Jepara, soearamoeria.com
Empat
belas tahun lalu saat Kartika berusia 30 tahun sudah memfokuskan menekuni tulis-menulis.
Pilihan itu lantaran dirinya enggan menjadi buruh perusahaan. Menjadi buruh
bagi lelaki yang lahir di Jakarta 11 Januari ini merasa kurang nyaman. Sebab
harus bekerja ekstra keras di bawah tekanan pimpinan.
Usai
memilih opsi penulis lepas lelaki bernama Kartika Catur Pelita ini tidak
langsung mengunduh hasilnya. Semuanya dilaluinya dengan proses kreatif.
Sejak
masih duduk di bangku SD kebetulan ayahnya yang menjadi anggota TNI langganan
koran. Dari situ ia mulai demen dengan
membaca. Hampir semua media yang waktu itu masih eksis dibacanya.
Misalnya
Kartika, Suara Merdeka, Angkatan
Bersenjata, Kartini, Bahari, Si Kuncung, Tom-tom, Kawanku, Bobo, Tom-tom
dan Adinda.
Kartika
kecil pun makin doyan membaca. Beranjak
ke SMP putra pasangan Soejaiz dan Siti Rohani ini bisa dibilang kutu buku. Sebab
ia rajin membaca buku di perpustakaan sekolahnya. Majalah Anita Cemerlang serta Hai
dilahapnya.
Dari kegemaran
membaca cerpen remaja di kedua majalah tersebut lambat laun mulai tertarik menulis.
Cerpen “Ombak di Langit Biru Masih
Bernyanyi” yang pernah ditelurkannya masih membekas hingga saat ini.
Naskah
cerpen yang ditulis SMP ini belum hoki. Bagi dia hal ini menjadi jalan menjadi penulis.
Saat ini ada ratusan karya berupa cerpen, puisi dan artikel sudah diterbitkan
di media.
Sebut
saja Republika, Nova, Suara Pembaruan,
Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Bangka Post, Inilah
Koran Jabar, Metro Riau, Koran Madura, Koran Muria, Annida dan Kartini.

“Naskah
sudah saya kirim ke penerbit tahun 2003 baru diterbitkan tahun 2011 lalu,”
ingatnya pada soearamoeria.com
Saat ini
dirinya menarget jumlah tulisan. “Kalo tahun 2014 ada 40 naskah dimuat tahun
ini harus lebih dari itu,” imbuhnya.
Bagi ketua
Akademi Menulis Jepara (AMJ) menulis merupakan sebuah kebutuhan. Tak salah jika
ia tak susah untuk mencari ide. Sebab idenya berasal dari pengalaman orang,
imajinasi, pengamatan maupun dari mimpi.
Untuk
mengawali menulis terlebih dahulu ia awali dengan membuat draf, coretan baru
dipindah di komputer. Dari proses ini Kartika jarang mengalami mood maupun
tidak. Kapan pun bisa menulis.
Kepada
penulis pemula ia berpesan agar terus berlatih. “Menulis itu 1 % dari bakat
sisianya dari latihan,” jelas anak keempat dari delapan bersaudara ini.
Berikutnya
penulis harus punya mental. Mental pejuang. Mental pemberani. Terakhir harus
punya modal misalnya mempunyai buku bacaan.
Karena
sudah terlanjur nyemplung di dunia
tulis-menulis ia pun tidak tahu sampai kapan “pena” yang ia “goreskan” akan
berhenti. “Selama raga masih di kandung badan InsyaAllah saya akan tetap menulis dan menulis,” pungkasnya. (Syaiful Mustaqim)