![]() |
Ali Achmadi. Foto: koleksi pribadi. |
Oleh : Ali Achmadi, Praktisi Pendidikan, Peminat Masalah Sosial, Tinggal di Pati
Aku tahu, menjadi guru di zaman sekarang bukan perkara mudah. Setiap kata bisa disalahartikan, setiap tindakan bisa direkam diam-diam, setiap teguran bisa berujung laporan. Tapi meski begitu, aku tetap memilih satu hal: aku tidak akan berhenti bersikap tegas.
Karena bagiku, mendidik bukan hanya soal menyampaikan pelajaran, tapi juga menanamkan nilai.
Dan nilai itu tidak bisa tumbuh di tanah yang lembek — ia butuh ketegasan, butuh batas yang jelas antara benar dan salah.
Aku bukan musuh murid-muridku. Aku tidak pernah menikmati saat harus menegur mereka, apalagi memberi sanksi. Aku hanya tidak ingin mereka tumbuh tanpa arah, tanpa tahu konsekuensi dari perbuatannya. Aku ingin mereka belajar bahwa hidup tidak selalu memanjakan. Bahwa setiap tindakan punya tanggung jawab.
Ya, aku tahu dunia sudah berubah. Sekarang, ketika guru menegur — disebut kasar. Ketika guru menegakkan aturan — disebut melampaui batas. Sementara anak yang melanggar aturan, malah dipeluk, dibela, dan diberi panggung untuk merasa sebagai korban.
Tapi biarlah. Aku tidak mendidik untuk menyenangkan semua orang. Aku mendidik agar murid-muridku tumbuh menjadi manusia yang tahu kapan harus berkata “maaf”, dan kapan harus berkata “saya salah”.
Aku tahu, akan ada orang tua yang tidak suka pada ketegasan itu. Akan ada yang datang ke sekolah dengan amarah, bukan untuk mencari kebenaran, tapi pembenaran. Akan ada yang lebih percaya cerita sepihak anaknya daripada proses panjang yang kulalui di ruang kelas. Tapi aku tetap akan berdiri di tempatku. Karena mendidik bukan soal popularitas, tapi soal tanggung jawab moral.
Aku tidak akan membiarkan muridku berkata, bersikap dan berpenampilan semau-maunya di lingkungan sekolah tanpa teguran. Aku tidak akan membiarkan mereka berkata kotor, menyontek, atau bersikap tidak sopan tanpa diingatkan. Kalau aku diam, itu bukan bijak — itu abai. Dan abai adalah bentuk pengkhianatan terhadap profesi seorang pendidik.
Ketegasan bukan kekerasan. Tegas itu jelas: mana yang boleh, mana yang tidak. Tegas itu jujur, meski kadang menyakitkan. Tegas itu berani, meski kadang dibenci. Karena guru yang tegas bukan sedang marah, tapi sedang peduli.
Aku guru, bukan penghibur yang harus membat senang semua orang. Tugasku bukan membuat semua anak nyaman dengan kesalahannya, tapi membantu mereka keluar dari kesalahan itu. Aku tidak bisa menjanjikan semua muridku akan suka padaku, tapi aku bisa memastikan mereka akan mengingat bahwa aku pernah mengajari mereka tentang disiplin, kejujuran, dan tanggung jawab.
Aku percaya, kelak mereka akan mengerti. Bahwa teguranku bukan amarah, tapi perhatian.
Bahwa hukumanku bukan dendam, tapi kepedulian. Bahwa ketegasanku bukan kekerasan, tapi bentuk kasih sayang yang tak selalu harus lembut.
Aku guru. Aku tidak sempurna, tapi aku tulus. Dan selama aku masih berdiri di depan kelas — aku akan tetap bersikap tegas. Bukan karena aku tidak sayang murid-muridku, tapi justru karena aku terlalu sayang untuk membiarkan mereka tumbuh tanpa arah. (*)