A untuk Z - Soeara Moeria

Breaking

Kamis, 01 Agustus 2024

A untuk Z

 

Ilustrasi : kids.grid.id

Cerpen : Zulfa Wafirotul Khusna


Suara dering ponsel membuyarkan lamunan. Matanya berbinar melihat pesan yang ia tunggu. Dia yang telah lama pergi untuk menggapai mimpi. Sudah empat tahun terkahir kali mereka berdua. 


Aku akan menemuimu tempat pertama kali kita ketemu besok pagi pukul 8.


Ia langsung membalas pesan dari dia dengan senyuman terbit menghiasi bibir ranumnya. 


Ia tak menyangka di bawah langit malam, bintang-bintang bertebaran menjadi malam yang indah untuk Ziva. Ia mengambil sebuah buku berjudul A untuk Z. Buku pertama yang berhasil ditulis tentang kisahnya dengan laki-laki yang besok akan bertemu kembali dengannya.


"Besok pagi aku akan memberikan buku ini kepada mu sebagai hadiah pertemuan kita," gumam Ziva.


Pagi harinya pukul 8, Ziva melangkahkan kaki menuju taman dengan baju kasual hitam dan celana jeans putih serta hijab instan hitam. 


Hatinya bergemuruh melihat seseorang di depannya. Dengan memegang sebuket bunga lili.


Laki-laki itu memberikan bunga itu kepadanya. Ziva menerima dan menaruhnya di kursi taman.  Laki-laki bernama Aslan langsung menghamburkan pelukan kepada Ziva.


"Maaf karena membuatmu menunggu lama." Ziva melepas pelukan Aslan dan menatap dengan lekat, tersirat kerinduan dalam dirinya untuk laki-laki itu. 


"Tidak apa-apa. Sekarang kita bisa ketemu lagi."


Aslan meraih tangan Ziva. "Besok aku akan datang menghitbah mu bersama kedua orang tuaku." 


Ziva terdiam sesaat. Apakah ini mimpi?


Ziva masih berkelana dengan pikirannya. Bukankah beberapa tahun lalu Aslan memutuskan untuk pergi. "Kamu beneran?" tanyanya.


Aslan mengangguk kecil. Ia membiarkan Ziva untuk mencoba memahami apa yang diutarakan. Memang sebuah kejutan yang pastinya akan membuat gadis itu terkejut sekaligus senang.


Seseorang dengan wajah mirip dengan Ziva menghampiri mereka berdua. "Hai Ziv, selamat ya! Aku ikut bahagia."


Ziva membulatkan matanya, mengernyitkan dahinya. "Kamu, kok bisa di sini? Kamu hutang penjelasan denganku, Zav." Ziva melepas genggaman Aslan dan menghampiri saudara kembarnya dengan wajah cemberut.


Zava merilik ke arah Aslan. "Biar aku akan jelasin," pungkas Aslan semakin membuat Ziva bingung.


"Sebenarnya waktu itu aku pergi bukan sekadar untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Ada alasan lain," ungkap Aslan dengan hati-hati. Hatinya berdesir takut orang yang disayangi belum bisa menerima kondisinya.


"Iya Ziv, dia sebenarnya sakit." Zava menepuk bahu saudara kembarnya agar dia bisa menerima kenyataan itu, mencoba untuk menguatkannya.


"Maksud kalian apa?" tanya Ziva berkacak pinggang tak menyangka kalau mereka berdua ternyata menyembunyikan sesuatu darinya. Terlebih lagi mereka berdua adalah orang yang berada dekat dengannya. 


"Aku sakit leukimia. Aku nggak memberi tahu mu karena nggak ingin buat kamu sedih." 


Aslan kembali teringat memori kejadian empat tahun lalu di tempat ini.


Aslan menunggu Ziva untuk berpamitan dengan gadis itu. 


"Ziva lebih baik kita akhiri saja persahabatan kita. Jangan hubungi aku," jeda tiga detik. "aku akan pergi untuk menggapai mimpiku. Kalau Tuhan berkehendak 4 tahun yang akan datang aku akan kembali." Aslan mengelus jilbab Ziva. Bola matanya menyiratkan adanya rahasia yang belum bisa ia sampaikan kepada Ziva.


Buliran bening menghiasi pipi. Bibirnya bergetar. "Semoga itu bisa membuatmu bahagia. Terima kasih atas waktunya." Ziva berlari meninggalkan Aslan. Ia merasa kecewa dengan Aslan. Namun, ia tidak berdaya. Memang dia siapa bisa membuat Aslan tetap disisinya.


Aslan menatap sendu kepergian Ziva. Seorang laki-laki paruh baya menghampirinya. "Tuan hari ini jadwal untuk kemoterapi," ujar sopirnya. Aslan mengangguk kecil. Darah segar mengalir dari hidungnya, laki-laki itu mengusapnya dengan tisu.


Tanpa mereka sadari. Zava tanpa sengaja lewat di taman melihat percakapan antara Aslan dan sopirnya itu.


Kemoterapi? Apa dia sakit parah?


Zava tidak memberi tahu soal alasan pergi. Ia tidak ingin membuat Ziva semakin terluka. Lebih baik gadis itu tidak tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi.


"Maaf Ziva, aku nggak bisa memberi tahu keadaan Aslan," gumamnya pergi dari taman agar Aslan tidak mengetahui keberadaannya.


"Ziva aku hanya nggak ingin bikin kamu khawatir tentang kondisiku," ucap Aslan merasa bersalah karena tidak jujur kepada Ziva.


"Iya Ziv, aku juga nggak ingin bikin kamu makin terluka mengetahui alasan Aslan pergi," ujar Zava. 


Ziva menatap mereka berdua dengan tatapan kecewa. "Niat kalian baik, tetapi dengan tidak memberitahu aku jadi merasa semakin kecewa pada diriku yang tidak tahu kondisi Aslan." 


Aslan berdiri menyuruh Ziva untuk duduk agar bisa menenangkan diri. Membiarkan Zava duduk disebelah gadis itu untuk memberikan penjelasan yang lebih detail supaya Ziva bisa mengerti.


Zava memberi tahu tentang ia yang menghubungi Aslan sejak kejadian 4 tahun lalu. Menanyakan kondisinya. Ia melakukannya bukan untuk dirinya, tetapi untuk saudara kembarnya. Ia ingin memantau kondisi Aslan dari jauh. 


Aslan pun menyetujui permintaan Zava. Ia memberi tahu kondisinya dengan syarat Ziva tidak boleh tahu kalau ia sedang sakit dan berjuang untuk sembuh. Aslan juga menanyakan kondisi Ziva, apa yang dilakukan oleh Ziva dalam menjalani rutinitas harian.


Mereka saling bertukar kabar. Hingga, waktu berlalu begitu cepat 4 tahun Aslan menjalani kemoterapi dan berhasil sembuh. Ia juga sudah menamatkan pendidikannya di universitas swasta di Singapura. 


Begitupun dengan Ziva yang juga telah menamatkan pendidikan bersama Zava di Perguruan tinggi negeri di kota Semarang.


Zava menatap maniak saudara kembarnya. Ia menghembuskan napasnya setelah menceritakan apa yang terjadi di mas lalu. "Jadi, apakah kamu mau maafin aku, Zif?" 


Ziva menyunggingkan senyuman kepada Zava dan memeluknya dengan erat. "Tentu saja, jangan gitu lagi, ya!" 


"Pasti, sekarang giliran Aslan yang menjelaskan. Aku mau pergi dulu. Biar kalian bisa bicara empat mata."


Zava melepaskan pelukan saudaranya. "Tolong jaga Ziva, ya!" 


"Pasti, makasih Zava," balas Aslan kini berada di sebelah Ziva. Sementara Zava telah pergi untuk membiarkan mereka bicara.


Keheningan menyelimuti keduanya. Semuanya sibuk hanyut dengan pikiran masing-masing. Ziva yang merasa Aslan tidak sepenuhnya percaya padanya dan merahasiakan penyakitnya. Aslan sedang memikirkan bagaimana membuat suasana hati Ziva kembali senang dan memberikan penjelasan yang lengkap agar Ziva bisa menerima keputusannya. 


Hingga 10 menit berlalu. "Aku ingin kamu fokus dengan pendidikanmu. Kalau waktu itu aku jujur kamu pasti akan mencemaskan ku." Aslan menghela nafas gusarnya. Ia ingin Ziva bisa mengerti dan kejadian itu tidak akan jadi masalah di kemudian hari. "Aku ingin kamu bisa bahagia Ziva. Lagi pula sekarang aku sudah pulih. Aku harap kamu bisa menerima keputusanku waktu itu."


Ziva mencoba menerima penjelasan Aslan. Ada benarnya juga, ia juga seharusnya bisa memahami alasan Aslan. Mungkin, ini memang terbaik bagi mereka. 


"Baiklah, aku akan memaafkan mu dan menerima itu semuanya." Ziva mengambil buku yang berjudul A untuk Z di dalam tasnya. Lalu memberikan kepada Aslan. "Tolong terima ini sebagai hadiah. Sekarang aku berhasil meraih mimpiku menjadi seorang penulis. Bagaimana denganmu?" Ziva merilik ke Aslan. 


Laki-laki itu tersenyum simpul kepadanya. "Aku juga berhasil meraih mimpiku menjadi seorang arsitek."


Ziva ikut menyunggingkan senyumnya. Pada akhirnya, mereka kembali bersama untuk mengukir kisah. (26)


___Zulfa Wafirotul Khusna, Mahasiswa Universitas Negeri Semarang, Prodi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar