Iptek Versus Karakter Anak - Soeara Moeria

Breaking

Kamis, 07 Maret 2024

Iptek Versus Karakter Anak

Teknologi semakin canggih. (Tekno.kompas.com)

Oleh : Irna Maifatur Rohmah, alumnus UIN Saizu Purwokerto


Satu dekade ke belakang, iptek berkembang begitu pesat. Manusia dituntut untuk mengikuti perkembangan itu agar tidak tertinggal. Ilmu tidak hanya dapat dienyam melalui bangku sekolah. Segala tempat bisa menjadi tempat untuk mencari ilmu. Banyak hal lain yang juga mengalami pergeseran hingga kemudahan disuguhkan di depan mata. Tidak ada hal yang tampak sulit saat ini. 


Melalui perkembangan tersebut, yang kini makin ringkas dalam bentuk pipih ini, kita bisa melakukan berbagai aktivitas tanpa harus beranjak dari tempat tidur. Berbagai hal dapat diselesaikan hanya dengan beberapa detik saja, tergantung jaringan. Beberapa hal bisa diselesaikan dalam satu waktu. Kita dimanjakan oleh iptek yang makin berkembang tersebut.


Hal tersebut tidak bisa dipungkiri jika memudahkan manusia. Berbagai tawaran positif bertebaran di sana. Kita tinggal memilih mana yang dikehendaki. Sangat mudah dan sangat simple. Informasi bertebaran dan menampilkan banyak versi. Tinggal memilih yang cocok dan pas dengan apa yang kita inginkan.

 


Singkatnya, ilmu pengetahuan makin mudah didapatkan tanpa harus memangku buku yang super tebal dan limited. Kini sudah bukan masanya seperti itu. Banyak hal terangkum dalam benda pipih itu. Hal ini pun dirasakan pula di dunia pendidikan.


Dunia pendidikan yang dahulunya mengandalkan buku-buku babon tebal kini mulai tersingkirkan. Meskipun tidak sepenuhnya, kini buku bisa dipindahkan ke dalam benda pipih tersebut. Budget untuk menyediakan buku bisa dipangkas untuk keperluan lain yang lebih urgent. Hal ini bisa dirasakan baik oleh guru maupun siswa. Guru tidak harus menggunakan tinta untuk mengajar, siswa tidak harus menggunakan kertas untuk ujian, administrasi tidak harus menghabiskan kertas dan tinta sebanyak dahulu.


Kemudahan-kemudahan yang disuguhkan memberi peluang pada tiap individu untuk mengeksplore apapun yang ingin diselaminya. Tidak terbatas waktu dan tempat. Dengan duduk dan berselancar di benda pipih itu, ilmu pengetahuan dari berbagai belahan dunia dapat dijaring dengan mudah. Maka, tidak ada alasan lagi untuk mengatakan tidak bisa selagi kita menjadi pribadi yang tidak malas untuk mengeksplore. Hingga tak terasa guru di sekolah atau di dunia pendidikan tidak menjadi sepenuhnya sumber ilmu atau sumber belajar siswa. Guru hanya sebagai fasilitator yang membantu jika siswa mengalami kesulitan dan kebimbangan dalam memutuskan suatu masalah. 


Meski dengan kemudahan yang ditawarkan, guru tidak bisa dihapus dari dunia ini. Meskipun segala hal dapat dengan mudah didapatkan di benda pipih itu namun guru memiliki peran penting yang tidak bisa digantikan dengan mesin. Semirip-miripnya sistem atau mesin tidak bisa menyerupai manusia yang memiliki perasaan dan hati. Di sinilah peran guru yang tidak bisa digantikan oleh teknologi.


Peran guru sebagai pengajar mungkin mulai bisa digantikan oleh kecanggihan teknologi, namun tidak dengan perannya sebagai pendidik. Peran tersebut harus dilakukan face to face yang perlu touching antar kedua pihak, guru dan murid. Mendidik bukanlah hal yang mudah. Sebab mendidik harus diiringi dengan rasa kasih sayang yang terus mengalir. Mendidik tidak semudah mengajar. Jika mengajar mulai diringankan dengan berkembangnya iptek, mendidik masih mengandalkan peran aktif guru.


Mendidik merupakan usaha untuk membentuk karakter anak bangsa. Guru mengemban peran penting dalam menentukan karakter anak dan dalam artian luas membentuk karakter bangsa. Tugas ini tidak bisa selesai dalam satu atau dua kali pertemuan. Namun perlu pembiasaan yang kontinue dan konsisten. Sebab hal ini menanamkan kebiasaaan yang harus dilakukan terus menerus.


Namun seiring dengan kemudahan yang disajikan oleh iptek, karakter anak makin tidak terkendali. Artinya anak memiliki tingkat kemalasan yang tinggi sebab selalu disuguhi kemudahan tersebut. Sikap-sikap sosial, nilai-nilai moral tidak selekat dulu. Singkatnya anak lebih menggampangkan apa yang ada di sekitarnya atau bahkan acuh. Bisa dikatakan anak egois dan tenggelam dalam dunianya sendiri sehingga kurang memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya. 


Sangat disayangkan memang, kemudahan iptek yang ada tidak diiringi dengan karakter yang selaras. Mungkin beginilah cara Tuhan menyeimbangkan kecanggihan iptek dan keberadaan manusia. Keduanya harus berjalan beriringan dan bersinergi untuk mempertahankan peradaban manusia. (14)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar