Cinta Monyet - Soeara Moeria

Breaking

Senin, 19 Mei 2014

Cinta Monyet

Ilustrasi : google.

Cerpen : Kartika  Catur  Pelita
      
Tiada masa paling indah/ masa-masa di sekolah
Tiada kisah paling indah/ kisah kasih di sekolah

Senandung lagu romansa milik Obie Messakh  terasa menyentuh rasa.  

Kartika. Kartika, pelajar kelas 2 SMP itu  pernah merasakan indahnya, cinta monyet?  Cinta pertama? Bukan cinta biasa, atau malah bukan cinta?

Entahlah. Tapi  Kartika, pernah terbius pesona Ernawati, teman sekelasnya. Gadis imut berkulit kuning langsat. Berambut panjang. Ernawati  yang tak cantik, hanya manis. Dan semakin sedap tuk dipandang. Amboi!

Bersama Ernawati, Kartika  bisa dekat, bercerita bacaan  kesukaan, karena mereka punya hobi yang sama: membaca, menulis juga berkebun.

 “Mengapa sih kamu sering gak masuk?”

Ernawati  penuh perhatian. Inilah yang membuatnya suka!

 “Ditanyain mengapa malah diam sih? Kenapa sering gak masuk sih, Ka?”

 “Kalau gak masuk  ya pasti ada kenapa-kenapa.”

“Tapi gak sakit, kan?”

 “Kalau aku sakit?”

 “Ya aku ntar sedih dong!”

Nyes. Terasa kesejukan menyentuh hati Kartika. Adem. Hangat. Ingin Kartika menyentuh pipi ranum itu dengan jemarinya. Tapi sekedar menggenggam jemari.

Ernawati pun... keberanian itu tak ada. Entahlah. Kartika memilih memandang taman depan kelas tempat mereka ngobrol. Kemudian kesunyian terpecah dengan obrolan ringan. Apa saja. Tentang pelajaran, guru, rumah, binatang piaraan. Tapi sungguh Kartika tak bisa menceritakan prahara yang menimpa Ayah-Ibunya. Baginya tabu menceritakan aib keluarga!

                                                                  * * *
Tentang kedua orang tua yang ribut melulu saban hari. Tentang Bapak yang gemar selingkuh dan menganiaya ibu. Tentang ekonomi keluarga yang rusak dan berimbas Kartika sering nunggak uang sekolah dan akhirnya memilih bolos!

Beban itu tak sanggup dipikulnya dan satu masa Kartika jatuh sakit. Beberapa hari tak masuk sekolah. Di senja yang teduh Ernawati membesuknya.

 “Kamu sakit betulan, Ka...?”

 “Kau liatlah aku sakit atau sehat?”

”Tubuhmu semakin kurus. Pucat.”

 “Ya.”
“Tapi kamu tetap ganteng.”

Aih  kata yang terucap dari sebir tipis Erna terasa melambungkan angan Kartika ke langit biru.  Bahagia. Kartika memberanikan meraih jemari itu, menggenggamnya. Sesaat darah darah  menggejolak, mengalir. Ernawati  tersipu dan buru-buru melepaskan genggaman. Dan bibir  tipis-indah itu menggema dalam cerita mesra.

 “Aku bawain  roti, juga jeruk dan pepaya, Ka. Kamu suka pepaya kan? Eh...pepaya ini hasil tanamanku lo, seperti yang kuceritain tempo hari. Mmm aku juga bawain Ananda, ada bonus cerita wayangnya. Ntar aku bacain untuk kamu. Oya...nih foto Si Betty- anjing kesayanganku. Dia manis loh.

Sungguh tak ada obat paling mujarab saat kau sakit dan orang yang kau damba menemanimu. Bahagianya. Dunia serasa milik berdua!

                                                                  * * *
Orang bijak bilang, hidup  seperti uang logam yang memiliki dua keping. Hitam putih. Bahagia-sedih. Pertemuan juga perpisahan.

Ketika kenaikan kelas 3 Kartika dan Ernawati tak bisa lagi sekelas. Ernawati  masuk di kelas unggulan. Kartika karena prestasinya menurun mendapat kelas biasa. Mereka jarang bersua, apalagi kelas berjauhan.

Prahara keluarga  yang semakin runyam membuat Kartika menarik pergaulan. Tak ada teman, selain menulis di buku  harian -tentang ayah yang menikah  lagi, ibu yang teraniaya, kakak yang sibuk sendiri, hati yang semakin  sepi.  Perih. Sendiri.

Sesekali Kartika dan Ernawati bertemu di lapangan saat upacara atau di kantin atau di koridor kelas. Tapi hubungan tak sedekat dulu. Cukup saling pandang, lalu berlalu. Siapa yang  bersalah.

Salahkah kalau Kartika pernah cemburu melihat Ernawati  dekat dengan  cowok? Salahkah Erna kalau menganggap  berubah, karena memilih mengubur dukanya sendiri? Atau tak ada yang salah, karena jalan hidup memang mesti begitu.

Waktu terasa berlari secepat angin. Ujian, kelulusan tiba. Malam perpisahan sekedar mengucap selamat pun  tak mereka lakukan.

Mereka lulus SMP, melanjutkan  ke SMA,  tapi tak satu sekolahan meski satu kota, tapi mereka tak pernah betemu lagi pun berkabar. Hanya sampai kini Kartika masih teringat Ernawati biar tahun sudah berlalu, musim berganti, tapi  mengenang sesuatu yang indah bukankah sebuah kesalahan?

Kartika masih merasakannya. Ernawati  juga mungkin masih  merasakannya. Setidaknya keindahan yang  terjadi diantar mereka memang pernah terjalin. Pernah ada. Pernah  ada. Cinta monyet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar