Notification

×

Iklan

Iklan

Retorika Pejabat, Luka Hati Rakyat

Selasa, 02 September 2025 | 10:00 WIB Last Updated 2025-09-02T03:00:36Z

Ali Achmadi. Foto: koleksi pribadi. 


Oleh : Ali Achmadi, Praktisi Pendidikan, Peminat Sosial, Tinggal di Pati


Di negeri ini, kata-kata pemimpin dan pejabat publik seharusnya menjadi pedoman, menenteramkan rakyat, sekaligus memberi arah di tengah ketidakpastian. Tapi di negeri ini, ucapan pejabat publik justru sering jadi bumerang: bukan menenangkan, melainkan menyulut luka. Dari podium kekuasaan, kalimat-kalimat yang keluar terdengar pongah, sembrono, bahkan menistakan akal sehat.


Ambil contoh pernyataan Menteri Kesehatan yang menyebut bahwa orang dengan gaji Rp15 juta lebih sehat dan lebih pandai dibanding mereka yang bergaji Rp5 juta. Pernyataan ini tidak hanya merendahkan martabat jutaan pekerja dengan upah minimum, tetapi juga menunjukkan logika sempit: seolah kecerdasan dan kesehatan hanya diukur dari tebalnya dompet. 


Lalu, bagaimana dengan mereka yang hidup dengan UMR di bawah Rp5 juta? Apakah secara otomatis mereka dianggap bodoh dan sakit-sakitan? Ironi ini membalik wajah asli sistem kesehatan kita: alih-alih berjuang menyehatkan rakyat miskin, yang ditonjolkan justru glorifikasi privilese.


Tak kalah absurd adalah pernyataan Wamendikbudristek, Stella Cristie, yang mengatakan bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) bisa membuat anak pintar matematika dan bahasa Inggris. Klaim ini terdengar manis di telinga, tapi justru mengundang tanya: bagaimana korelasi antara program bantuan makanan dengan kemampuan kognitif spesifik seperti berhitung dan berbahasa asing? Benar bahwa gizi memengaruhi perkembangan otak, tapi menyederhanakan persoalan pendidikan hanya sebatas “makan gratis = pintar matematika dan bahasa Inggris” adalah logika yang terlalu linier. 


Alih-alih menguatkan argumen dengan riset mendalam, pernyataan itu jatuh sebagai slogan kosong—sekadar retorika politik yang gagal menjawab persoalan riil dunia pendidikan: kualitas guru, kesejahteraan guru honorer dan swasta, kurikulum yang terlalu sering bongkar pasang, maupun ketimpangan akses belajar.


Lalu ada Nusron Wahid, dengan kalimat yang viral: “Tanah nganggur dikuasai negara, memang mbahmu bisa bikin tanah?”. Alih-alih membuka ruang diskusi yang sehat mengenai reforma agraria, pernyataan ini justru menyingkap mentalitas kekuasaan yang menganggap tanah sebagai objek mutlak milik negara, tanpa sensitivitas terhadap petani kecil yang selama ini berjuang mempertahankan hak garapnya. 


Kata-kata itu merendahkan, memutus jarak antara pejabat dan rakyat, serta menegaskan watak feodal yang masih bercokol dalam politik agraria kita. Nyalinya sebatas ngatur tanah rakyat kecil. Tapi kalau sawit jutaan hektar? Kalau laut dipagari dan diurug ? Kok tiba-tiba jadi bisu? 


Sri Mulyani, yang katanya menteri keuangan terbaik dunia, pernah menyebut bahwa guru adalah beban negara. Kalimat ini bukan hanya keliru secara substansi, tetapi juga berbahaya secara moral. Bagaimana mungkin profesi yang menjadi pilar peradaban—yang membentuk manusia-manusia berpengetahuan—dicap sebagai beban? Pernyataan itu memperlihatkan betapa orientasi fiskal telah mengalahkan visi pendidikan, dan guru ditempatkan sekadar angka dalam laporan keuangan, bukan agen perubahan bangsa.


Pernyataan arogan juga lahir dari Ahmad Syahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR (yang sekarang sudah dicopot), menyebut bahwa orang yang demo menuntut pembubaran DPR adalah “orang paling tolol sedunia.” Kritik rakyat dibalas dengan hinaan, seolah DPR adalah lembaga suci tanpa cela. 


Padahal, DPR ada karena rakyat memilih. Kalau rakyat yang memilih itu “tolol”, maka kualitas hasil pilihannya seperti apa? Tuntutan rakyat lahir dari akumulasi kekecewaan terhadap kinerja DPR sendiri. Ketika suara rakyat dianggap tolol, maka demokrasi hanya tinggal papan nama, tanpa ruh.


Ironi serupa hadir di tingkat lokal. Sudewo, Bupati Pati, menanggapi penolakan rakyat atas rencana kenaikan PBB-P2 sebesar 250% dengan pernyataan: “Silakan demo, jangankan lima ribu, lima puluh ribu pun saya tidak gentar.” Kata-kata ini bukan cermin kepemimpinan, melainkan arogansi kuasa. Pemimpin seharusnya mendengar, bukan menantang rakyat. Pernyataan seperti ini hanya mempertegas jurang antara penguasa dan rakyatnya.


Dan tentu, siapa yang bisa melupakan pejabat segala urusan Luhut Binsar Pandjaitan dengan kalimatnya yang sering tajam namun penuh amarah? Salah satunya: “Kalau hanya kritik-kritik, silakan angkat kaki dari Indonesia.” Kalimat yang mestinya tidak keluar dari seorang pejabat publik di negara demokrasi. Kritik adalah bagian dari hak warga negara, bukan alasan untuk diusir dari tanah kelahirannya. Pernyataan seperti itu justru memperlihatkan mentalitas otoriter yang anti kritik.


Ironi terbesar dari semua ini bukan sekadar pada ucapan-ucapan yang tidak pantas, tetapi pada pesan tersembunyi di baliknya: para pejabat sering lupa bahwa kata-kata mereka bukan hanya kalimat biasa. Ia adalah cermin watak, kualitas kepemimpinan, dan arah kebijakan. Saat kata-kata berubah menjadi ejekan, hinaan, atau slogan kosong, maka yang retak bukan hanya wibawa pejabat itu sendiri, melainkan juga kepercayaan rakyat terhadap negara.


Seorang pemimpin besar seharusnya mampu meredam keresahan rakyat dengan kalimat yang menenteramkan, bukan mengobarkannya dengan kata-kata yang kasar. Namun di negeri ini, kita terlalu sering disuguhi ironi: pemimpin yang lebih pandai bicara daripada mendengar, lebih suka membentak daripada mengayomi. Dan barangkali, di situlah tragedi kita sebagai bangsa: bukan karena rakyat terlalu banyak mengeluh, melainkan karena pejabat terlalu sering berceloteh tanpa berpikir. (*)

close close