![]() |
Ilustrasi : google. |
Cerpen : Kartika Catur Pelita
Tiada masa paling indah/ masa-masa
di sekolah
Tiada kisah paling indah/ kisah
kasih di sekolah
Senandung lagu romansa milik Obie Messakh terasa menyentuh rasa.
Kartika. Kartika, pelajar kelas 2 SMP itu pernah merasakan indahnya, cinta monyet? Cinta pertama? Bukan
cinta biasa, atau malah bukan cinta?
Entahlah. Tapi Kartika, pernah terbius pesona Ernawati, teman
sekelasnya. Gadis imut berkulit kuning langsat. Berambut panjang. Ernawati yang tak cantik, hanya
manis. Dan semakin sedap tuk dipandang. Amboi!
Bersama Ernawati,
Kartika bisa dekat, bercerita bacaan kesukaan, karena mereka punya hobi yang sama: membaca, menulis juga berkebun.
“Mengapa sih kamu sering gak
masuk?”
Ernawati penuh perhatian. Inilah yang membuatnya suka!
“Ditanyain mengapa malah diam
sih? Kenapa sering gak masuk sih, Ka?”
“Kalau gak masuk ya pasti ada kenapa-kenapa.”
“Tapi gak sakit,
kan?”
“Kalau aku sakit?”
“Ya aku ntar sedih dong!”
Nyes. Terasa
kesejukan menyentuh hati Kartika. Adem. Hangat. Ingin Kartika menyentuh pipi
ranum itu dengan jemarinya. Tapi sekedar menggenggam jemari.
Ernawati pun... keberanian itu tak ada. Entahlah. Kartika memilih memandang taman depan kelas tempat mereka ngobrol. Kemudian kesunyian terpecah dengan
obrolan ringan. Apa saja. Tentang pelajaran, guru, rumah,
binatang piaraan. Tapi sungguh Kartika tak bisa menceritakan
prahara yang menimpa Ayah-Ibunya. Baginya tabu menceritakan aib keluarga!
* * *
Tentang kedua
orang tua yang ribut melulu saban hari. Tentang Bapak yang gemar selingkuh dan
menganiaya ibu. Tentang ekonomi keluarga yang rusak dan berimbas Kartika sering
nunggak uang sekolah dan akhirnya memilih bolos!
Beban itu tak
sanggup dipikulnya dan satu masa Kartika jatuh sakit. Beberapa hari tak masuk sekolah. Di senja yang teduh Ernawati membesuknya.
“Kamu sakit betulan, Ka...?”
“Kau liatlah aku sakit atau sehat?”
”Tubuhmu semakin
kurus. Pucat.”
“Ya.”
“Tapi kamu tetap
ganteng.”
Aih kata yang terucap dari sebir tipis Erna
terasa melambungkan angan Kartika ke langit biru. Bahagia. Kartika memberanikan meraih
jemari itu, menggenggamnya.
Sesaat darah darah menggejolak, mengalir. Ernawati tersipu
dan buru-buru melepaskan genggaman. Dan bibir
tipis-indah itu menggema dalam cerita mesra.
“Aku bawain roti, juga jeruk dan pepaya, Ka. Kamu suka
pepaya kan? Eh...pepaya ini hasil tanamanku lo, seperti yang kuceritain tempo
hari. Mmm aku juga bawain Ananda, ada bonus cerita wayangnya. Ntar aku bacain
untuk kamu. Oya...nih foto Si Betty- anjing kesayanganku. Dia manis loh.”
Sungguh tak ada
obat paling mujarab saat kau sakit dan orang yang kau damba menemanimu. Bahagianya. Dunia serasa milik berdua!
* * *
Orang bijak
bilang, hidup seperti uang logam yang memiliki dua keping.
Hitam putih. Bahagia-sedih. Pertemuan juga perpisahan.
Ketika kenaikan kelas
3 Kartika dan Ernawati tak bisa lagi sekelas. Ernawati masuk di kelas unggulan. Kartika karena prestasinya menurun mendapat kelas biasa. Mereka jarang bersua, apalagi kelas
berjauhan.
Prahara keluarga yang semakin runyam membuat Kartika menarik
pergaulan. Tak ada teman, selain menulis di buku harian -tentang ayah yang menikah lagi, ibu yang teraniaya, kakak yang sibuk sendiri,
hati yang semakin sepi. Perih. Sendiri.
Sesekali Kartika
dan Ernawati bertemu di lapangan saat upacara atau di kantin atau di koridor
kelas. Tapi hubungan tak sedekat dulu. Cukup saling pandang, lalu berlalu.
Siapa yang bersalah.
Salahkah kalau
Kartika pernah cemburu melihat Ernawati
dekat dengan cowok? Salahkah Erna
kalau menganggap berubah, karena memilih
mengubur dukanya sendiri? Atau tak ada yang salah, karena jalan hidup memang
mesti begitu.
Waktu terasa
berlari secepat angin. Ujian, kelulusan tiba. Malam perpisahan sekedar mengucap
selamat pun tak mereka lakukan.
Mereka lulus SMP,
melanjutkan ke SMA, tapi tak satu sekolahan meski satu kota, tapi
mereka tak pernah betemu lagi pun berkabar. Hanya sampai kini Kartika masih
teringat Ernawati biar tahun sudah berlalu, musim berganti,
tapi mengenang sesuatu yang indah bukankah sebuah kesalahan?
Kartika masih
merasakannya. Ernawati juga mungkin masih merasakannya. Setidaknya keindahan yang terjadi diantar mereka memang pernah
terjalin. Pernah ada. Pernah ada. Cinta monyet.