Notification

×

Iklan

Iklan

Yang Tertindas, yang Terlindas

Selasa, 02 September 2025 | 09:50 WIB Last Updated 2025-09-02T02:50:34Z

Ali Achmadi. Foto: koleksi pribadi. 


Oleh : Ali Achmadi, Praktisi Pendidikan, Peminat Sosial, Tinggal di Pati


Affan Kurniawan tidak pernah bercita-cita menjadi pahlawan. Ia hanya seorang driver ojol yang hari itu sedang mengais rezeki, sekadar melintas untuk mencari nafkah. Ia tidak sedang demo. Ia tidak membawa spanduk, tidak berteriak-teriak, apalagi berorasi. Ia hanya lewat. Tetapi hidup di negeri yang bising oleh kepentingan politik sering kali memperlakukan orang kecil seperti batu kerikil di jalan raya: bisa diinjak, bisa terlindas, dan seolah tidak berarti apa-apa.


Malam itu, di depan gedung DPR—gedung yang katanya rumah rakyat—kerumunan massa tengah menyuarakan penolakan. Suara-suara mereka mungkin tidak selalu rapi, kadang emosional, kadang gaduh. Tetapi bukankah itu hak yang dijamin konstitusi? Ironisnya, yang turun ke jalan menuntut keadilan justru sering dianggap pengganggu, sementara yang duduk manis di kursi empuk dianggap mewakili rakyat.


Di tengah riuh, datang mobil baracuda milik Brimob. Sebuah kendaraan baja, simbol kekuatan negara. Dan di antara kaki-kaki logam raksasa itu, ada tubuh Affan Kurniawan yang malang, yang terhempas dan terlindas. Dunia seketika hening bagi Affan, namun bagi kita yang menonton dari layar kaca, dunia justru makin bising: siapa yang akan peduli pada nasib orang kecil ini?


Tragedi itu menyisakan pertanyaan panjang: apakah negara sedang melindungi rakyatnya, atau justru melindas mereka? Di satu sisi, pejabat sering bicara tentang “keamanan,” “ketertiban,” dan “stabilitas.” Tetapi di sisi lain, darah rakyat kecil terus menjadi korban dari jargon-jargon itu.


Affan hanyalah satu nama dari sekian banyak rakyat kecil yang jadi collateral damage—korban sampingan—dari benturan besar antara kekuasaan dan perlawanan. Dan seperti biasanya, berita ini hanya akan ramai sebentar. Setelah itu, ia akan tenggelam, kalah oleh trending lain yang lebih “menjual.”


Namun, ada satu hal yang tidak boleh kita lupakan: setiap kali seorang rakyat kecil terlindas oleh kekuasaan, bukan hanya tubuh yang hancur, melainkan juga nurani bangsa. Kita sedang diuji, apakah masih bisa marah ketika melihat ketidakadilan, ataukah sudah terbiasa menonton penderitaan seperti menonton serial drama?


Affan Kurniawan mungkin tidak pernah ingin namanya dicatat dalam sejarah. Tapi darahnya yang jatuh di aspal di depan gedung DPR adalah pengingat keras: bahwa negeri ini masih punya dua wajah. Satu wajah yang glamor di atas panggung politik, dan satu wajah lain—pucat, lebam, dan penuh luka—di jalanan tempat rakyat kecil mencari hidup.


Dan di sanalah ironi besar kita: yang tertindas masih harus belajar sabar, sementara yang terlindas tak sempat lagi belajar apa-apa. (*)

close close