Notification

×

Iklan

Iklan

Pendidikan Indonesia Sedang Sakit

Selasa, 25 Juni 2024 | 06:24 WIB Last Updated 2024-06-24T23:24:21Z

Mahasiswa tolak kenaikan UKT. 


Oleh : Irna Maifatur Rohmah, alumnus UIN Saizu Purwokerto


Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Belakangan ini, seringkali muncul di media sosial terkait masalah pendidikan di Indonesia. Mulai dari UKT naik, ketidakterbukaan pihak penyelenggara pendidikan, fitnah guru, dan tetek bengek yang membuat stigma buruk pada pendidikan di Indonesia. 


Belum rampung dari hingar bingar pilpres dan buntutnya, pendidikan yang menjadi penentu generasi emas (katanya) kena pukul sana sini. Lucunya bukan dari masyarakat saja yang jadi penyebabnya namun juga dari petinggi pendidikan di Indonesia. Ya karena sekarang akses media sudah sangat mudah dan masyarakat dengan mudah mengkritik pihak yang dikehendakinya. 


Dalam waktu yang berdekatan ini, saya menemukan 3 hal penyebab Pendidikan Indonesia sakit.


Pernyataan petinggi pendidikan kontradiktif dengan Indonesia Emas 2045. Beberapa waktu lalu, beberapa universitas melakukan aksi yang menanggapi kenaikan UKT bagi mahasiswa baru. Bagaimana tidak, UKT naik menjadi berkali lipat meskipun dari data pihak kampus kurang dari 10% yang mendapat UKT dengan kenaikan berlipat itu. 


Namun, tetap menjadi momok mengerikan bagi yang ingin menyentuh pendidikan tinggi. Beberapa waktu berikutnya, petinggi pendidikan menyebutkan bahwa “kuliah adalah pendidikan tersier” untuk merespon UKT yang melangit. Meskipun pada kenyataannya pendidikan wajib hanya 12 tahun, pernyataan itu cukup menyakitkan hati mahasiswa dan pemerhati pendidikan. 


Bagaimana tidak, dengan cita-cita Indonesia Emas 2045 kok malah kuliah menjadi kebutuhan tersier? Sangat-sangat kontradiktif antara cita-cita Indonesia Emas dengan pendidikan tersier ini. Lagi pula Indonesia masih sangat kurang SDM yang berpendidikan hingga strata-1 untuk menjadi negara maju. Alih-alih diberi semangat dan kemudahan untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi malah disuguhi pernyataan yang demikian. Benar-benar sakit bukan? 


Fitnah guru via study tour. Belum lama lagi, kegiatan study tour juga menjadi trend di beberapa media sosial. Masyarakat yang kecewa (mungkin) dengan salah satu penyelenggara malah memukul rata seluruh guru yang numpang liburan pada study tour siswa. Sontak guru pun bersuara. Study tour itu bukan untuk liburan gratis guru. Banyak hal yang ada di kegiatan study tour. Ada belajar di masyarakat, melihat situs-situs yang sebelumnya mereka kenal dari buku, dan banyak lagi lainnya. Termasuk rekreasi juga perlu dilakukan oleh siswa barangkali berasal dari keluarga yang tidak pernah mengajak rekreasi karena berbagai alasan (ekonomi) maka sekolah mengadakan study tour. 


Toh, masih banyak siswa yang mengharapkan study tour dan tidak protes. Orang tua juga pantasnya mendukung kemauan siswa, bukan mengecam guru seluruh Indonesia. Asal tau saja, ngurus siswa study tour itu berat. Mulai dari membawakan alat P3K, mengurus siswa yang mabuk perjalanan, mengondisikan siswa di lokasi supaya tidak terpencar, pokoknya bertanggung jawab atas siswa selama mereka study tour. 


Bayangkan bagaimana guru harus berpisah dengan keluarganya demi anak ibu/bapak bisa merasakan study tour dan mengukir kenangan bersama teman-teman sekolah. Waktu tidak bisa diulang, meskipun ketika dewasa bisa mengunjungi situs atau destinasi sesuka hati, tapi moment-nya beda. Nah, ini juga salah satu dampak dari pentingnya pendidikan agar bisa mengambil perspektif lain. Kritiknya benar, namun penyampaiannya yang keliru sehingga guru di seluruh Indonesia geram. 


Administrasi guru semakin menggunung, anak-anak jadi tak terurus. Adanya platform merdeka mengajar (PMM), seluruh yang dilakukan oleh guru harus diunggah ke PMM. Benar adanya kalo digitalisasi harus masuk ke pendidikan. Tapi, coba pelan-pelan. Banyak guru yang sudah sepuh dan kurang tanggap digital sehingga keteteran untuk menyelaraskannya. Alih-alih membelajarkan dan mendidik siswa, guru malah disibukkan dengan memenuhi beban administrasi itu. Tidak jarang guru hanya memberikan tugas dan ditinggal untuk melengkapi administrasi di PMM itu. 


Tidak jarang pula guru harus membawa beban itu ke rumah dan mengorbankan waktu bersama keluarga untuk melengkapi administrasi itu. Memang betul guru harus disiplin dengan administrasi. Tapi coba pelan-pelan. Terkadang guru sudah nyaman dengan kondisi sebelumnya dan belum bisa beradaptasi dengan kondisi saat ini. Alhasil siswa yang menjadi korban. 


Rasanya berat sekali untuk mengentas Indonesia dari kemiskinan jika pendidikan masih seperti ini jika dari pihak petinggi, tenaga kependidikan, dan masyarakat masih saling seperti itu. Mestinya ketiganya bahu membahu mengentas kemiskinan dengan menyokong pendidikan dengan maksimal. APBN yang digelontorkan 25% apabila digunakan dengan semestinya pasti bisa membawa angin segar bagi pendidikan. Namun, terkadang gelap matalah yang membuat masing-masing belum bisa menggunakan kesadaran diri dan sosial melihat apa yang sedang dihadapinya.  


Dari sana rasanya perlu pembenahan pada petinggi negeri ini terkait pendidikan di Indonesia. Ide-ide yang dicanangkan memang benar namun langkahnya belum tepat. Yang ada di ujung tombak pendidikan Indonesia itu manusia, bukan robot yang tidak memiliki hati. Coba kalo buat keputusan atau pernyataan disaring dulu pake perasaan. Kan, pendidikan juga masuk di sosial humaniora, masa iya ngga pake hati ketika membuat putusan. (19)

close close