Notification

×

Iklan

Iklan

Mudik dan Berlebaran di Kampung Halaman

Sabtu, 29 Maret 2025 | 07:18 WIB Last Updated 2025-03-29T00:36:00Z
Mudik, tradisi khas Indonesia. (Foto: triggernetmedia.com)

Oleh : M. Dalhar, Peminat sejarah dan sosial di Jepara


Menjelang Lebaran jutaan orang dan kendaraan bergerak melintasi jalan raya dari kota menuju perkampungan. Banyak orang melakukan perjalanan mudik dari kota agar dapat merayakan Lebaran di kampung halaman bersama keluarga. Ada suka, duka dan juga harapan. Ritual ini telah berlangsung selama puluhan tahun. 


Konon, mudik adalah tradisi yang hanya dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Tidak ada di belahan bumi yang lain. Meskipun dalam perkembangannya juga ada di negara lain, tetapi jumlahnya tidak sebesar di Indonesia.


Istilah mudik secara etimologi berasal dari Betawi yang berarti “menuju udik” (pulang kampung). Fenomena mudik yang kemudian dikaitkan dengan Lebaran mulai terjadi pada awal 1970-an ketika Jakarta tampil sebagai kota besar satu-satunya di Indonesia yang mengalami kemajuan luar biasa. Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin (1966-1977) disulap menjadi kota metropolitan. 


Pada masanya Jakarta menjadi ikon kemajuan. Banyak orang ingin memperbaiki nasib di ibukota. Bagi orang-orang udik (baca: kampung) Jakarta menjadi sebuah kota impian dengan sejuta harapan. Hasil survei dari Kompas tahun 2014 menujukkan bahwa lebih dari 80 persen para urbanis datang ke ibukota adalah untuk mencari pekerjaan.


Hingga kini Jakarta dan sekitarnya masih dijadikan sebagai tempat perantauan untuk mencari nafkah. Setidaknya hal ini terlihat dari masih didominasinya arus pemudik yang berasal dari wilayah ibukota dan sekitarnya. 


Dalam perkembangannya, mudik tidak hanya sebatas bagi para perantau yang berkerja, tetapi juga banyak juga dalam rangka belajar. Begitu pula dengan sebaran kota-kota yang semakin beragam. Meskipun demikian, secara umum di Pulau Jawa mudik masih dominan dari arah ibukota.   


Mudik bukan sekadar momentum melepas rindu dengan tempat kelahiran di kampung halaman. Lebih dari itu, ritual tahunan ini merupakan manifestasi dari ajaran agama yang memerintahkan kepada umat untuk menjalin silaturahim, mempererat ukhuwah, dan saling memaafkan. Atau dengan kata lain, fenomena pulang ke kampung halaman merupakan transformasi dari nilai-nilai agama dan dikemas menjadi sebuah aktivitas tahunan yang bernama mudik.


Nuansa Sosial

Sebelum dibangun jalan tol, jalur pantai utara (Pantura) menjadi rute utama. Ratusan sampai jutaan kendaraan baik kecil maupun besar tumplek jadi satu. Di setiap terminal terjadi keramaian yang luar biasa.


Panas, debu, macet menjadi suasana yang tidak terlupakan. Ada begitu banyak drama yang dilalui dalam menempuh perjalanan pulang ke kampung halaman.  


Dalam perkembangannya, nuansa sosial mudik terasa lebih kental daripada nuansa keagamaannya. Kondisi ini tidak lepas dari kebutuhan dasar setiap manusia untuk melepas kerinduan dengan kampung halaman. Di samping itu juga mudik dijadikan sebagai ajang mengisi waktu libur dari rutinitas pekerjaan.


Meski mengandung nilai-nilai teologi, bukan berarti mudik tidak hanya menjadi milik orang-orang Islam saja. Mudik sudah berkembang menjadi sebuah “ritual” lintas agama. Banyak masyarakat non-muslim yang juga memanfaatkan momentum liburan ini untuk berkunjung ke tempat saudara, berwisata, atau juga pulang kampung. 


Dapat kita saksikan saat mudik, masyarakat bersama-sama bergerak menuju kampung halaman tanpa lagi mempersoalkan suku, perbedaan agama, jenis pekerjaan, dan kelas sosial. Mereka bergerak bersama-sama dengan tujuan yang sama pula untuk bersilaturahmi dengan keluarga di kampung halaman.


Bagi para perantau, mendengarkan takbir di malam Idulfitri di kampung kelahiran adalah sebuah anugaerah dan kebahagiaan yang tak ternilai. (*)

close close