![]() |
Ali Achmadi. Foto: koleksi pribadi. |
Oleh: Ali Achmadi, praktisi pendidikan, tinggal di Pati
Tahun 2002, saya masih ingat betul. Hidup saya penuh dengan suara mesin pabrik otomotif di Bekasi. Aroma oli, dan target produksi yang kalau meleset bisa bikin rapat lebih tegang daripada sidang kabinet.
Sebagai supervisor produksi di perusahaan Jepang, gaji terakhir saya sudah lumayan: sekitar 4,75 juta per bulan. Awal tahun 2000an, angka segitu jelas bikin dompet nggak sekadar tebal, tapi bisa bikin orang-orang sekitar otomatis bilang, “wah, mapan tenan uripmu, Le.”
Lalu hidup berputar. Entah bagaimana, saya tiba-tiba nyemplung ke dunia yang dulu sama sekali nggak pernah ada di rencana: mengajar di sekolah swasta. Setelah bertahun-tahun kerja di Bekasi, akhirnya saya memutuskan pulang kampung ke Pati karena alasan keluarga. Namanya hidup, kadang ada hal-hal yang bikin kita harus balik ke tanah kelahiran, meski konsekuensinya jelas: karier yang dulu lumayan mapan harus direlakan.
Dari hiruk-pikuk pabrik otomotif yang mesinnya meraung 24 jam, saya mendadak pindah ke jalanan desa yang kalau sore lebih rame suara jangkrik daripada motor lewat. Dari ngurusin mesin presisi Jepang yang sekali rusak bisa rugi miliaran, ganti ngurusin murid SMA yang hobi bolos, malas baca buku, dan kalau ditanya rumus kimia ekspresinya kayak lagi disuruh ngitung hutang koperasi.
Dan di situlah saya ketemu jalan baru: bukan lagi dunia mesin Jepang dengan gaji jutaan, tapi dunia kapur tulis, papan tulis, dan honor guru swasta yang yah, sungguh-sungguh di luar nurul (nalar, red).
Dan inilah momen paling absurd dalam hidup saya: menerima honor pertama sebagai guru. Jumlahnya? Siap-siap: Rp288.000 per bulan. Iya, betul. Dua ratus delapan puluh delapan ribu. Titik.
Nol koma sekian dari gaji terakhir saya di pabrik dulu. Dan bukan cuma saya yang syok—istri saya lebih dulu mendelik. Begitu lihat amplop honor saya buka, ekspresinya langsung kayak habis nonton film horor tengah malam. “Lho, piye iki, Mas? Iki beneran sebulan?” katanya. Saya cuma bisa nyengir kecut, sambil mikir: kalau dulu gaji pabrik bisa buat belanja bulanan dan nabung, sekarang honor guru ini paling banter bisa buat belanja gorengan sama bayar uang kas RT.
Logika di Luar Nalar
Awalnya saya kira, sistem hitung honor guru itu kayak logika normal: kalau saya ngajar 12 jam seminggu, ya tinggal kali 4 minggu. Harusnya kan 48 jam total dalam sebulan. Eh, ternyata nggak begitu, bosku!
Honor guru swasta itu dihitung per minggu, tapi bayarnya per bulan. Jadi, kalau seminggu saya pegang 12 jam, sebulan ya dianggap tetap 12 jam. Logika macam apa ini? Saya yang lulusan teknik sampai mikir, “wah ini sistem akuntansi sekolah swasta level advance.” Singkatnya, 288 ribu per bulan itu honor fix saya. Nggak peduli itu bulan ada 4 minggu, 5 minggu, atau ada hari kejepit nasional.
Oke, uang kecil sebisanya lah ditahan-tahan. Tapi ada satu hal lain yang bikin kepala saya lebih pusing: ketemu murid-murid SMA zaman now. Bayangin, saya yang terbiasa menghadapi operator pabrik—yang kalau ditegur langsung berubah ekspresinya—tiba-tiba harus menghadapi anak-anak SMA yang buku pelajaran aja nggak disentuh di rumah.
Saya ngajarin kimia sama matematika. Mapel yang jelas-jelas nggak bisa dihafal kayak lirik lagu dangdut koplo. Tapi entah kenapa, murid-murid saya kayak lebih hafal nama personel boyband Korea ketimbang tabel periodik.
Kadang saya berdiri di depan kelas, nanya soal reaksi kimia sederhana, mereka bengong kayak patung di alun-alun. Saya kasih rumus matematika, mereka malah saling pandang, ekspresinya kayak lagi disuruh milih password WiFi yang paling susah diingat.
Yang bikin tambah dongkol, begitu bel berbunyi, mereka bisa langsung teriak hafal lirik lagu dangdut koplo tiga bait full tanpa salah satu huruf pun. Tapi kalau disuruh nyebut lima unsur pertama di tabel periodik? Alamak langsung amnesia berjamaah.
Akhirnya saya sadar. Dari segi materi, jelas saya jatuh bebas dari langit-langit pabrik ke lantai dasar sekolah swasta. Dari supervisor dengan gaji 4,75 juta, jadi guru swasta dengan honor 288 ribu.
Dan dari segi “beban mental”, jelas lebih berat jadi guru. Kalau dulu di pabrik saya ngadepin mesin Jepang, sekarang saya ngadepin murid-murid yang lebih misterius dari mesin CNC.
Tapi begitulah hidup. Kadang kita dibawa ke jalur yang sama sekali nggak pernah kita pikirkan. Kadang juga, kita dipaksa untuk membandingkan: bahwa mesin yang rewel masih lebih gampang diatur ketimbang murid yang malas baca buku.
Kalau dipikir-pikir, mungkin memang ada hikmahnya. Walaupun honor di luar nalar walaupun murid zaman now bikin darah tinggi, tapi tetap ada kepuasan aneh saat lihat mereka ngerti sedikit demi sedikit. Bukan puas karena duit, tapi puas karena ternyata, di balik semua absurdnya, jadi guru jika dinikmati juga bisa menjadi sebuah seni menjalani hidup.
Akhirnya saya ambil strategi lain: bagi waktu. Senin sampai Jumat saya balik lagi ke dunia kerja, ke komunitas asli saya: dunia teknik. Dunia mesin, angka, dan target produksi yang masih lebih jelas hitungannya daripada honor guru swasta.
Lalu Sabtu-Minggu, saya tetap ngajar di sekolah. Bukan semata-mata soal gaji (jelas nggak nutut), tapi lebih ke urusan “perjuangan pahlawan tanpa tanda jasa”. Kata Mbah Yai, itu namanya mencari berkahnya rezeki. Ibaratnya saya ini menanam di luar, di dunia kerja. Dan mengajar di sekolah ibarat pupuknya—biar tanaman yang saya tanam di luar sana bisa tumbuh subur dan hasilnya manfaat.Wallahu a'lam bish-shawab. (*)