Bias Kebijakan Usaha Karaoke Pungkruk - Soeara Moeria

Breaking

Rabu, 15 April 2015

Bias Kebijakan Usaha Karaoke Pungkruk



Oleh Kartika Catur Pelita
Ketua Akademi Menulis Jepara (AMJ)

Semua tempat karaoke di Jepara harus ditutup. Begitu pemberitaan di Suara Merdeka 24 Januari 2015. Rencana Pemkab itu kemudian menuai protes pelaku usaha karaoke. Tak terkecuali para pengusaha karaoke di Pungkruk.

Setidaknya di kawasan ini berdiri puluhan rumah karaoke. Di  sinilah  pusat karaoke Pungkruk yang semakin hari  keberadaannya semakin  terkenal dan jadi tujuan bersenang-senang. 

Banyak  pengusaha membuka usaha karaoke, walau tak berizin karena Jepara memang  belum memiliki peraturan mengenai izin mendirikan usaha karaoke maupun pengelolaan  kegiatan usaha karaoke dan hiburan  malam lainnya.

Meski begitu puluhan pengusaha yang mempekerjakan ratusan pekerja   keberatan jika rumah karaoke ditutup. Mereka mengajukan kompromi dengan menjanjikan akan membenahi  penampilan Pemandu Karaoke (PK).

Misalnya akan mengenakan pakaian lengan panjang dan menutupi area dada, penyesuaian jam beroperasi serta jadwal buka tutupnya. Bahkan mereka  bersedia membayar  restribusi demi kelangsungan usaha.  Padahal kenyataannya usaha karaoke ilegal.  

Bukan rahasia umum kalau  keberadaan  rumah karaoke yang sejatinya tempat hiburan  melepas lelah, bernyanyi karaoke namun  pada kenyataannya kerap disalahfungsikan sebagai  tempat mabuk dan mesum.

Karaoke, Miras, dan Prostitusi
Dalam kurun waktu  lima tahun terakhir usaha karaoke tumbuh subur di wilayah Jepara. Selain memberi profit lumayan besar untuk  pemilik ataupun  pemodal,  bisnis  karaoke merupakan  sandaran hidup, sumber pendapatan  bagi perempuan Pemandu Karaoke (PK) yang identik dengan muda, cantik seksi, berpakaian minim,  dan genit. 

Keberadaan usaha  karaoke juga menggeliatkan perekonomian, memberi lapangan pekerjaan pada penduduk sekitar. Di antaranya tukang parkir, keamanan, laundry,  kedai makanan dan penjual miras. 

Rencana penutupan  usaha  karaoke di Jepara yang diberlakukan per 10 April 2015,  berarti  hilangnya mata pencaharian. Mereka tak mengindahkan  alasan Pemkab  yang memiliki alasan kuat berniat  menutup usaha karaoke. 

Keberadaan karaoke, tak terkecuali  kawasan  karaoke  Pungkruk, memang  menimbulkan masalah sosial, penyebaran  penyakit kelamin,  keresahan warga, mencoreng nama baik   masyarakat Jepara yang tersohor  agamis. 

Tak dipungkiri keberadaan usaha  karaoke banyak menumbuhkan  kemudaratan daripada manfaat. Menyumbang dampak negatif, pun  pada generasi muda. Menimbulkan keresahan umat.  Perilaku tak terpuji PK juga kerap  menjadi  pemicu kegaduhan, perkelahian,  atau terganggunya  keharmonisan rumah tangga. 

Beberapa  kasus keretakan rumah tangga, bahkan perceraian terjadi gara-gara suami yang kepincut PK. Atau  kasus pemuda  yang hartanya, hasil bekerja keras  ludes karena tergila-gila pada PK. Ironis ketika kaum belia  kerap menjadikan karaoke  sebagai tujuan  wahana  wisata, tempat  pesta miras dan transaksi seks.

Pungkruk
Pungkruk adalah nama pantai di desa Mororejo, berjarak sekitar  7 km  dari pusat Kota Jepara. Di lokasi ini banyak dibangun  rumah makan tradisional, menyajikan masakan seafood, menu unggulan  ikan bakar. 

Sebagian bangunannya berupa gazebo yang dibangun di atas laut/ tambak. Semula Pungkruk digadang-gadang sebagai tempat wisata kuliner pesisir khas Jepara.  Pemkab telah menggelontorkan dana cukup besar  untuk membangun infrastruktur,   jalan, taman bermain,   termasuk gapura pintu gerbang Pungkruk yang dicanangkan sebagai pusat kuliner Jepara. 

Sayang   rencana sesat arah. Kenyataannya keberadaan rumah-rumah karaoke lebih  menggoda orang, bukan hanya warga Jepara, bahkan orang luar kota  pun mengenal Pungkruk sebagai  tempat pelesiran. Pungkruk tumbuh pesat sebagai pusat usaha karaoke di Jepara. Nama Pungkruk pun terangkat dengan citra negatif. Sangat disayangkan. 

Bahkan sekarang banyak orang menyebut Pungkruk  identik dengan  Pereng,  lokalisasi  prostitusi tersohor Jepara yang pernah berjaya tahun 1990-an, sebelum berhenti beroperasi pada 2008 silam. 

Rencana Pemkab Jepara untuk menutup usaha karaoke, demi menyelamatkan  generasi masa depan, merupakan tindakan terpuji. Namun hendaknya kebijakan mulia ini jangan dilakukan dengan  grusa-grusu. Bercermin pada penutupan  lokalisasi  Pereng beberapa tahun silam, semestinya pemkab Jepara bisa  memetik pembelajaran.

Keberadaan Pereng, tempat prostitusi, memang tinggal cerita. Pereng sudah tutup buku. Tapi sebagian besar  penghuninya tidak ‘tutup profesi’. Mereka tetap berkegiatan. Salah satunya adalah membesarkan kawasan Pungkruk. 

Prostitusi tetap  berkembang di Jepara dengan tampilan beda dan  terselubung. Mereka berkedok di balik usaha karaoke, salon plus-plus, café, bahkan  ada rumah-rumah penduduk yang dijadikan traksaksi seks. Miris.

Penutupan usaha karaoke bukan semudah membalik telapak tangan. Pemkab dan pihak-pihak terkait  perlu memikirkan solusi   setelah  kelak usaha karaoke benar-benar ditutup. 

Anjuran agar para pengusaha karaoke beralih profesi sebagai  pengusaha restoran atau warung makan,  dan PK menjadi pelayan, adalah sebuah pemikiran yang dangkal. 

Pendekatan persuasif, edukasi mental, dan psikologis kepada pelaku usaha karaoke dan PK selayaknya  dilakukan pihak Pemkab secara bijaksana. Sehingga seandainya penutupan usaha karaoke  merupakan keputusan final,  takkan menimbulkan gesekan.

Jika keberadaan usaha karaoke, khususnya  Pungkruk  bagi Pemkab Jepara adalah ibarat borok yang menjijikkan, yang menimbulkan rasa gatal, bikin malu, dan  ingin disembuhkan, tentu untuk  itu harus dicari sumber penyakit. Dan diobati, bukan hanya asal digaruk.  

Pemkab Jepara perlu mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan kemaslahatan demi kepentingan bersama sehingga terwujud Jepara yang kondusif. (*)

2 komentar:

  1. Mau buka usaha kafe?
    Sebaiknya anda menggunakan dus makanan merek Greenpack untuk memberikan value yang lebih untuk kafe anda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih gan infonya. semoga greenpack makin oye selalu

      Hapus