![]() |
Sosok pemeran Ratu Kalinyamat dalam Pekan Budaya di Kriyan. |
Setiap menjelang bulan suci Ramadhan, Kota Jepara memiliki tradisi menarik yang telah berlangsung sejak lama, yakni Baratan. Tradisi ini bukan hanya menjadi pertanda dimulainya ibadah puasa, namun juga simbol perpaduan budaya yang kuat di kota ukir ini.
Berakar dari kisah masa lalu, Baratan diambil dari kata Pabaratan/Bratan yang bermakna Peperangan. Masyarakat meyakini bahwa peperangan ini terhubung dengan trah pewaris tahta Demak, yang membuat Ratu Kalinyamat sempat berkabung karena meninggalnya sang suami, yakni Sultan Hadlirin.
Kematian sang Sultan di tangan Telik Sandi Arya Penangsang ini akhirnya menciptakan kejadian besar bagi kekuatan geo-politik Jawa pada masa itu. Namun seiring waktu, Baratan mengalami perluasan makna menjadi peperangan melawan hawa nafsu guna menyambut bulan suci Ramadhan. Kini, Baratan pun berkembang menjadi perayaan rakyat yang penuh warna dan sarat makna historis.
Kegiatan utama dalam Baratan meliputi pasar UMKM, karnaval, kajian diskusi budaya, dan pentas seni. Pasar UMKM ini menjadi ruang interaksi ekonomi masyarakat, dimana beragam produk lokal seperti monel, jajanan khas, hingga cendera mata bertema lampion dijual. Sementara itu, kirab karnaval melibatkan berbagai elemen masyarakat, dari pejabat pemerintah, santri, pelajar, hingga pemerhati budaya, yang menunjukkan harmonisasi sosial di kota ini.
![]() |
Pemeran Ratu Kalinyamat dalam Pekan Budaya. |
Baratan biasanya dipusatkan di desa Kriyan dan Masjid yang berdiri di atas tanah wakaf Ratu Kalinyamat, Masjid Al Makmur. Lokasi ini memiliki nilai sejarah tinggi di Jepara. Kriyan dan sekitarnya dianggap sebagai pusat kerajaan Jepara, sementara itu, Masjid Al Makmur merupakan salah satu masjid tertua di jepara dan dijadikan sebagai simbol esensi akulturasi dari tradisi ini. Perpaduan antara estetika, perdagangan dan spiritualitas ini mencerminkan kehidupan masyarakat Jepara yang selalu beriringan antara duniawi dan ukhrawi.
Di era modern, Baratan menghadapi berbagai gempuran, terutama cara mempertahankan keaslian di tengah tantangan digitalisasi budaya. Namun, dengan inovasi yang berlandaskan nilai tradisional, Baratan masih dapat relevan sebagai bagian warisan budaya Jepara. Digitalisasi, promosi, integrasi dengan sektor pariwisata, dan keikutsertaan generasi muda dalam melestarikan budaya dapat menjadi solusi agar tradisi ini tetap lestari.
Salah satunya dengan mengakomodir kebudayaan selain Baratan dalam wadah Pekan Budaya Desa Kriyan. Setiap tahunnya, kepanitiaan ini menyuguhkan tema terbaru guna menaikkan minat dan perhatian masyarakat dengan beragam kebudayaan lama yang diangkat kembali.
Seperti tahun 2024, panitia ini menyuguhkan tema BARATAN: Siti Hinggil. Harapannya, situs Siti Hinggil di desa Kriyan akan mendapatkan perhatian kembali dari khalayak ramai supaya tidak terbengkalai dan dianggap wingit.
Sedangkan tahun 2025, Pekan Budaya Desa Kriyan mengangkat tema Langgar Bubrah. Beberapa orang meyakini bahwa Langgar ini merupakan lokasi awal Masjid Al Makmur sebelum dipindahkan sebagaimana saat ini.
Namun, beberapa anggapan tersebut mulai berubah pasca ditemukannya batu dengan dua sisi terukir. Sisi pertama adalah kekayaan flora dan sisi lainnya menggambarkan manusia yang sedang berbahagia. Pola dan bahan batu tersebut mirip dengan ornamen di Masjid Mantingan, Masjid Al Aqsha Kudus, dan beberapa simpanan musium Ranggawarsito Semarang. Uniknya, ornamen di area tersebut hanya menunjukkan sisi flora dan fauna saja.
Akhirnya, Baratan bukan sekadar pesta rakyat menyambut Ramadhan, melainkan cermin dari harmonisasi budaya yang telah mengakar di Jepara. Kehadirannya membuktikan bahwa tradisi dapat menjadi jembatan bagi keberagaman, memperkuat identitas lokal, dan tetap relevan dalam gelombang perubahan. Oleh karena itu, Baratan layak terus dirawat sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang unik dan berharga. (M. Hisyam Maliki)