![]() |
Foto: Google |
Cerpen : Kartika Catur Pelita
Mimin
sekarang memiliki kesibukan baru.
Setelah suaminya berangkat kerja, dan
anaknya pergi ke sekolah, Mimin segera memberi makan
ayam-ayamnya. Ayam yang jumlahnya tak kurang dari 100 ekor.
Kang Jono
memang suka pada ayam. Kang Jono ingin menjadi peternak ayam.
“Dengan memelihara ayam, kita bisa kaya, Is. Banyak
telor, banyak uang.”
“Bener
Kang.”
“Makanya
Kakang belikan uang tabungan untuk beli
ayam ini. Sebagai modal untuk masa depan.”
Bahkan
Mimin pun membuka celengannya untuk menambah modal membeli makan ayam. Ayam-ayam petelor. Butuh biaya lumayan
banyak untuk memeliharanya.
Selesai
memberi makan Mimin mencuci tangan dengan
sabun. Agar kuman-uman mati dan tak terkena sakit flu burung. Mimin kemudian berkutat dengan pekerjaan rutin.
Bersih-bersih rumah.
Mencuci pakaian kotor. Juga menyiapkan
makan siang untuk keluarganya.
Suaminya
yang bekerja di penggergajian,
siang-waktu istirahat-pulang. Kebetulan tempat kerjanya tak jauh dari rumah.
Naik sepeda motor, dalam waktu lima
belas menit sudah sampai. Daripada makan
siang di warung, mending makan di rumah.
Lebih ngirit.
Lebih terjaga kebersihannya. Menu bisa berganti setiap hari. Mimin pintar
masak. Masakan Mimin nyamleng tenan. Kata Pak Bondan…mak nyus!
Hari itu Mimin masak sayur semur jengkol kesukaan
suaminya. Bila makan semur jengkol, suaminya lahap makan dan tanduk beberapa
kali.
* * *
Mimin
memandangi ayam-ayam peliharaannya. Dua bulan telah berlalu. Ayam-ayamnya kelihatan semakin besar dan sehat. Berlarian,
dan berebutan bila diberi makan.
Mimin
memelihara ayam dengan telaten. Mengatur jadwal
makan dan vitamin.
Kebersihan kandang juga
diperhatikan. Karena Mimin tahu dengan memberi makan yang baik, kandang bersih, ayam akan sehat dan kelak menghasilkan hasil yang baik pula.
Mimin
menghitung-hitung berapa uang yang didapat
bila ayamnya mulai berproduksi.
Bertelor. Mimin bisa menjualnya ke pasar.
Atau pedagang-pedagang telor itu yang
akan datang ke rumahnya. Ah…
“Min…,”
panggil yu Harni tetangganya, sebelah rumah. Pagi itu ketika Mimin sedang
menjereng pakaian.
“Ada
apa to Yu?”
“Aku
mau ke pasar. Kau nitip apa?”
“Bekatul untuk makan ayam, Yu.”
“Tak
ada yang lainnya?”
“Tidak,
Yu.”
“Eh,
Min saban hari yang diurursi ayam melulu. Apakah kamu sekarang tak bikin kue
lagi?”
“Pesanan
jarang, Yu. BBM naik, bahan-bahan
kue harganya ikut
naik, eh yang pesen masih harga lama, ya aku orak dapat untung, Yu. Mending prei.”
“Tapi
kan ora semuanya begitu, Min.”
“Memang
sih, Yu. Kalau yang sudah langganan dan
tahu kwalitas kue bikinanku ya pesan wae. Soal harga ora masalah.”
“Apalagi
kue apem-mu. Paling enak.”
“Kowe
pinter muji, Yu.”
“Semua
orang ngomong begitu, Min. Eh Min..Bu Paijo kan sebentar lagi punya hajat, apa dia tak pesen apem-mu?”
Subahanallah. Tak usah menunggu, sebuah sepeda motor berhenti. Pengendaranya
seorang perempuan berjilbab bertubuh ginuk-ginuk. Perempuan lenjeh
itu menghampiri
Mimin dan Yu Harni yang asyik ngobrol di batas pagar
pekarangan rumah.
“Umurnya
panjang ya, Min. Lagi diomongin eh muncul.”
“Mbak
Mimin bisa tolong saya ora?”
“Ada
apa Bu Jo?”
“Saya
pesen kue apem dan bolu ban untuk sunatan Si Paimin.”
Mimin
menyanggupi. Rejeki yang datang pantang
untuk ditolak.
* * *
Mimin
menghitung uang untung dari bikin kue. Alhamdulilah. Lumayan, gumamnya. Uang bisa ditabung,
untuk sangu anaknya, atau untuk tambahan
beli makanan ayam. Persediaan bahan pangan ayam sudah menipis. Sementara Mas Jono bayarannya diundur. Suaminya juga masih harus menyicil motor kreditan.
Mimin
pergi ke pasar untuk membeli makan
ayam. Ketika melewati sebuah kios sembako, seorang wanita berbadan subur
memanggilnya. Yu Sukaesih, pedagang ayam dan telor.
“Mimin
ke sini!”
“Ada
apa,Yu?”
“Kabarnya
kamu melihara ayam banyak di rumah?”
“Ya,
Yu.”
“Nanti
kalau ayammu bertelor aku beli
telornya Min.”
“Boleh,
Yu.”
“Harganya
spesial ya Min.”
“Beda
tipis, Yu. Aku tak rugi dan Yu Kesih
mendapat untung.’
“Kowe
pinter,
Min!”
Mimin
membeli dagangan Yu Sukaesih..
“Si
Maman minta dimasakin ayam opor. Dia
baru saja sembuh dari sakit. Aku beli ayamnya sekilo dan telornya setengah wae,
yu.”
Yu
Sukaesih melayani dengan cekatan. Dia memang pedagang ayam dan telor di
pasar ini yang paling laris. Langganannya
banyak. Karena barang yang dijual mutunya bagus, dan harganya lebih miring.
Prinsipnya, dia mendapat untung sedikit, yang
penting dagangannya cepat habis.
Sebelum
pulang Mimin membeli pakan
ayam. Karena belanjaannya banyak, Mimin pulang naik becak.
* * *
Mimin
menangis sedih. Ayam-ayam petelornya banyak yang mati. Ayam yang diharap
memberi keuntungan seperti tak menjamin. Jangankan bertelor, menjelang umur lima bulan, ayam
itu mati satu demi satu.
“Sudahlah, Min…mungkin belum waktunya kita sukses. Belum
waktunya kita jadi juragan ayam.”
“Tapi
Kang uang kita habis. Untuk beli bibit, beli pakan, beli vaksin.”
“Gusti
Allah belum memberi rejeki untuk kita. Rezeki seperti angin, Min. Bila di kejar ia berlalu. Bila kita berhenti, ia
melambai.
* * *
Ayam itu dikuburkan satu persatu di halaman belakang rumah.
Mimin
tak tahu sebenarnya ayamnya sakit apa. Tempo hari ayamnya masih sehat.
Tapi
kini semuanya sudah mati. Mungkinkah
ayamnya terserang flu burung? Entahlah.
Mimin sedang merenung sedih, ketika Maman-anak
semata wayangnya- mendekatinya. Bocah bertubuh gempal, berumur sepuluh tahun
dan telah duduk di
kelas empat SD itu mengabarkan sesuatu.
“Maman
kasihan sama ayam Mak. Mereka makan
bekatul dan jagung melulu. Kemarin Maman memberi ayam itu makan Mak. Sisa kulit ayam opor bikinan Mak. Mereka
berebutan ketika Maman memberi makan. Lucu ya, Mak…ayam makan ayam!”
Astagfirullah! Maman
tidak tahu, yang dibilangnya lucu, berakibat fatal. Mungkin karena ayam-ayam itu diberi makan Maman ayam, lalu unggas itu sakit dan mati? Oh…Gusti Allah! Astagfirullah! Mimin menepuk keningnya. Teringat petuah simbah. Konon orang jaman dulu bilang, tak boleh memberi makan ayam dengan ayam. Apa pun alasannya.
Bisa berakibat fatal!
Ayam-ayam
Mimin kini yang mengalaminya! Benarkah? Atau
memang ayam
Mimin terserang penyakit lain yang mematikan.
Mimin
merasa kepalanya pening. Terbayang ayam yang dipeliharanya dan menghabiskan
dana lumayan banyak. Ayam-ayam kini hanya tinggal bayangan. Mimin hanya bisa menangis.
“Lo…mengapa Mak
menangis?”
* * *
Kota Ukir, 11 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar