![]() |
Ilustrasi: Google |
Cerpen
Kartika Catur Pelita
“Sakitnya
tuh di sini di dalam hatiku. Sakitnya tuh di sini di dalam anuku. Sakit, sakit,
asik, enak, sakit…”
Cika,
perempuan bohai berkaraoke, sambil menebar senyum genit menggoda, berjoget seksi di depan empat lelaki usia dua
puluhan tahun yang asik menenggak miras.
Salah seorang di antara lelaki mendekati Cika, merengkuh tubuhnya seraya ikutan bernyanyi.
“Sakitnya
tuh di sini di dalam hatiku. Sakitnya tuh di sini di dalam celana, aduh aduh….”
Si
lelaki lainnya terkikik. Cika sang PK,
pemandu karaoke bergeliat menebar pesona.
“Sakitnya
tuh di sini, di dalam dadaku. Sakitnya
tuh tuh di sini di dalam dadaku. Sakit. Sakit.”
“Asik
asik”
“Susu-susu.”
“Adanya
wiski mas.”
“Tuangi
lagi dong.”
“Brandi,
vodka, congyang, mana bir?”
Cika
beranjak ke depan lelaki tambun, si bos dalam kelompok itu.“Mau tambah lagi, Bos?”
“Goyang
lagi dong,” si lelaki menowel pipi cabinya. Cika pun mulai geyol. Kali ini ia mendendangkan
Satu Menit Saja-Zaskia Gotik. “Cukup
satu menit, cukup satu menit kumengenal dirinya. Cukup satu menit kubergoyang bersama
dirinya….”
Si
bos bangkit dan menyawer, mengulurkan uang. Cika dongong, mau-mau malu. Menggoda. Si
pejantan menguar gelora, menyelipkan lembaran-lembaran uang merah pada rekah payudara si
betina. Cika tersenyum ganjen. Semakin gairah bergoyang, dan si lelaki semakin gila
menyawer. Payudara, pinggul, bokong, dan
bibir sangat menggoda. Ia tak tahan lagi menyergap hendak menciumnya. Si Cika
berkelit. Si bos terkikik.
“Aku
suka kamu Cia. Kamu engingeng ngono. Setelah ini temani bobok yok?”
Cika menebar
jala halus siap menjerat. Erat lekat.
“Saya
bayar kamu dua kali dari kemarin.”
Cika
mengiyakan dan berbisik manja.”Oke.”
“Deal. Tapi kasih dulu bonus nih, cium…”
“Ogah
ah ntar ada pengen.”
“Kalo
pengen biar mereka cari PK lain.”
Room
karaoke, ruang 4 x 4 dan kedap suara itu
semakin panas. Setan bergoyang. Iblis menggeliat.
“…mabuk
lagi ah. a, mabuk lagi, goyang lagi ah ah goyang lagi.”
* * *
“Aku
rak popo aku rak popo. Its oke ae mas. Its oke ae. Aku rak popo diapak-apakno…..”
Cika sang
ratu primadona karaoke “Balola” di kawasan
Pungkruk. Ia mojang Bandung. Sengaja datang ke Pungkruk untuk meneruskan karir
sebagai PK. Setelah beberapa kota di singgahi, tiga
tahun tahun lalu ia betah di kota Kartini.
Ijazah SMA-nya hanya laku untuk melamar kerja
sebagai pelayan toko. Sesekali ia nyambi sebagai SPG.
Suatu hari bertemu supervisor yang ngaku perjaka ting-ting, ternyata beranak lima.
Ngaku kaya ternyata hanya punya motor roda dua, kreditan pula. Kere.
Cika kadung
terperosok dan digigit sang buaya. Perutnya melendung dan melahirkan bayi mungil di kampung. Mak yang merawat.
Terlanjur kotor, ia memilih mandi lumpur sekalian. Hijrah ke
kota, kerja di café. Asik jadi PK, selain dapat tip banyak, ia bisa pula menyalurkan hobinya nyanyi. Siapa tahu kelak ada
produser yang mengorbitkan jadi penyanyi
tersohor seperti Cita Citata yang melejit karena ‘Sakitnya di Sini’.
Cika
yang bohai, semok, seksi, berambut cat warna
pink, bertato kalajengking, menyedot
rokok memandang sosok muda, segar,
cantik, seksi, di balik cermin. Meludahi kaca dan tersenyum sinting. Ia
menggumamkan pantun ngwur.”Anak monyet bawa beruk, raja kera pake koteka. Hari
ini PK Pungkruk, siapa tahu besok jadi biduan ibukota.”
Cika yang
berkulit putih dada mulus, menyeka ludah di cermin. Tersenyum terpesona
pada sosok di balik cermin, ketika Tiara dan Solena masuk ke kamarnya.
“Ngelamunin
apa hayo? Semalam sama bos Uhauha?”
“Hihihi.
Bayangin jadi Citi Cititi. Uang banyak, mobil mewah, rumah megah. Bisa kumpul sama anak.”
“Ah
ngaco. Terima aja nasib hari ini, “ cocor Solena sambil menghenyakkan di
ranjang. Empuk.
“PK Pungkruk
jangan ngayal tinggi-tinggi. Karaoke ini jalan aja syukur. Denger-denger bentar lagi karaoke ini ditutup,”cerocos Tiara.
“Ngaco.
Dengar dari mana?” Cita berpaling dari cermin, memandangai dua perempuan yang
sosoknya tak beda dengan dirinya. Muda, cantik, seksi dan menor.
“Kamu
sih enggak suka baca berita koran.
Nonton teve kek.”
“Bosan
politik mulu.”
“Koran
lokal muat rencana pemkab mo nutup semua karaoke Pungkruk tuh.”
“Apa alasannya
coy?”
“Katanya
karaoke bikin maksiat. Orang mabuk. Mesum. Gangguin rumah tangga orang, dan..”
“Emang
iya.”
“Tapi
bukan salah kita. Mereka datang ke sini, bawa burung minta dielus, bawa uang,
kita kasih senang-senang. Apa kita salah coy?”
“Kamu
enggak sedih kalo
karaoke kita tutup?”
“Ngapain
sedih. Gue bisa pindah ke Batam, Kalimantan, Papua atau kalau perlu ntar ke Hongkong. Hihihi.”
“Elo
gak punya solidaritas sama bos yang udah
nampung kita kerja di sini
“Emang
gue kudu ngapain? Nangis? Kita rame-rame demo bawa sempak-kutang? Bos banyak uang. Karaoke tutup bisa buka usaha
lain. Gak usah dipikirin deh.”
“Kamu
aneh, Cit.”
“Kalian
yang
terlalu sensitif. Ngapain sedih. Hidup
kita udah banyakan susah. Ngapain bingung. Benar kata elo tadi, kita nikmati aja sebagai PK. Jangan sedih, ayo di sana senang,
di sini senang, di sana goyang, di sini goyang. Pokoke joget-pokoke
joget-pokoke joget…..” Cika goyang jorok.
Solena
nimbrung goyang kentir. Tiara melempar
mereka dengan guling, tapi dia kemudian ikut goyang sinting.
“….ayo
goyang dumang bikin hati senang…”
* * *
“Mana
mungkin selimut tetangga hangat di tubuhmu…”
Nun
di pelataran rumah, di kamar, di kasur,
di dapur, di dumu, di kamar mandi, di jalan
raya orang berkicau-kacau rencana penutupan karaoke Pungkruk.
“Sedih,
piye kalo karaoke tutup. Gak ada lagi pemasukan. Gak bisa setor jajan.
Gak bisa lagi jual miras.”
“Warung
sepi biasanya PK makan di sini.”
“Laundri nangis
nih, gak da yang nyuci baju sempak kutang.”
“Hore,
pengusaha mo buka restoran, trus PK jadi pelayan? Apa mau? Emang buka warung makan mudah? Emang PK mau
jadi pelayan yang bayarannya dikit? Aneh ae.”
“Keputusan
grusa-grusu. Golek enakke dewe.”
“Wow,
aku terinspirasi nulis esai bias usaha karaoke. Moga dimuat di wacana media.”
“Alhamdulillah,
akhirnya kota kita bebas tempat maksiat.”
“Sok
suci, ngaku kaji nok omah lungo ngaji nok Jakarta lungo nok tempat begenggekan.
Podo ae dobol.”
“Ogak
ono maneh tempat mabuk.”
“Gak
bisa lagi karaoke luar dalam.”
* * *
Cika,
Anita, Bella, Fatin, Solena, Tiara, Tami, Culin, tetap
bernyanyi, adu goyang, menularkan rayuan dahsyat, persetubuhan maut, tukar cairan berbisa, di dalam room kedap
suara, kamar berkaca, kamar mandi jorok,
berdesah dalam nafsu purba.
“Goyang
lagi, Kang. Goyang lagi ah, ah.”
“Kamu
di atas, aku di bawah. Kamu 6 aku 9.”
* * *
Kota
Ukir, 06 Februari - 09 Maret 2015
Kartika
Catur Pelita, penulis novel “Perjaka”.