Ilustrasi : bangun-indonesia.com.
Cerpen : Sherly Gratia Widyasari
Kau tidak pernah tahu bahwa mencintai bisa menjadi orang
yang paling aneh di dunia. Kau bisa tersenyum dengan mudahnya hanya membaca
pesan yang dia kirimkan. Padahal bukan pesan romantis yang diwujudkan dalam
angan-angan manusia haus belaian. Hanya pesan biasa tanpa unsur apa-apa. Kau
terlalu gila bukan?
Ketika mendengar dia tertawa di sebrang meja, kau pun
ikut tertawa. Ketika dia bercerita kau pun ikut mendengarkan. Dia tidak tahu
bukan perasaanmu ketika melakukan hal gila? Sampai pada akhirnya dia yang
menyapa dan berkata, “Kau butuh tisu untuk mengelapnya? Aku memilikinya.”
Sosok yang kau puja-puja itu kembali ke tempat duduknya
dan mengambilkan tisu dari kolong mejanya. Dia kembali ke hadapanmu dan
memberikannya. “Sayang jika tidak terpakai. Kau pakai saja untuk mengelap airmu
yang tumpah. Hemm, bukumu juga sangat disayangkan menjadi basah.”
Kau menerima tisu itu dengan diam tanpa ekspresi. Setelah
lelaki itu pergi, kau baru tersenyum dengan senang. Kau seperti kehilangan
duniamu sementara lalu kembali menapak tanah setelahnya.
“Mana tisunya, Ra. Biar bersih mejanya.” Sahabatmu
menodongkan tangannya. Berharap tisu itu kau buka dan terpakai sebagaimana
mestinya.
“Jangan! Aku akan membelinya. Kau tunggu di sini. Jangan
sampai bukuku basah dibuatnya.” Kau lalu berlari keluar dan pergi ke toko alat
tulis di dalam lingkungan sekolah. Berlari sambil tersenyum sumringah.
Sayangnya, kau justru menemukan laki-laki itu di sana,
sedang mengantri sambil memegang bolpoin dan folio. Kau tercekat dan hanya bisa
menyembunyikan tisu yang ada di sebelah tanganmu.
Laki-laki itu menoleh. Dia tersenyum ke arahmu. “Kau mau
membeli buku?” tanya laki-laki itu. Kau gugup dan hanya bisa mengangguk.
Laki-laki itu lalu mengambil buku yang terletak di rak sampingnya. “Ini
untukmu. Karakter Loopy-nya bagus.” Dia menyerahkannya sambil tersenyum manis.
Jangan tanya duniamu sendiri. sekarang jantungmu sedang
berdiskotik tidak tentu arah. Kau hanya bisa diam dan menerimanya. Tidak bisa
tersenyum. Secepat mungkin kau mengambilnya dan memasukkan tisu tadi ke dalam
sakumu. Kau
tidak ingin dia melihatnya.
“Terima kasih,” katamu. Kau melirik kulkas yang ada di
sampingmu. Terdapat berbagai minuman yang terlihat menarik. Kau mengambil dua,
“Ini untukmu. Terima kasih telah memberikan tisu,” katamu dengan malu-malu.
Namun, kau kembali mengambilnya, “Aku lebih baik membawanya dulu. Biar aku yang
bayar.”
Laki-laki itu hanya tersenyum melihatmu. Kau tidak pernah
mengira akan mendapatkan banyak keajaiban hari ini. Kau seolah tersadar akan
imajinasi-imajinasi yang selalu kau bayangkan akhirnya terwujudkan. Kau tidak
bisa menghentikan rasa senangmu.
Sekali lagi, kau hanya bisa menunduk sambil tersenyum
malu. Kau bisa merasakan bahwa dunia sedang berputar tanpa dirimu karena kau
sedang hanyut dalam putaran emosi perasaan. Perasaan yang berkembang semakin
dalam.
“Bagaimana kalau kita balik ke kelas bersama?” kata
laki-laki itu setelah membayar belanjaannya.
“Boleh. Kau tunggu di luar saja kalau begitu ya.”
Beruntungnya laki-laki itu setuju, lalu kau mengambil tisu dan membayarnya.
Tisu dari orang terkasihmu terselamatkan juga. Kau berjanji akan menyimpannya
dalam museum kebangaanmu itu.
Kau berjalan beriringan ke kelas bersama dirinya. Kau
tidak bisa untuk tidak tersenyum senang.
“Kau sudah mengerjakan tugas cerita?” tanya laki-laki
itu.
“Sudah. Aku sudah mengerjakannya kemarin,” jawabmu.
“Kau menulis tentang apa?” Laki-laki itu bertanya
kembali.
“Menulis tentang kisah cintaku.” Kau berkata dengan
malu-malu.
“Kisah cintamu? Seperti apa itu ceritanya?”
“Tentang percakapanku denganmu melalui sebuah tisu.”
Akhirnya kau pun bernapas dengan berat dan menatap layar monitormu. (08)