Aksara Kopi - Soeara Moeria

Breaking

Sabtu, 18 Mei 2024

Aksara Kopi

Ilustrasi freepik.  


Cerpen : Zulfa Wafirotul Khusna


Hidup itu seperti kopi. Tidak selamanya selalu manis ataupun pahit. Manis kala bisa mendapatkan kebahagiaan. Pahit kala mendapatkan cobaan dan masalah yang datang bertubi-tubi. Begitupun dengan kehidupan ini akan banyak rasa yang bisa dinikmati.


"Aku tidak peduli atas apa yang dikatakan orang lain, hujatan dan cacian mereka tidak akan membuatku menyerah dalam mencapai tujuan," ujar Nada di depan cermin kamarnya dengan wajah berbinar-binar dan semangat yang membara.


Nada mengambil penanya dan menuangkan idenya di kertas kosong tentang apa yang ia rasakan dan alami selama ini.


Aksara Kopi


Itulah dua kata pertama yang ia tulis. Sebuah judul novel yang ia terbitkan di aplikasi orange. Ia mengambil ponselnya dan membuka naskah-naskahnya yang selama ini berulang-ulang kali ditolak oleh penerbit baik penerbit indie maupun mayor. Ia tidak akan menyerah begitu saja meski kegagalan terus menghampiri.


"Nada!" Teriak seseorang dari luar kamarnya. Nada beranjak menghampiri orang tersebut.


"Kamu ngapain di kamar terus, sana pergi ke kebun bantuin bapakmu mencabuti rumput liar," titah ibunya dengan berkacak pinggang.


"Nada habis nulis Bu," ujar Nada dengan tangan bergetar. Ia keceplosan memberi tahu ibunya kalau tadi sedang menulis.


Harusnya tadi aku nggak bilang gitu, batin Nada merasa menyesal.


Mendengar putrinya bilang tengah menulis. Lala langsung pergi ke dalam kamar dan menyobek kertas yang ada tulisan Nada. Tidak hanya itu, ibunya juga mengambil sertifikat menulis yang Nada sembunyikan di dalam almari lalu menyobek dan membuangnya ke tempat sampah.


Hal itu selalu terjadi setiap Nada menyebut kata menulis. Ia tidak bisa mengendalikan diri sehingga seringkali keceplosan dan berakhir seperti ini. Wajahnya yang semula berbinar kini menjadi muram. Ia tidak bisa berbuat apa-apa.


"Nada, lain kali kamu sebut kata itu lagi dan masih menulis lagi, ibu akan memberikan hukuman yang jauh lebih parah daripada ini!" Lala meninggalkan Nada tanpa ada rasa bersalah. 


Entah sampai kapan ibunya mau menerima minatnya dalam kepenulisan. Ia tahu untuk sekarang belum bisa menjadi penulis yang karyanya bisa bermanfaat dan dibaca oleh banyak orang. Namun, ia sangat menyukai hal itu. Padahal, ia berharap sekali suatu saat ibunya bisa bangga kepadanya. Mau mendukungnya.


Dengan langkah gontai ia mengambil kertas dan sertifikat yang telah dibuang ke tempat sampah lalu menyembunyikannya ke dalam plastik dan ia masukan ke dalam kolong tempat tidur untuk nanti diperbaiki.


Nada melanjutkan aktivitasnya menuju kebun kopi yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Ia mencabut rumput liar dan tanaman liar lainnya yang mengganggu pertumbuhan tanaman kopi. 


Ia mencabutnya dengan telaten sambil mengelap keringat yang membasahi wajahnya.


Nada menyukai tanaman kopi. Meski rasanya pahit tetapi itu begitu nikmat. 


"Nada, tolong ambil  kopi di sebelah sana," ujar Rudi, ayahnya sambil membawa bakul untuk tempat pengumpulan biji kopi.


Nada hanya mengangguk dan menjalankan tugasnya. Nada mengambil kopi yang sudah matang dengan hati-hati. Ketika ia tengah asyik menjalankan tugasnya ada seseorang yang menepuknya dari belakang.


Nada menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke belakang. "Hai, kamu penulis Aksara Kopi, 'kan?" tanyanya antuasias.


"Iya, kamu siapa?" tanya balik Nada kepada orang tersebut.


"Kenalin, aku Bagas editor penerbit Klik Media yang tertarik dengan naskah kamu," katanya membuat Nada tidak percaya. Pasalnya, naskahnya itu baru beberapa ribu yang baca. Branding karya yang dilakukan juga pengikutnya tidak seberapa. Lantas, apakah ini hadiah dari kesabarannya menunggu kabar baik ini?


"Terima kasih atas tawarannya tetapi aku merasa belum layak menerima tawaran ini. Kalau boleh tahu kakak tahu naskah aku dari mana?" Nada ingin tahu bagaimana editor penerbit mayor seperti itu bisa tertarik untuk merilik naskahnya.


"Aku memang sedang mencari naskah di platform online untuk diterbitkan dan tanpa sengaja aku menemukan naskahmu. Ceritanya unik dan menarik. Aku juga tahu kamu beberapa kali mengirimkan naskah ke penerbit kami namun belum berjodoh. Aku salut dengan kegigihanmu. Jadi apakah kamu mau menerimanya?"


"Pembacanya masih minim. Aku tidak ingin pihak penerbit kecewa ketika menerbitkan karyaku nanti."


"Untuk pembaca nanti kan bisa dicari. Nanti juga ada promosi karya. Ini kesempatan berharga untukmu."


Setelah berpikir sejenak, Nada akhirnya mengiyakan tawaran tersebut. Rudi menghampiri Nada ketika mengetahui ada seseorang yang berbicara dengan putrinya tanpa sepengetahuannya.


"Kamu siapa, berani-beraninya bertamu tanpa izin terlebih dahulu kepada saya?" tanya Rudi salah paham mengira Bagas berniat yang tidak baik kepada putrinya. 


Rudi memang overprotektif kepada putrinya. Salah satu alasan mengapa tidak menginginkan putrinya menjadi penulis karena ia tidak kehilangan putrinya. Biasanya ketika penulis karyanya sudah banyak yang baca pasti akan pergi ke luar kota untuk menandatangani buku serta ada pertemuan dengan pembaca yang bisa saja akan membuat putrinya merasa nyaman di sana dan memilih untuk menetap di sana daripada hidup di kampung.


"Sebelumnya saya minta maaf karena belum izin. Saya Bagas selaku editor penerbit buku izin mengajak kerja sama Nada untuk menerbitkan naskahnya," ujar Bagas dengan hati-hati.


"Tidak boleh! Nada harus tetap di sini. Nanti kamu ngajak dia ke luar kota untuk menandatangani bukunya," tolak Rudi lalu menyeret tangan Nada. Nada memberontak dan melepaskan tangan ayahnya.


"Bapak biarin Nada menerima tawaran itu. Nada janji untuk TTD buku bisa lewat digital kok," pinta Nada dengan wajah penuh harapan.


"Iya, kalau Bapak mau nanti bisa ikut pergi menemani Nada ke luar kota. Jadi jangan khawatir," sambung Bagas berusaha meyakinkan ayahnya Nada.


"Bener, Bapak. Nada bisa pergi bersama Bapak jadi Nada aman di sana. Tolong ya, Pak. Ini adalah mimpi Nada yang udah lama pengen aku wujudkan."


Bapak Nada akhirnya bisa mengizinkan Nada. Ia tidak tega melihat putrinya bersedih. Lagipula ia akan menemani Nada ketika pergi ke luar kota nanti.


"Kita pergi ke rumah dulu. Minta izin sama ibumu dulu. Enggak enak bicara sambil berdiri," ujar Rudi. 


Mereka bertiga akhirnya sampai di rumah Nada. Ibu Nada awalnya juga tidak setuju, tetapi berkat bujukan ayahnya akhirnya memberikan izin. Pada akhirnya Nada bisa menerbitkan buku pertamanya. Ia tidak menyangka bisa berada di fase ini. Buku yang diberi judul Aksara Kopi kini sudah ada di Gramedia seluruh Indonesia seperti mimpinya. Bahkan Ibu dan Bapaknya akhirnya mendukung karier Nada sebagai penulis.


Nada juga diizinkan pergi sendirian untuk bertemu pembaca di luar kota. Orang tuanya sudah memperbolehkannya asalkan ia bisa menjaga diri dan setelah acaranya selesai akan kembali ke kampung. 


Nada juga bisa mewujudkan mimpinya untuk membangun perpustakaan di kampungnya dan juga mengajak anak-anak untuk membaca buku dan semangat mewujudkan mimpinya sampai berhasil.


Aksara Kopi


Kisah yang memberikan perpaduan antara manis dan pahit. Sebelum ada manis ada pahit ketika gagal yang perlu dihadapi untuk menghargai setiap proses sampai merasakan manisnya keberhasilan. (16)


__Zulfa Wafirotul Khusna, mahasiswi Universitas Negeri Semarang, Prodi Bimbingan dan Konseling.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar