Sisi Gelap Kurikulum Merdeka - Soeara Moeria

Breaking

Kamis, 07 November 2024

Sisi Gelap Kurikulum Merdeka

 

Kurikulum merdeka.

Oleh: Irna Maifatur Rohmah, alumnus UIN Saizu Purwokerto


Kurikulum merdeka merupakan kurikulum yang saat ini digunakan di Indonesia di mana esensi dari kurikulum ini adalah memberikan keleluasaan pada peserta didik untuk belajar sesuai dengan bekal yang sudah mereka miliki dan dikembangkan lagi di sekolah. Harapannya kurikulum merdeka memiliki kefleksibelan dalam implementasinya di lapangan. Di mana antar sekolah bahkan antar kelas dalam satu sekolah bisa melakukan pembelajaran yang berbeda. Muatan lokal atau budaya lokal juga menjadi hal yang diangkat dalam kurikulum ini. Penilaian, bahan ajar, evaluasi yang digunakan tidak ada ketentuan mutlak, karena semua dikembalikan ke masing-masing kondisi peserta didik dan guru.


Adanya hal tersebut karena ketercapaian dari masing-masing peserta didik tidak sama. Penilaian proses yang ditekankan pada kurikulum ini, bukan hanya pada hasil. Jadi, apapun hasilnya pasti ada perkembangan dari kondisi awalnya. Singkatnya seperti itu. Namun untuk mengarahkan sampai tahap itu, bukanlah hal sepele. Ada elemen-elemen yang harus disadarkan untuk mengetahui dan mengusahakan yang terbaik baik dalam proses maupun hasil.


Di sinilah, kurikulum yang diadopsi dari Finlandia ini menjadi kurang cocok untuk diterapkan di Indonesia saat ini.


Hanya ada capaian pembelajaran secara umum dan dijabarkan menjadi tujuan pembelajaran dan alur tujuan pembelajaran secara mandiri oleh guru yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Jika melihat dari kefleksibelannya memang bagus. Pendidikan tidak memaksakan peserta didik dan guru. Namun, hal ini memiliki dampak jangka panjang yang mana ketidakmerataan pengetahuan dan kemampuan antar peserta didik dari beberapa sekolah bahkan daerah. 


Ketercapaian pembelajaran yang ditetapkan oleh kurikulum tidak tercapai. Banyak peserta didik yang tidak paham dengan esensi materi yang disampaikan. Guru juga dilematis untuk memberikan materi yang lebih. Capaian yang diacu hanya ketercapaian minimal. Itu juga belum seluruh peserta didik mencapainya. Hal tersebut menjadikan kemampuan peserta didik turun dari beberapa tahun sebelumnya. Peserta didik saat ini memiliki pemahaman yang rendah. 


Kefleksibelan dan keterjaminan lulus jenjang dan tingkat, membuat peserta didik memiliki motivasi belajar yang rendah. Tidak ada ujian nasional, tidak ada yang tinggal kelas bahkan dengan banyak kasus dan alpa saja bisa naik kelas dan lulus. Hal ini menggiring peserta didik untuk bersantai dan tidak ada usaha untuk mencapai sesuatu. Jika dulu ada kekhawatiran tidak naik kelas atau tidak lulus ujian nasional, sekarang peserta didik takut akan apa? Kedisiplinan bisa diarahkan ke kekerasan. Guru saat ini berada di posisi yang serba salah. Di mana harus menerapkan disiplin positif, namun ketika kesepakatan yang dibuat tidak konsisten dan bisa mengarahkan pelaporan orang tua pada pihak yang berwajib, guru bisa apa?


Disiplin positif juga menghilangkan reward dan punishment yang mana hal tersebut bisa menjadi pemicu semangat dan motivasi peserta didik. Namun, kini guru tidak diperkenankan untuk memberikannya. Disiplin positif memang memiliki proses yang cukup lama. Jadi sekiranya pergeseran dari reward dan punishment bisa diperhalus, bukan langsung diganti. Dengan itu, sudah mengarah pada disiplin positif namun masih ada beberapa reward dan punishment. Baru ketika sudah terbiasa reward dan punishment dihilangkan. 


Di kurikulum merdeka juga tidak ada pe-ranking-an yang mana ini juga menjadi motivasi peserta didik untuk belajar dan berusaha mencapai yang terbaik. Kompetisi akan pengetahuan sudah ditiadakan. Di kurikulum ini lebih mengutamakan kolaborasi. Namun dalam kolaborasi juga masih bisa dibuat peserta terbaik yang nanti diarahkan pada ranking 1. Kolaborasi hanya terletak pada prosesnya. Namun ketercapaian individu dalam memahami materi juga harus dilihat. Hal ini menghilangkan semangat peserta didik untuk menambah pengetahuan dan pemahaman secara individu dan ketergantungan pada kelompok. 


Hal ini senada dengan yang dituturkan oleh guru di salah satu SMP Negeri di Purwokerto. “Saat ini ketercapaian kurikulum sangat rendah. Ketercapaian belajar sudah dibuat yang paling minim tapi tetap saja masih banyak siswa yang ngga paham.Sekarang ngga ada ujian nasional, jaminan lulus, dan naik kelas, jadi semangat dan motivasi belajar siswa rendah. Malas baca buku, malas belajar." (26)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar