![]() |
Ilustrasi: Google |
Cerpen: Ummi
Abdillah Azzahro
Kata orang aku berada di
kamar yang berpenghuni orang baik, sami’na wa atho’na, kata mereka.
Walau begitu, tak lantas jadi jaminan kalau anak baru sepertiku akan menjadi
santri yang baik dan taat.
Benar kata orang, setelah ku
perhatikan, kamarku memang penghuninya jarang terkena takziran. Mereka
sangat baik padaku, dan benar-benar memberi perhatian khusus kepadaku sebagai
santri yang baru mondok. Mereka juga dermawan, tak pernah sekalipun aku melihat
mereka makan tanpa menawari santri lain untuk bergabung makan bersama.
Tara. Di antara teman yang
lain, ia lah teman sekamar yang paling sering terlihat bersamaku, dan ku anggap
sebagai sahabat. Ia baik padaku sampai suatu saat aku tak tahu apa yang terjadi
pada hatiku.
Aku merasa suasana nyaman ini
berubah menjadi kebosanan. Hal yang tampak sempurna di kamar ini terasa sangat
menjemukan. Tiba-tiba aku mendengar kegaduhan di kamar sebelah. Sebagai santri
baru, lingkup pergaulanku memang sebatas kamarku saja. Aku belum berani keluar
kamar, kecuali saat sholat dan mandi.
Kegaduhan itu menarik
perhatianku. Aku mencoba keluar kamar dan aku melihatnya. Seseorang yang
tertawa lepas sendirian. Dia tampak amat bebas di antara kami. Aku mengenalnya
dengan nama Yafi. Dia tukang gaduh dan pemegang rekor tertinggi untuk urusan
melanggar. Aku mendekatinya, mencoba menyapa dan bercakap dengannya. Percakapan
yang ku harap bisa membuat kami akrab kelak. Aku sering ke kamarnya. Berdekatan
dengannya dan membuat basa-basi.
“Kenapa kamu terus
mendekatiku? Aku adalah orang yang berbahaya bila dijadikan teman,” kata Yafi ketus. Aku hanya
tersenyum lalu duduk lebih dekat denganya.
“Ketika aku bilang aku
berbahaya, seharusnya kau menjauhiku bukan mendekatiku!” seru Yafi mulai marah.
“Aku tak melihat hal yang
membahayakan darimu. Kamu boleh berpendapat kalau kamu berbahaya, tapi kalau
menurutku kamu itu unik. Kamu berbeda dengan santri yang lain.”
“Aku itu seperti api. Siapa
pun yang mendekat akan terbakar. terserah kamu mau percaya atau tidak, aku
sudah memperingatkanmu.”
“Aku hanya ingin membuat
suasana hidupku berubah, itu saja,” jelasku padanya, agar ia tak salah sangka
terhadapku, yang mengira aku ingin jadi sahabatnya.
Di pondok Yafi memang tak
punya dan tak ingin berkawan dengan siapa pun. Pernah aku mendengar cerita
kalau Yafi pernah punya sahabat. Kemana-mana selalu bersama. Barang yang
dikenakan seperti gelang, baju, jilbab semua harus kembar.
Suatu hari pondok gempar
karena kasus pacaran, HP, dan pencurian. Kasus pacaran telah diketahui langsung
oleh Abah Yai. Beliau melihat Yafi dan sahabatnya di jalan bersama laki-laki
bukan mahram. Sedangkan kasus pencurian desas-desusnya dilakukan oleh Yafi,
tapi buktinya mengarah pada sahabatnya. HP juga begitu, milik Yafi yang disimpan
di almari sahabatnya. Dipersidangan sahabatnya berkelit kalau semua itu ulah
Yafi, ia hanya korban. Akan tetapi, isi SMS itu rata-rata milik sahabatnya,
karena memang yang berpacaran adalah sahabatnya.
Keamanan menjatuhkan
vonisnya. Sahabat Yafi dikeluarkan dari pesantren untuk kasus
pacaran yang mencoreng nama baik pondok, sedang Yafi dihukum menjerang air
minum pondok selama setengah tahun untuk kesalahannya menemani kejahatan.
Setelah kejadian itu, Yafi terlihat jarang bergaul dengan santri lain.
* * *
Sering bersama membuat aku
dan Yafi terlihat seperti sahabat. Aku entah kenapa mulai sering ikut Yafi
bolos mengaji. Sebenarnya Yafi melarangku untuk bolos, tapi aku kukuh ingin
bolos. Agar tak ketahuan keamanan aku sembunyi di tempat rahasia Yafi, namanya Black Forest. Itu adalah tempat
penyimpanan kayu bakar pondok. Jarang ada orang masuk ke sana karena
kotor, jadi ini adalah tempat teraman
dari keamanan.
Selain bolos mengaji aku
pernah coba-coba merokok. Aku hanya penasaran dengan rasa lintingan yang
digandrungi kaum adam itu. Mencoba mencari tahu di mana kenikmatan sebatang
rokok. Tapi akhirnya aku kapok, sekali coba tenggorokanku langsung sakit
berhari-hari. Kenapa barang seperti ini disukai lelaki? Entah.
Aku tak pernah sadar kalau
aku sudah terlampau jauh melakukan pelanggaran. Apalagi tak ada yang menegur.
Yafi sering mencegahku untuk tidak melakukan pelanggaran. Pernah suatu kali ia
berkata, “Jangan keseringan bolos ngaji, nanti ketahuan keamanan,”
“Kau sendiri bolos terus,”
tukasku
“Aku, kan, sudah punya
stempel santri mbeler. Jadi, kalau nggak ngaji itu luar biasa, yang luar
biasa itu kalau aku rajin mengaji.” Yafi berkelit.
“Kalau aku ketahuan keamanan
bukankah aku juga akan mendapat stempel santri mbeler. Lalu aku bebas
melakukan pelanggaran.”
“Kamu tak tahu, kan rasanya
dikucilkan orang-orang. Kamu juga tak tahu, kan rasanya dianggap jahat. Kamu
ingin berubah tapi orang-orang disekitarmu seakan tak menizinkan kamu berubah
jadi lebih baik. kamu belum tahu rasanya, kan?” aku tahu saat ini Yafi sedang
mencurahkan isi hatinya.
“Aku siap menerima risiko apapun. Aku akan
bertanggung jawab atas kesalahanku.”
Susana hening seketika.
Terdengar derap kaki mendekat. Pintu black forest dibuka, muncul wajah-wajah
garang keamanan. Mereka terlihat seperti kawanan serigala lapar yang siap
menyantapku dan Yafi. Aku disidang untuk pertama kali. Suasana di kantor
pengurus sangat mengintimidasi.
“Kami tahu kalau kalian suka
tak ikut mengaji. Kami juga tahu kalau kalian bersembunyi di balik tumpukan
kayu bakar saat bolos. Tempat itu juga, kan yang kalian jadikan tempat ketemuan
dengan lelaki.”
Keamanan menyodorkan
bungkusan plastik berisi kertas dan putung rokok pada kami yang tertunduk diam. Tangan Yafi
mengambil kertas yang kuduga adalah barang bukti kejahatan kami. Wajahnya
berubah geram seketika. Aku penasaran.
“Tuduhan Mbak tentang bolos
ngaji dan sembunyi di gudang kayu, itu benar. Akan tetapi, rokok dan surat
cinta itu bukan kesalahnku,” papar Yafi.
Keamanan menatapku, ingin
minta penjelasan atas kasus ini. Aku hanya diam, bahkan tak sekalipun aku
berani melihat tatapan tajam mereka. Aku terus menunduk selama persidangan.
Keamanan geram melihatku, akhirnya mereka membentakku karena tak kunjung
bicara.
“Jangan membentaknya! Dia
anak baru, mungkin dia ketakutan. Apa kalian tak melihat wajahnya yang pucat?”
Yafi membelaku. Tak kusangka ia sangat peduli padaku, biasanya ia acuh padaku.
Keamanan memperhalus bahasanya. Tapi aku tak kunjung
bicara. Rasanya ada perekat di mulutku. Aku menangis, itu terjadi begitu saja.
Aku merasakan sesak di dadaku.
“Surat ini menyatakan bahwa
ada lelaki yang masuk ke area pondok, dan putung rokok itu adalah bukti yang
paling kuat. Surat itu juga menyatakan kalau ia adalah kekasihmu Yafi. Kenapa
kau mengelak, dan bilang kalau kau tak tahu tentang rokok itu?” keamanan
beralih pada Yafi, mungkin mereka merasa percuma menginterogasi aku.
Sekarang giliran Yafi yang
terdiam. Aku merasa ia sedang menungguku memberi penjelasan atas keganjilan
kasus ini. Keamanan geram melihat tingkah kami. Lelah menungguku dan Yafi
bicara, keamanan serta merta langsung menjatuhkan takziran.
“Kasus ini telah diputuskan.
Keputusan ini tak bisa diubah. Sesuai peraturan pesantren, santri yang menjalin
hubungan dengan lawan jenis dikeluarkan dari pesantren. Qolbi kau
harus minta maaf pada Abah Yai, Asaatidz,
dan mengatakan semua kesalahnmu pada mereka, selain itu kamu harus menguras
kamar mandi pondok.” Kenyataan ini terlalu pahit bagiku. Yafi dihukum atas
kesalahan yang tak dilakukannya.
“Tunggu Mbak, biar aku
jelaskan perihal rokok itu, rokok itu milikku. Aku membelinya sekedar
ingin tahu rasanya merokok. Surat cinta itu palsu. Ada orang yang telah
memfitnah Yafi. Aku berkata jujur Mbak, Demi Allah. Mbak-mbak jangan
menghukum Yafi atas kesalah pahaman ini,” penjelasanku sia-sisa. Keamanan tetap
ingin mengeluarkan Yafi. Mereka bilang, Yafi memang pantas dikeluarkan. Terlalu
banyak pelanggaran yang ia lakukan.
Yafi tertunduk. Dia menangis
lirih. Aku minta maaf atas kebodohanku. Tak ada yang perlu disalahkan. Ini
semua memang risiko yang harus kutanggung, tapi Yafi tak
bersalah. Kami menangis berdua. Tak kusangka kebersamaan kami hanya tinggal
beberapa jam saja. Tiba-tiba ia berkata, “Ketika aku berkata kalau aku berbahaya
seharusnya kau menghindar, bukan malah mendekat. Qolbi, jangan jadi Yafi kedua.
Hidup yang baik di pondok!” kata terakhirnya untukku yang terkesan seperti
permohonan maaf karena memberi pengaruh buruk padaku.
“Sahabat itu selalu dekat
meski tak bersama. Kau sahabat terbaikku, Yaf. Andai aku tak bertemu denganmu
mungkin hidup di pondok akan terasa hambar. Terima kasih sudah membelaku di
persidangan.”
Yafi berkemas. Aku menangis
selama ia berkemas sampai ia mushofahah dengan seluruh santri putri.
“Sampai jumpa kembali kawan.”
Salam terakhir untuk Yafi, kuselip harapan agar bisa berjumpa kembali kelak.
Ironis. Hanya aku yang mengais saat Yafi pergi.
Dari jauh seseorang mengawasi kami. Ia tersenyum. Senyum
kemenangan. Seseorang yang kelak pasti akan mendapat balasan dari Allah atas
kejahatannya.
* * *
Aku kembali pada dunia yang
nyaman tapi membosankan. Kesalahan yang kuperbuat membuat aku menjadi orang
yang berbeda di mata santri lain. Aku menyendiri. Kini aku tahu apa yang Yafi
rasakan dulu.
Sepucuk surat menyembul
keluar dari lipatan bajuku di almari. Dari Tara. Tulisan Tara tampak familiar.
Tulisan yang pernah kulihat di persidanganku dengan Yafi waktu itu. Hatiku menjadi panas. Aku
pergi ke kantor pengurus. Menunjukkan surat itu pada keamanan, dan
meninggalkannya untuk diurus mereka.
“Kebenaran tak pernah
terlambat. Kesalahan orang-orang itu sebentar lagi terungkap. Allah akan
tunaikan janjinya pada orang-orang yang terdzalimi.”
Yafi, sahabatku, Allah telah
tuntaskan janjinya.
----------------------------
Ummi
Abdillah Azzahro, Pemimpin Redaksi Majalah Garda pesantren Darus Saadah Bugel
Kedung Jepara. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di majalah Sur’ah (MA
Walisongo Pecangaan), Swara Muda (Suara Merdeka), Majalah Maarif Jawa Tengah
dan Koran Muria.