Aura Magrib dan Kontradiksinya - Soeara Moeria

Breaking

Selasa, 09 Juli 2024

Aura Magrib dan Kontradiksinya

Foto yang menangkap keindahan langit di sore hari. (Sumber: Pinterest)

Oleh : Alifia Ahmad, alumnus Sastra Indonesia Universitas Diponegoro Semarang


Standar kecantikan adalah norma atau kriteria yang menentukan seseorang dapat dianggap cantik atau menarik. Standar kecantikan ini sering kali dipengaruhi oleh budaya, baik budaya asing atau budaya Indonesia itu sendiri.


Standar kecantikan yang berlaku di Indonesia sangat menimbulkan pro-kontra, dan tidak sedikit memiliki dampak negatif. Perempuan Indonesia diharuskan berwajah kecil, bertubuh langsing dan tinggi semampai, berkulit putih, berhidung mancung. 


Lalu, bagaimana dengan mereka yang memiliki ciri fisik berbeda, seperti kulit sawo matang, eksotis, tubuh ideal, dan hidung pada umumnya? Mereka yang tidak memenuhi standar tersebut hampir selalu mengalami diskriminasi atau perlakuan tidak adil, dirundung habis-habisan, dihina jelek, dan dianggap tidak layak menjadi perempuan.


Standar kecantikan ini menjadi penjara bagi para perempuan. Kepercayaan diri yang menurun, pudarnya keberanian untuk mengeksplorasi hobi, dan lebih parahnya muncul perasaaan depresi yang akhirnya mengakar dalam diri.  


Diskriminasi tersebut baru-baru ini dialami oleh Naura Ayu, penyanyi dan aktris tanah air yang sedang naik daun. Kulit sawo matangnya disoroti oleh warganet karena dianggap tidak memenuhi standar kecantikan Indonesia. 


Padahal kulit sawo matang memiliki keindahan dan keunggulan tersendiri. Kulit sawo matang lebih kuat dalam memberikan perlindungan terhadap sinar UV, tahan terhadap tanda-tanda penuaan karena produksi melanin yang jauh lebih banyak dibandingkan kulit putih. Kulit sawo matang juga menjadi simbol, identitas, dan warisan budaya asli Indonesia.

Tweet yang diunggah Naura Ayu mempersoalkan “aura magrib” (Sumber: X @nnnauraayu)

Pada cuitan tersebut, Naura Ayu disebut memiliki aura magrib. Hal ini menjadi permasalahan serius. Istilah aura magrib tersebut mengandung konotasi negatif, diskriminasi, rasisme, dan juga merujuk pada perilaku body shaming yang merendahkan seseorang berdasarkan warna kulit. 


Sebutan aura magrib identik dengan langit yang gelap, suram, dan kelam. Mereka yang berkulit hitam, cokelat, atau sawo matang akan menjadi sasaran empuk untuk disebut aura magrib. 


Fenomena maraknya sebutan aura magrib menjadi permasalahan serius. Ini adalah sebuah kontradiksi, dan menjadi celaan terhadap waktu ibadah umat Muslim, sebagai momen sakral yang sarat dengan nilai-nilai spiritual dan budaya.


Waktu magrib sendiri menunjukkan adanya pergantian siang dan malam yang signifikan. Suara adzan yang berkumandang dari masjid-masjid yang mengingatkan umat Muslim untuk melaksanakan salat magrib menambah suasana magis di sore hari.


Adapun, orang-orang menyebut waktu magrib sebagai senja dengan langit yang memancarkan rona oranye kemerahan. 


Senja sangat disukai oleh banyak orang. Langit pada sore hari tampak sangat indah, membawa kesejukan, ketenangan dan ketenteraman tersendiri. 


Dengan demikian, perlu diingat bahwa menggunakan istilah agama, baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan lainnya, dengan tujuan untuk menghina seseorang adalah perilaku yang tidak pantas, dan nirempati.


Kita sebagai umat beragama dan berbudaya perlu menunjukkan rasa hormat dan empati antarmasyarakat dengan tidak melakukan tindakan diskriminasi terhadap perbedaan yang didasarkan pada suku, ras, agama, warna kulit, hingga orientasi gender. (03)

1 komentar: