Oleh Kartika Catur Pelita
Ketua Akademi Menulis Jepara (AMJ)
Semua tempat karaoke di Jepara harus ditutup. Begitu pemberitaan di Suara Merdeka 24 Januari 2015. Rencana Pemkab itu kemudian menuai protes pelaku usaha karaoke. Tak terkecuali para pengusaha karaoke di Pungkruk.
Setidaknya di kawasan ini berdiri puluhan rumah karaoke. Di sinilah pusat karaoke Pungkruk yang semakin hari keberadaannya semakin terkenal dan jadi tujuan bersenang-senang.
Banyak pengusaha membuka usaha karaoke, walau tak berizin karena Jepara memang belum memiliki peraturan mengenai izin mendirikan usaha karaoke maupun pengelolaan kegiatan usaha karaoke dan hiburan malam lainnya.
Meski begitu puluhan pengusaha yang mempekerjakan ratusan pekerja keberatan jika rumah karaoke ditutup. Mereka mengajukan kompromi dengan menjanjikan akan membenahi penampilan Pemandu Karaoke (PK).
Misalnya akan mengenakan pakaian lengan panjang dan menutupi area dada, penyesuaian jam beroperasi serta jadwal buka tutupnya. Bahkan mereka bersedia membayar restribusi demi kelangsungan usaha. Padahal kenyataannya usaha karaoke ilegal.
Bukan rahasia umum kalau keberadaan rumah karaoke yang sejatinya tempat hiburan melepas lelah, bernyanyi karaoke namun pada kenyataannya kerap disalahfungsikan sebagai tempat mabuk dan mesum.
Karaoke, Miras, dan Prostitusi
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir usaha karaoke tumbuh subur di wilayah Jepara. Selain memberi profit lumayan besar untuk pemilik ataupun pemodal, bisnis karaoke merupakan sandaran hidup, sumber pendapatan bagi perempuan Pemandu Karaoke (PK) yang identik dengan muda, cantik seksi, berpakaian minim, dan genit.
Keberadaan usaha karaoke juga menggeliatkan perekonomian, memberi lapangan pekerjaan pada penduduk sekitar. Di antaranya tukang parkir, keamanan, laundry, kedai makanan dan penjual miras.
Rencana penutupan usaha karaoke di Jepara yang diberlakukan per 10 April 2015, berarti hilangnya mata pencaharian. Mereka tak mengindahkan alasan Pemkab yang memiliki alasan kuat berniat menutup usaha karaoke.
Keberadaan karaoke, tak terkecuali kawasan karaoke Pungkruk, memang menimbulkan masalah sosial, penyebaran penyakit kelamin, keresahan warga, mencoreng nama baik masyarakat Jepara yang tersohor agamis.
Tak dipungkiri keberadaan usaha karaoke banyak menumbuhkan kemudaratan daripada manfaat. Menyumbang dampak negatif, pun pada generasi muda. Menimbulkan keresahan umat. Perilaku tak terpuji PK juga kerap menjadi pemicu kegaduhan, perkelahian, atau terganggunya keharmonisan rumah tangga.
Beberapa kasus keretakan rumah tangga, bahkan perceraian terjadi gara-gara suami yang kepincut PK. Atau kasus pemuda yang hartanya, hasil bekerja keras ludes karena tergila-gila pada PK. Ironis ketika kaum belia kerap menjadikan karaoke sebagai tujuan wahana wisata, tempat pesta miras dan transaksi seks.
Pungkruk
Pungkruk adalah nama pantai di desa Mororejo, berjarak sekitar 7 km dari pusat Kota Jepara. Di lokasi ini banyak dibangun rumah makan tradisional, menyajikan masakan seafood, menu unggulan ikan bakar.
Sebagian bangunannya berupa gazebo yang dibangun di atas laut/ tambak. Semula Pungkruk digadang-gadang sebagai tempat wisata kuliner pesisir khas Jepara. Pemkab telah menggelontorkan dana cukup besar untuk membangun infrastruktur, jalan, taman bermain, termasuk gapura pintu gerbang Pungkruk yang dicanangkan sebagai pusat kuliner Jepara.
Sayang rencana sesat arah. Kenyataannya keberadaan rumah-rumah karaoke lebih menggoda orang, bukan hanya warga Jepara, bahkan orang luar kota pun mengenal Pungkruk sebagai tempat pelesiran. Pungkruk tumbuh pesat sebagai pusat usaha karaoke di Jepara. Nama Pungkruk pun terangkat dengan citra negatif. Sangat disayangkan.
Bahkan sekarang banyak orang menyebut Pungkruk identik dengan Pereng, lokalisasi prostitusi tersohor Jepara yang pernah berjaya tahun 1990-an, sebelum berhenti beroperasi pada 2008 silam.
Rencana Pemkab Jepara untuk menutup usaha karaoke, demi menyelamatkan generasi masa depan, merupakan tindakan terpuji. Namun hendaknya kebijakan mulia ini jangan dilakukan dengan grusa-grusu. Bercermin pada penutupan lokalisasi Pereng beberapa tahun silam, semestinya pemkab Jepara bisa memetik pembelajaran.
Keberadaan Pereng, tempat prostitusi, memang tinggal cerita. Pereng sudah tutup buku. Tapi sebagian besar penghuninya tidak ‘tutup profesi’. Mereka tetap berkegiatan. Salah satunya adalah membesarkan kawasan Pungkruk.
Prostitusi tetap berkembang di Jepara dengan tampilan beda dan terselubung. Mereka berkedok di balik usaha karaoke, salon plus-plus, café, bahkan ada rumah-rumah penduduk yang dijadikan traksaksi seks. Miris.
Penutupan usaha karaoke bukan semudah membalik telapak tangan. Pemkab dan pihak-pihak terkait perlu memikirkan solusi setelah kelak usaha karaoke benar-benar ditutup.
Anjuran agar para pengusaha karaoke beralih profesi sebagai pengusaha restoran atau warung makan, dan PK menjadi pelayan, adalah sebuah pemikiran yang dangkal.
Pendekatan persuasif, edukasi mental, dan psikologis kepada pelaku usaha karaoke dan PK selayaknya dilakukan pihak Pemkab secara bijaksana. Sehingga seandainya penutupan usaha karaoke merupakan keputusan final, takkan menimbulkan gesekan.
Jika keberadaan usaha karaoke, khususnya Pungkruk bagi Pemkab Jepara adalah ibarat borok yang menjijikkan, yang menimbulkan rasa gatal, bikin malu, dan ingin disembuhkan, tentu untuk itu harus dicari sumber penyakit. Dan diobati, bukan hanya asal digaruk.
Pemkab Jepara perlu mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan kemaslahatan demi kepentingan bersama sehingga terwujud Jepara yang kondusif. (*)
Mau buka usaha kafe?
BalasHapusSebaiknya anda menggunakan dus makanan merek Greenpack untuk memberikan value yang lebih untuk kafe anda.
makasih gan infonya. semoga greenpack makin oye selalu
Hapus