Pemerataan yang Belum Merata - Soeara Moeria

Breaking

Rabu, 29 Mei 2024

Pemerataan yang Belum Merata

Potret jalan rusak di Indonesia. (Foto: Ari Saputra detikcom) 


Oleh : Irna Maifatur Rohmah, alumnus UIN Saizu Purwokerto


Pemerataan fasilitas yang disalurkan oleh negara nyatanya belum merata di seluruh negeri. Dulu sempat ramai terkait kondisi jalan di Lampung akibat akun sosial media salah satu warga Lampung bisa menjadi gambaran ketidakmerataan pelayanan negara kepada warganya. Kenapa di sini saya menyebutnya pelayanan? Sebab pada hakikatnya pemimpin negara atau yang memegang  kekuasaan atas negara ini bekerja untuk melayani rakyat. Jadi tidak apa kan kalo disebut dengan pelayan. Sebab mereka bekerja untuk rakyat, kan.


Kejadian kemarin merupakan gambaran kecil ketidakmerataan pembangunan di Indonesia. Hal ini sebenarnya sudah terjadi sedari dahulu, hanya saja baru beberapa tahun terakhir masyarakat memiliki ruang untuk menyuarakan melalui sosial media yang dapat dengan mudah viral dan terdengar sampai telinga birokrat. Melihat hal seperti itu tidak mengherankan bagi rakyat pedesaan yang jauh dari jangkauan pemerintah.

 

Jangankan di Lampung yang statusnya di luar pulau Jawa, di pulau Jawa pembangunan masih belum merata. Apalagi pulau lain. Padahal seharusnya semua daerah mendapatkan gelontoran dana untuk memajukan atau memperbaiki fasilitas publik, contohnya jalan umum. 


Selama saya tinggal di sisi selatan pulau Jawa saja, akses untuk masuk ke desa saya masih buruk. Dari saya masih SD sampai sekarang. Belum lagi sebelum saya lahir. Hingga saya terkadang malu menyebut daerah saya kepada teman-teman saya. Soalnya langsung dapet label “dalane bodol”. Gitu. Selama saya sekolah, jarang sekali teman saya mengunjungi daerah saya sebab buruknya akses ke sana. Hanya satu dua saja. Sampai ada teman yang masuk ke daerah saya dan sepulang dari sana langsung ke bengkel, motornya jadi bermasalah. 


Ya gimana ya, motor matic yang biasa di jalan beraspal mulus tiba-tiba masuk ke daerah yang jalannya udah campuran lumpur dan batu-batu besar. Kalo ngga mesinnya bobrok ya rodanya bocor. Belum lagi batu yang barusan diinjak terlempar ke dashboard. Itu kalo lagi kering motor atau barang di taruh di pinggir jalan sejam saja permukaannya udah bisa buat nulis. Saking tebalnya debu dari jalan itu. Kalo lagi hujan udah jadi lumpur deh jalan itu, kayak yang di Lampung itu. 


Saat saya masih sekolah naik sepeda, teman saya sampai rodanya macet karena saking banyaknya lumpur yang masuk ke slebor dan ngga bisa keluar. Jadi, gumpalan tanah itu memenuhi ruang antara roda dan slebor itu. Kami sampai meminta bantuan warga buat membuang tanah itu. Sebenarnya udah berusaha dengan mendorong dengan kayu seadanya di pinggir jalan tapi karena saking padatnya jadi susah untuk ukuran anak SMP. Akhirnya ada warga yang membantu dengan menyemprotkan air ke sepeda itu, agar tanah itu sedikit lunak.


Salah satu penyebabnya yakni kendaraan dump truck yang mengangkut batu besar dari desa kami ke proyek-proyek di kota. Berapa si beratnya truck yang membawa  batu besar? Sudah melewati kemampuan atau batas maksimal konstruksi jalan yang dibuat di daerah kami. Kenapa mendapat ijin? Sedangkan hal itu merugikan seluruh warga setempat sehingga aksesnya rusak.


Tidak hanya akses yang tidak mudah. Jaringan internet yang bisa dijangkau pun hanya beberapa saja. Hanya Telkomsel dan Smartfren. Tapi untuk Smartfren juga masih timbul tenggelam. Yang paling lancar ya telkomsel. Seringkali orang yang datang ke daerah saya kebingungan karena ngga ada signal sama sekali. Alhasil minta hotspot sama orang yang asli daerah saya. 


Kalian tau kan provider paling mahal ya itu tadi, Telkomsel. Padahal mayoritas mata pencahariannya petani yang tidak seberapa itu. Belum lagi jika harga jual hasil pertanian dimainkan oleh tengkulak. Untuk mengakses internet saja kami butuh usaha yang lebih. Apalagi saat kemarin pandemi dan pendidikan dari segala jenjang online. Kami ketar ketir buat beli kuota internet. Sampai-sampai ngga jajan hanya habis buat membeli kuota internet.


Padahal kata Undang Undang Dasar semua warga negara berhak atas pendidikan. Namun kenapa akses yang diberikan berbeda-beda. Bayangkan saja yang hidup di kota sudah bisa memutar video setengah jalan yang di desa masih loading. Yang di kota bisa mendapat kuota internet yang terjangkau sedangkan yang di desa harus menggelontorkan dana yang lebih besar. Padahal pendapatan orang desa dan kota saja berbeda. 


Belum lagi sejak adanya sistem zonasi, untuk mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah negeri pun makin sulit. Jalur prestasi yang menjadi penolong yang tidak seberapa itu. Padahal realitasnya yang namanya orang desa prestasinya tidak semumpuni orang kota. Lagi-lagi soal letak dan geografi menjadi penghalang pemerataan pendidikan.


Pemerataan yang tidak kunjung rata memang nyata adanya dan dirasakan betul oleh warga di pinggiran Indonesia baik di luar pulau Jawa maupun di pulau Jawa sendiri. Sampai kapan kondisi ini akan berakhir dan masyarakat desa bisa merasakan kemudahan akses seperti yang ada di dekat pusat pemerintahan sana. (17)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar