Tantangan Guru Era Kini - Soeara Moeria

Breaking

Senin, 26 Februari 2024

Tantangan Guru Era Kini

 

Foto ilustrasi: Novita Eka Syaputri/ rise.smeru.or.id

Oleh : Irna Maifatur Rohmah, alumnus UIN Prof KH Saifuddin Zuhri Purwokerto


Dunia pendidikan tidak pernah diam. Perubahan, penyelarasan serta integrasi senantiasa digalakkan untuk menyambut Indonesia emas 2045. Dua dekade saja sudah berbeda tujuan dan output yang diharapkan. Berubahnya pemerintahan diikuti dengan desain dan kurikulum yang berubah pula. Pendidikan layaknya percobaan yang belum sampai tahap evaluasi sudah diganti lagi. Percobaan-percobaan tidak tuntas menuntut guru sebagai ujung tombak pendidikan Indonesia mengikuti sistem yang belum benar siap untuk dilaksanakan. 


Alih-alih penyejahteraan, profesi yang digaji langsung oleh Tuhan menjadi penenang guru untuk terus ikhlas mengabdi untuk negeri. Makin ke sini, makin diribetkan dengan sistem yang ndakik-ndakik namun tidak dibarengi dengan penunjang yang sebanding.


Kurikulum kini, mengarah pada pembelajaran yang divergen. Di sini pembelajaran memberikan keluasan pada peserta didik untuk tidak terpaku pada satu jawaban baku, namun beragam jawaban sebagai hasil kreativitas dan karakteristik peserta didik. Yang mana pembelajaran tidak hanya terpaku pada satu jenis proses, namun berbagai proses harus diikuti dan dimengerti oleh guru. Di sisi lain, output yang diharapkan senada dan seirama. Di sinilah peran guru yang dituntut multitalent guna memfasilitasi peserta didik.

 


Di tengah 20 sampai 30 siswa, guru mestinya bisa membimbing tiap individu tanpa mengesampingkan salah satunya. Semua diperlakukan adil sesuai kebutuhannya dan tidak benar jika guru memiliki mind set satu pencapaian saja pada paserta didik. Peserta didik memiliki proses dan cara berpikir yang beragam. Keberagaman itu harus dimengerti oleh guru dan diarahkan agar senada dengan output pendidikan. 


Menjadi guru yang baik di era kini tidak cukup dengan mengandalkan satu sumber ajar saja. Sumber ajar sebagai pemantik dan rambu-rambu dalam mengajar saja. Sumber lain perlu untuk digali dan dipelajari untuk menunjang peserta didik dalam belajar. Guru masuk ke kelas alangkah baiknya membawa berkantong-kantong pengetahuan dan pemahaman yang menyentuh peserta didiknya dengan beragam keragaman. 


Sudut-sudut kehidupan dari yang paling sederhana dan paling kompleks pun bisa menjadi bahan pembelajaran. Sebab peserta didik kini tidak hanya disuguhkan buku babon sebagai bahan belajarnya, namun terbentang luas yang ada di lingkungannya baik itu dunia nyata maupun dunia maya. 


Katakanlah peserta didik yang update dengan berita terbaru, tidak lagi belajar dengan mendefinisikan suatu peristiwa, namun dengan melihat informasi yang disuguhkan dalam berita atau artikel. Baru guru bisa mengarahkan peserta didik bahwa kejadian tersebut merupakan definisi atau contoh dari suatu materi yang akan dibahas. 


Belum lagi, ketika disodorkan suatu permasalahan peserta didik pasti tidak bisa secara setentak mengatakan satu hal. Namun berbagai hal bisa mereka tangkap sesuai latar belakang, kehidupan sosial, ekonomi, minat dan lain sebagainya. Oleh karenanya, guru harus aktif mengikuti apa yang sedang terjadi di dunia luar sehingga pembelajaran terintegrasi dengan kondisi sekitar. Pembelajaran tidak hanya sebatas definisi semata. Pembelajaran pantasnya memberi makna pada peserta didik salah satunya melalui integrasi materi dengan kondisi lingkungan.


Oleh karenanya, guru harus connecting anywhere untuk bisa memberikan fasilitas maksimal kepada peserta didik. Dengan guru yang nyambung ke sana ke mari, menjadikan peserta didik semakin percaya diri bahwa mereka mampu untuk belajar. Kesadaran akan kayanya lingkungan dan ilmu yang ada menjadikan mereka menepis jauh stigma buruk terkait pembelajaran. Hal yang ada di sekitar kita sesederhana mungkin merupakan bagian dari pembelajaran yang ada di kelas. Secara tidak langsung, perlahan peserta didik akan semakin penasaran dengan apa yang mereka pelajari.


Kehebatan guru bukan berasal dari berapa artikel yang dapat mereka libas dalam semalam, berapa jurnal yang mampu diterbitkan, berapa nilai tertinggi yang dapat mereka berikan pada peserta. Tetapi lebih ke bagaimana peserta didik bisa memahami materi dengan sederhana dan dekat dengan kehidupannya. Dengan berbagai latar belakang, guru menjelma menjadi bagian terdekat dengan latar belakangnya. Sehingga sekat-sekat dan dinding penghalang bisa runtuh dan antara guru dan peserta didik memiliki sudut pandang yang sama.


Perkara tersebut bukan hal yang mudah. Setelah dilimpahkan administrasi seabrek, guru masih memikirkan bagaimana cara agar seluruh peserta didiknya bisa memahami materi. Dibayangi keberagamannya guru secara sadar harus menurunkan ego terlebih dahulu. Guru mau tidak mau harus selalu belajar dan membaca untuk bekalnya di kelas bersama peserta didik.


Seluruh sisi dalam kehidupan merupakan bahan pembelajaran. Koneksi antar satu akan bermuara pada pendidikan. Sepandai-pandainya guru mengkoneksikan hal tersebut sehingga dapat diterima peserta didik sebagai hal yang sederhana. Bukan definisi yang rumit yang tidak sesuai dengan perkembangan bahasanya.


Memang menjadi guru tidak hanya bisa bermodal pintar, namun juga cerdas. Cerdas memanajemen apa yang ada di dalam dirinya. Termasuk bagaimana bisa belajar lagi dan lagi tanpa terbebani. Guru merupakan profesi yang mulia yang tidak bisa digantikan perannya oleh teknologi. Mungkin dalam pengajaran sudah bisa digantikan. Namun apa kabar mendidik? Seperti teori humanistic yang kini menjadi titik tolak pembelajaran. Bagaimana menjadikan peserta didik yang humanis di tengah gempuran teknologi dari berbagai sisi. (12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar