jumlahnya  tak kurang dari 100  ekor.

Kang Jono memang  suka pada ayam. Kang Jono  ingin menjadi peternak ayam.

“Dengan memelihara ayam, kita bisa kaya, Is. Banyak telor, banyak uang.”
        
“Bener Kang.”
        
“Makanya Kakang belikan uang tabungan  untuk beli ayam  ini. Sebagai  modal untuk masa depan.”
         
Bahkan Mimin pun membuka celengannya untuk menambah modal membeli  makan ayam. Ayam-ayam petelor. Butuh biaya lumayan banyak untuk memeliharanya.

Selesai memberi makan Mimin  mencuci tangan dengan sabun. Agar kuman-uman mati dan tak terkena sakit flu burung. Mimin kemudian berkutat dengan  pekerjaan rutin. Bersih-bersih rumah. Mencuci pakaian  kotor. Juga menyiapkan makan siang  untuk keluarganya.
         
Suaminya yang bekerja di  penggergajian, siang-waktu istirahat-pulang. Kebetulan tempat kerjanya tak jauh dari rumah. Naik sepeda  motor, dalam waktu lima belas  menit sudah sampai. Daripada makan siang di warung, mending makan di  rumah. Lebih ngirit. Lebih terjaga kebersihannya. Menu bisa berganti setiap hari. Mimin  pintar  masak.  Masakan  Mimin  nyamleng  tenan. Kata Pak Bondan…mak nyus!
         
Hari  itu Mimin masak sayur semur jengkol kesukaan suaminya. Bila makan semur jengkol, suaminya lahap makan dan tanduk beberapa kali.
                                                 * * *
       
Mimin memandangi ayam-ayam peliharaannya. Dua bulan telah berlalu. Ayam-ayamnya  kelihatan semakin besar dan sehat. Berlarian, dan berebutan bila diberi  makan.
       
Mimin memelihara ayam dengan telaten. Mengatur jadwal makan dan vitamin. Kebersihan kandang juga diperhatikan.  Karena Mimin tahu dengan  memberi makan yang baik,  kandang bersih, ayam akan sehat dan  kelak menghasilkan hasil yang baik pula.
       
Mimin menghitung-hitung berapa uang yang didapat  bila ayamnya   mulai berproduksi. Bertelor. Mimin bisa menjualnya ke pasar.  Atau pedagang-pedagang telor itu yang  akan datang ke  rumahnya. Ah…
        
“Min…,” panggil yu Harni tetangganya, sebelah rumah. Pagi itu ketika Mimin sedang menjereng pakaian.
         
“Ada apa to Yu?”
        
“Aku mau ke pasar. Kau nitip apa?”
       
Bekatul untuk makan  ayam, Yu.”
       
“Tak ada yang lainnya?”
       
“Tidak, Yu.”
       
“Eh, Min saban hari yang diurursi ayam melulu. Apakah kamu sekarang tak bikin kue lagi?”
       
“Pesanan jarang, Yu. BBM naik, bahan-bahan kue harganya ikut naik, eh yang pesen masih harga  lama, ya  aku orak  dapat untung, Yu. Mending  prei.
       
“Tapi  kan ora  semuanya begitu, Min.”
       
“Memang sih, Yu. Kalau yang  sudah langganan dan tahu  kwalitas kue bikinanku ya pesan wae.  Soal harga ora  masalah.”
       
“Apalagi kue apem-mu.  Paling enak.”
       
“Kowe pinter muji, Yu.”
       
“Semua orang ngomong begitu, Min. Eh Min..Bu Paijo kan sebentar lagi  punya hajat,  apa dia tak pesen apem-mu?”
         
Subahanallah. Tak usah menunggu,  sebuah sepeda motor berhenti. Pengendaranya seorang perempuan berjilbab bertubuh ginuk-ginuk. Perempuan  lenjeh  itu  menghampiri Mimin dan Yu  Harni  yang asyik ngobrol di  batas  pagar pekarangan  rumah.
       
“Umurnya panjang ya, Min. Lagi diomongin eh muncul.”
       
“Mbak Mimin bisa tolong saya ora?”
       
“Ada apa Bu Jo?”
       
“Saya pesen kue apem  dan  bolu ban  untuk sunatan Si Paimin.”
       
Mimin menyanggupi. Rejeki yang datang pantang  untuk ditolak.
                                                   
* * *
       
Mimin menghitung uang untung dari bikin  kue. Alhamdulilah. Lumayan, gumamnya. Uang bisa ditabung, untuk sangu anaknya,  atau untuk tambahan beli makanan ayam. Persediaan bahan pangan ayam sudah menipis. Sementara  Mas Jono bayarannya diundur. Suaminya  juga   masih harus menyicil motor kreditan.
       
Mimin pergi ke pasar untuk membeli  makan ayam.  Ketika melewati sebuah kios   sembako, seorang wanita berbadan subur memanggilnya. Yu Sukaesih, pedagang ayam  dan telor.
      
“Mimin ke sini!”
      
“Ada apa,Yu?”
      
“Kabarnya kamu melihara ayam banyak di rumah?”
      
“Ya, Yu.”
      
“Nanti kalau  ayammu bertelor aku beli telornya  Min.”
      
“Boleh, Yu.”
      
“Harganya spesial ya  Min.”  
      
“Beda tipis, Yu. Aku tak rugi dan Yu Kesih mendapat untung.’
       
“Kowe   pinter,  Min!”
       
Mimin membeli  dagangan Yu Sukaesih..
    
“Si  Maman minta dimasakin ayam opor. Dia baru saja sembuh dari sakit. Aku beli ayamnya sekilo dan telornya setengah wae, yu.”
     
Yu Sukaesih melayani dengan cekatan. Dia memang pedagang ayam dan telor di pasar  ini yang paling laris. Langganannya banyak. Karena barang yang dijual mutunya  bagus, dan harganya lebih miring. Prinsipnya, dia mendapat untung sedikit, yang  penting dagangannya cepat habis.
     
Sebelum pulang Mimin membeli  pakan  ayam. Karena belanjaannya banyak, Mimin pulang naik becak.
* * *
      
Mimin menangis sedih. Ayam-ayam petelornya banyak yang mati. Ayam yang diharap memberi keuntungan seperti tak menjamin. Jangankan bertelor,  menjelang umur  lima  bulan, ayam  itu mati satu demi satu.
    
“Sudahlah,  Min…mungkin belum waktunya kita sukses. Belum waktunya kita jadi  juragan ayam.”
   
“Tapi Kang  uang kita habis. Untuk beli bibit,  beli pakan, beli vaksin.”
   
“Gusti Allah belum memberi rejeki untuk kita. Rezeki seperti angin, Min. Bila di  kejar ia berlalu. Bila kita berhenti, ia melambai.

* * *
      
Ayam  itu dikuburkan satu persatu di  halaman belakang rumah.
      
Mimin tak tahu sebenarnya ayamnya sakit apa. Tempo hari ayamnya masih sehat.

Tapi kini  semuanya sudah mati. Mungkinkah ayamnya terserang flu burung?  Entahlah. Mimin sedang merenung sedih, ketika  Maman-anak semata wayangnya- mendekatinya. Bocah bertubuh gempal, berumur sepuluh tahun dan telah duduk di kelas  empat SD itu  mengabarkan sesuatu.
        
“Maman kasihan  sama ayam Mak. Mereka makan bekatul dan  jagung  melulu. Kemarin  Maman memberi ayam itu makan  Mak. Sisa kulit ayam opor bikinan Mak. Mereka berebutan ketika Maman memberi makan. Lucu ya, Mak…ayam makan ayam!”
        
Astagfirullah!  Maman tidak  tahu, yang dibilangnya lucu,  berakibat fatal.  Mungkin karena ayam-ayam itu diberi  makan  Maman ayam, lalu unggas itu  sakit dan mati? Oh…Gusti Allah! Astagfirullah!  Mimin menepuk keningnya.  Teringat petuah  simbah.  Konon orang jaman dulu bilang,  tak boleh memberi  makan ayam dengan ayam. Apa pun alasannya. Bisa berakibat fatal!
       
Ayam-ayam Mimin kini yang mengalaminya! Benarkah? Atau  memang ayam Mimin terserang penyakit lain yang mematikan.
         
Mimin merasa kepalanya pening. Terbayang ayam yang dipeliharanya dan menghabiskan dana lumayan banyak. Ayam-ayam kini hanya tinggal bayangan. Mimin  hanya bisa menangis.
         
“Lo…mengapa  Mak menangis?”

* * *
                                                            Kota Ukir, 11 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar