Surat Kecil untuk Humairah - Soeara Moeria

Breaking

Sabtu, 17 Februari 2024

Surat Kecil untuk Humairah

 

Ilustrasi : uniqpost.com 

Cerbung : Fikri Hailal

 

Lembaran Baru (Bag. 1)

 

“...Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.

(Q.S. Ar-Rad: 11)

 

Dari dulu, sulit rasanya bagi diriku untuk menuangkan sebuah ahwal perasaan apalagi dalam soal pilih memilih keputusan. Malam ini begitu kelabu, semakin malam dunia ini semakin dingin pula pikiran ini untuk mencair. Manah seseorang tak mungkin begitu saja tertulis dalam tuangan pena yang berbalut tinta untuk digoreskan disecarik kertas atau lebih. Hitam diatas putih tak mungkin bisa menjadi panorama yang estetik, apabila nalar dan perasaan tak sejalan.

 

Malam ini, kupikirkan keadaanku besok pagi. Yah, aku adalah remaja belasan tahun yang akan menginjak usia dewasa, 18 tahun tepatnya. Aku anak dari pasangan bapak Ahmad Nur Yasir dan Ibu Zakiyyatul Qamariyyah. Aku anak pertama dari tiga saudara. Muhammad Barqiyyullah adalah adik pertamaku, dia kelas 1 SMP, Shofiyyatun Nafisah adalah adik keduaku, dia masih kelas PAUD, dan Muhammad Zaid adalah nama lengkapku.

 

Kata Muhammad, berorientasi pada panutan kita yaitu Nabi Agung Muhammad SAW, karena beliau adalah suri tauladan sepanjang massa. Kata Zaid adalah sebuah nama yang viral dan asyik diucap pada dunia pesantren, khususnya pada pelajaran nahwu shorof, Zaid selalu disebut-sebut tanpa tahu asal muasalnya. Siapakah Zaid? Anak siapakah Zaid? Dari bani apa? Kabilah manakah dia? Entahlah, wallahu a’lam dengan nama Zaid.

 

Besok pagi, aku yaitu seorang Zaid haruslah pergi dengan berat hati ke tempat yang dinamakan “Penjara Suci”. Entah istilah dari mana penjara suci berasal, namun itulah kata-kata yang pernah diucapkan dari kalangan kang-kang pondok menyebut istilah lain dari pondok pesantren. Aku dari kalangan anak yang bisa dikatakan bandel tapi tetep smart, tapi juga mudah terharu kebawa suasana sih.

 

Masyarakat sekitarku sering mencemooh, “bapakmu itu muden, ibukmu juga cucu dari orang terpercaya di dusun ini. Tapi kamu kok bandelnya minta ampun, tiru tuh orang tua kamu”. Guru-guru di sekolah pun ikut memarahiku, “nak, orang yang bagus adalah orang yang mampu menselaraskan antara kecerdasan bernalar dengan kecerdasan beretika. Percuma nak, apabila anak sepertimu hanya pintar berfikir, namun kamu sering melanggar peraturan bapak ibu gurumu, kurang berkah nanti ilmumu. Ingat, iblis dilaknat bukan karena kecerdasannya, tapi karena kurangnya etika”. Entahlah, tapi aku kadang bersyukur kepada Tuhan, karena mereka para guruku dan masyarakat sekitarku masih sering memperhatikanku, yah tepatnya menasehatiku, meskipun aku sering menjahili mereka.

 

Begitu berat rasanya memejamkan mata, mengingat malam ini adalah malam terakhirku tidur dirumah. Malam telah menunjukkan jam 23 : 54 WIB, dibalik jendela kamar dapat kulihat jelas sepoi-sepoi angin menggoyang ranting pepohonan. Meang meong kucing pun ikut berpartisipasi malam ini, entah sedang menarik pasangan atau mungkin malah berebut pasangan, atau malah pada curhatan, itu juga entahlah.

 

Aku yang dari jam 21 : 00 WIB telah disuruh tidur, agar besok pagi tidak kesiangan untuk ikut mengurus pendaftaranku dipondok pesantren dan disekolah pindahanku nanti. Sampai saat ini pun aku masih belum bisa tidur.

Tok tok tok tok tokkk mas, mas Zaid, bangun mas, ini udah qiraah sebentar lagi mau shubuh”.

 

Iya buk iya, ini Zaid bangun,” sahutku.

 

Eh busyet, sejak kapan aku tidur, kayaknya baru jam 23 : 54 WIB kok tiba – tiba udah mau shubuh”, gumanku dalam hati.

 

Eh, lupa baca doa abis tidur:

الحمد لله الذي أحينا بعد ما أماتنا وإليه نصور.

 

Mas, cepetan itu udah ditungguin bapak juga adek-adekmu lho”, sahut ibuku lagi.

 

Iya buk bentar, Zaid lagi mau ganti baju,” sahutku.

 

Setelah selesai shalat dan wiridan bersama, tiba-tiba bapak memanggilku, “Mas Zaid, nanti bapak mau bicara sama mas.

 

Eh, iya pak,” sepontan aku menjawab.

 

Sambil menunggu bapak selesai dzikiran, aku putuskan pergi ke beranda depan rumah. “Hmmm hem hemm hmmm ck ck hehemmm, kalau masa muda slalu foya-foya, masa tua... Eh bapak, gimana pak?” sambil matiin mp3 hp.

 

Nak, sebenarnya bapak mondokin kamu sekaligus nyariin sekolah baru buat kamu, itu untuk masa depanmu kelak. Toh nanti kalau pinter, kamu sendiri yang merasakan buahnya. Bapak cuma endak mau anak-anak bapak nantinya malah menjadi benalu masyarakat. Yah, itung-itung biar kamu nanti di pondok belajar etika  juga belajar hidup mandiri,” timpal bapak kepadaku.

 

Tapi pak, entar yang ngajari belajar Barqi sama Shofi siapa? Kan biasanya saya pak. Nanti rugi lho pak kalau saya dipondokin hehe,” rayuku terhadap bapak.

 

Hadech bocah ini, belajar ps maksudmu? Biasanya saja dimintai tolong adik-adikmu mengerjakan PR  malah gak ada respon. Kalau tidak ngelayap ya malah main game dikamar. Sudahlah, bapak sama ibukmu sudah sepakat dengan keputusan ini, tak usah buat-buat alasan lagi,” ucap bapak kepadaku.

 

Tapi pak...  timpalku kepada bapak.

 

Sudahlah, bad boy itu tidak banyak tapi-tapian hehe. Sana pergi mandi habis itu sarapan bersama. Ya sudah bapak masuk dulu nak,” ucap bapak menyela omonganku.

 

Heee yaa Allah, bapak lho,” dalam gerutuku hendak kedalam rumah. 

 

Helaan napas panjang kuembuskan, saatnya tiba untuk pamitan kepada ibuk juga adik-adikku. “Buk, kalau nanti Zaid sudah mondok, kira-kira ibuk bakalan kangen Zaid apa endak?”, dengan raut muka yang hampir meneteskan air mata, aku berkata begitu kepada ibukku.

Iya toh nak, sama anaknya sendiri masak endak kangen. Ya udah, manut saja sama bapak kamu,” jawab ibuk dengan senyum khasnya agar aku tetap merasa tegar.

 

Sudah-sudah, kalau kelamaan pamitannya, masmu nangis lho hehe. Ayo mas cepat bergegas, udah mau setengah tujuh ini,” bapak meledekku sambil menyuruh untuk bergegas.

 

Ishhh bapak, yaudah dek kamu jaga adek sama ibuk, baik-baik dirumah jangan nakal. Buk, saya pamitan dulu. Assalamu’alaikum,” jawabku berpesan kepada adekku yang kedua dan berpamitan kepada mereka semua.

 

Iya bang, siap,” jawab Barqi menimpaliku.

Wassalamu’alaikum, hati-hati ya mas, bapak juga hati-hati,” jawab ibuk.

 

***

 

Hari ini, tepatnya hari Rabu kumulai semuanya jalan cerita hidupku yang baru. Di dalam mobil, sesekali aku menoleh ke arah bapak, kemudian kulemparkan pandanganku ke arah jendela mobil sambil menikmati panorama jalanan. Hatiku berguman, “Melihat bapak yang selalu penuh wibawa, baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Aku mulai merasa, mungkin bapak banyak menaruh harapan kepadaku, lebih-lebih aku anaknya yang paling tua”.

 

Mas?” suara bapak membuyarkan lamunanku, yang ternyata sedari tadi melihat jendela samping mobil sambil melamun.

 

Iya pak,” jawabku.

 

Jika esok sang surya, rembulan, dan bintang tak kunjung datang. Ketahuilah nak, mereka sedang bermunajat di hatimu,” timpal bapak sambil menyetir mobil, beliau mulai berfilosofi dan melihat ke arahku saat di akhir perkataannya. Aku yang masih bengong atas ucapan bapak, sambil berguman dalam hati, “Apa maksud ucapan bapak? Aku yang berasal dari jurusan kelas IPS, kenapa diberi petuah sastra.

 

Nak, simpanlah harapan kami dalam hatimu nak. Bila bapak kelak kembali kehadirat-Nya, bapak ingin berbaik-baiklah kamu kepada saudara-saudaramu, karena kamu adalah saudara tertua bagi mereka,” tak terasa air mataku mulai menetes mendengar keterangan bapak.

 

Sambil mengelus kepalaku, bapak berkata, “Kamu tidak perlu sedih, hidup adalah sebuah perjalanan dari-Nya menuju kehadirat-Nya. Umur bapak telah mencapai kepala empat lebih, ibarat sebuah pelayaran di lautan samudra, sudah 3/4 lebih perjalanan bapak telah berlayar. Sebentar lagi bapak akan berlabuh dari pelayaran kehidupan ini. Bapak memang orang berwibawa di kalangan masyarakat kita nak, tapi ingatlah pesan bapak, ‘untuk tetap bisa diterima, kamu harus bersikap bodoh agar bisa berbaur, mengetahui seseorang, dan mengetahui siapakah jati dirimu nak,” tutur bapak menasihatiku agar tegar kelak nantinya.

 

Iya pak, Zaid akan berusaha menjalankan dan selalu mengingat-ingat pesan bapak,” jawabku pada bapak, berusaha meyakinkan beliau. Jika aku mampu menjalankan amanah darinya.

 

Pondok pesantren adalah penjara suci bagi orang-orang yang ingin memperbaiki diri. Jadi, berusahalah bersikap sederhana, tak usah berbangga diri apalagi sombong dengan wibawa yang dimiliki bapak, karena semua itu hanya titipan dari-Nya nak”. Mendengar ucapan bapak, bimbangku menjadi keyakinan yang perlahan semakin mantap.

 

Terima kasih pak. Bapak telah memikirkanku sampai sejauh ini, ternyata aku salah sangka. Ternyata aku dipondokkan untuk kebaikanku kelak. Aku janji akan menjaga nama baikmu juga keluarga kita pak,” jawabku untuk meyakinkan bapak.

 

Hahahahhh, kamu ini memang bisa diandalkan. Ya sudah, tapi nanti kalau di pondok main PSnya dikurangin. Siap-siap mas, ini sudah mau sampe pondok,” jawab beliau.

 

Siap komandan, eh, iya pak hehe,” jawabku dengan sumringah. Suasana yang tadi hampir pilu menyelimuti dalam mobil, akhirnya perlahan menghangat di sepanjang jalanan.

 

***

 

Alhamdulillah akhirnya sampai juga,” gumanku dalam hati.

 

Oh iya nak, K.H. Solichin adalah teman bapak waktu mondok dulu. Orangnya tegas, disiplin, berkarisma, dan tentunya ‘alim sangat dalam masalah ilmu agamanya. Pengetahuan umumnya juga sangat luas, jadi bapak tidak salah memilih orang dan hal itu juga cocok buat kamu,” ucap bapak memulai pembicaraan lagi.

 

Hah astaghfirullah, harus siap-siap nich,” keluhku kepada bapak.

 

Bapak hanya senyum mendengarnya.

 

Assalamu’alaikum...,” salam bapak diluar pintu ndalem abah yai.

 

Tidak lama kemudian ada suara jawaban dari dalam rumah.

 

Wa’alaikum salam warahmatullah,” dari kaca rumah terlihat seseorang paruh baya seumuran bapak berjalan mendekati pintu sambil membenakkan peci putih yang dipakainya.

 

Pintu lalu dibukanya, “Lhoh, kang Yasir. Monggo-monggo masuk dulu ke dalam, silakan duduk kang,” begitu sontak bahagianya orang tersebut sambil merangkul hangat bapak lalu mempersilahkan kami masuk kedalam.

 

Wah, pripun? kang Yasir kok baru kelihatan,” cetus orang tersebut memulai percakapan kepada bapak. Beliau ini adalah KH. Sholichin.

Iya kang, ini lho saya mau menitipkan anak saya di pondokmu. Lho mas, sana salaman dulu kok malah diem. Ini lho yang bapak ceritain ke mas, namanya adalah K.H. Sholichin”.

 

Eh, iya-iya pak,” akhirnya aku sungkem kepada beliau, K.H. Sholichin.

 

Ternyata ini toh yang namanya K.H. Sholichin. Wah gila, karismanya gede amat, kayaknya bapak kalah wibawa dech sama K.H. Sholichin,” gumanku dalam hati terkagum-kagum melihat pak kyai Sholichin.

 

***

 

Akhirnya kedua shohib yang lama tak bersua. Ngobrol panjang lebar, kadang diiringi canda tawa senyuman yang amat natural. Aku yang dari tadi memandangi beliau berdua, sesekali ikut tersenyum hanyut dalam pembicaraan orang tua paruh baya ini. Dari cerita sekolah, mondok, dan juga kerja bersama satu bos tersimak dengan renyah ditelingaku. Sambil sesekali menyedu teh yang telah dihidangkan oleh cewek seumuranku tadi.

 

Aku hanya membatin, “widih seru banget ngobrolnya. Mungkin ini yang namanya teman seperjuangan. Terlihat dari mimik muka mereka yang begitu natural melepas rindu temu yang menghangat dibalik pembicaraan yang tak kunjung selesai.

 

Ya sudah, mas bagus mondok di sini saja. Nanti kamu banyak temannya mas, di sini juga ada santri-santri yang sekolah sepertimu,” tutur K.H. Sholichin kepadaku.

 

Lho nak, itu didengar abah yainya dawuh. Nanti jangan nakal, taati peraturan pondok, dan juga jangan suka sering keluar area pondok. Biar nanti kamu bisa fokus dipondok juga disekolahan nantinya,” ujar bapak menasihatiku.

 

InsyaAllah pak, kalau endak khilaf hehe,” jawabku menggoda bapak.

 

Bocah iki lho,” cetus bapak.

 

Hehe, pembawaannya mirip kamu waktu muda kang Yasir,” seronoh pak kyai kepada bapak.

 

Ya sudah kang Yasir, nanti proses pendaftaran pondok dan juga sekolah barunya nak Zaid. Bisa minta tolong pada ketua pondok atau para pengurus. Ini mau ke pondok dulu atau lanjut jagongnya hehe,” timpal pak kiai.

 

Eh iya kang, kami langsung saja ke pondok sambil lihat-lihat nanti di sana. Ya sudah kang, sekalian saya izin pamit nggeh. Soalnya tadi banyak kerjaan di rumah. Makanya ibukne Zaid endak ikut sowan,” jawab bapak ke pak kyai dan mengakhiri percakap sekaligus izin pamit pulang nantinya.

 

***

 

Akhirnya mereka saling bersalaman dan berpamitan. Beberapa saat kemudian, aku dan bapak sampai di pondok. Bapak disambut hangat oleh dua kang pondok dengan ramah. Setelah terjadi percakapan sebentar, ternyata kedua orang tersebut adalah pengurus pondok. Muhammad Ali Rahmat, adalah nama ketua pondok di sini dan yang satunya adalah Fathul Ihsan, pengurus pondok yang menjabat sebagai seksi sekertaris. Akhirnya bapak meminta izin untuk pulang ke rumah, setelah mengurus registrasi bersama pengurus.

 

Mas, bapak pulang dulu ya. Jaga kesehatan selama di pondok, taati peraturan pondok dan juga kang-kang pengurus pondok. Nanti pendaftaran sekolahmu biar sama kang pondok ngurusinya.Ya sudah, kang saya pamitan dulu, assalamu’alaikum.” Kami bertiga perlahan namun serempak menjawab salam dari bapak.

 

***

 

Yaudah kang, untuk sementara kamu tinggal di kantor dulu ya. Nanti kalau sudah dapat gotak[1]. Kang Zaid saya kabari,” kata kang Rahmat.

 

Eh iya mas, nyantai aja,” balasku ke kang Rahmat. Akhirnya kang Rahmat dan kang Ihsan pergi keluar dari kantor untuk mencarikan gotak buat aku. Aku yang sambil tiduran didalam kantor mulai melamun dalam kesunyian ruangan, “Aku mulai merasakan, apa dan bagaimana aku harus berlaku kedepannya. Yah, aku harus bersikap bodoh, rendah hati, dan tak boleh meremehkan orang lain. Biarlah aku menyembunyikan jati diriku.

 

Ah, coba keluarlah lihat-lihat lingkungan pondok,” ucapku berkata sendiri.

 

Hmmm, pondoknya bersih juga rapi. Konstruksi bangunannya begitu serasi dengan tatanan gambaran panorama lingkungannya,” gumanku mengagumi keadaan pondok. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada tempat beranda belakang aula pondok. Sembari jalan perlahan menuju beranda tersebut.

 

Hmmm, kira-kira tadi yang nganterin teh waktu sowan dirumah abah Sholichin siapa ya? Kok panggilnya nduk Humairah. Apa mungkin putrinya atau siapa ya?”, aku yang dari tadi melamun diatas beranda belakang aula akhirnya terbuyarkan dengan lantunan suara adzan ashar.

 

Yaa Allah, perasaan cepet amat asharnya,” gumanku.

 

Woy kang, ngapain di sini masih pake seragam sekolah. Kamu tadi bolos ya kang, kok kagak kelihatan tadi di sekolah?” suara seseorang mengagetkanku dari belakang. Saat aku nengok ke belakang.

 

Eh tak kira temenku, maaf-maaf kang hehe,” celetuk anak itu yang masih berpakaian lengkap mengenakan seragam SMA dengan menyandang tas ranselnya.

 

Eh, iya kang sante mawon”, jawabku menimpali anak SMA tersebut.

 

***

 

Jama’ah ashar sudah, mau ngapain yak?” gumanku bicara sendiri. Aku yang habis jamaah ashar duduk diantara tiang-tiang yang ada di aula.

 

Tiba-tiba anak SMA yang tadi mengagetkanku di belakang aula pondok, menyapaku.

 

Kang bengong lagi mikir nggeh? Hehe maaf yang tadi ya. Kenalin, namaku Muhammad Shodiqul Amin, panggil saja kang Shodiq.

 

Eh iya kang, kenalin juga saya Muhammad Zaid, Panggil saja Zaid,” jawabku memperkenalkan diri.

 

Eh kang, kamu tahu ndak cewek yang di rumahnya abah Sholichin? Namanya Maisarah, Masrurah, atau siapa sih pokoknya seperti seumuranku,” tanyaku penasaran kepada kang Shodiq.

 

Eeeh neng Humairah mungkin yang kang Zaid maksud. Kenapa kang, cantik ya? hehehe... Itu putri abah Sholichin kang,” jawab kang Shodiq sambil tersenyum. Akhirnya kami ngobrol sana sini.

 

Ya sudah kang, aku ke kantor dulu,” jawabku mengakhiri obrolan.

 

***

 

Waktu begitu cepat berlalu; waktu shalat jama’ah maghrib, ngaji bandongan dan isya telah terlaksana. Dari tadi diriku yang masih sayup-sayup terbayang dengan gambaran wajah neng Humairah, masih saja terpesona.

 

Hmmm apa aku nulis surat saja. Kayaknya dia juga anak sekolahan sepertiku”, batinku dalam hati. Akhirnya aku mulai menyobek secarik kertas bagian tengah. Pena dalam tas aku keluarkan. Hatiku yang semakin kalut, semakin berdegup kala memulai tulisan. Dengan bekal bismillah, ku mulai mengayunkan pena.

 

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Kepada Yth : Humairah putri abah Sholichin yang bikin teh Poci

 

Malam begitu kelabu, namun tak begitu mengenai dirimu. Malam ini, kuputuskan mengakhiri kepenatan indah yang sedari tadi terlamun akan dirimu.

 

Hari ini kutulis dalam secarik kertas, berharap engkau tidak enggan untuk menengok tulisan ini walau sesaat. Menulismu dalam angan, amat terasa penat di sepi malam, mengingat aku santri baru.

 

Meski ngopi ternisbat untuk orang susah. Yah, itulah hobiku. Ketika dirimu tiada di sampingku. Karena di balik susahku menyangkalmu, aku selalu menemukan susahnya melupamu. Cangkir kopi adalah saksi bisu tentangmu. Aku berusaha menutup pikiran dari kepiawaian elokmu saat kau sajikan teh di hadapanku.


Amboiii sekali, dirimu laksana embun di balik bilik pagi hari...

Ku cukupkan. Tak pandai ku susun cakap pembicaraan.

Neng Humairah, perkenalkan aku adalah Muhammad Zaid. Santri baru yang nyantri di pondok abahmu.


Salam hormat ta’dzim serta kenalku padamu.

 

Tertulis: Muhammad Zaid

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

 

Akhirnya, malam pertamaku di pesantren terlalui dengan hati yang begitu bermekaran layaknya bunga dimusim semi.

 

Tuhan, kalau begini saya betah tinggal di pondok. Malam-Mu sekarang begitu larut. Hehehe Humairah,” batinku yang berguman.

 

Semakin lama semakin berbunga-bunga dan juga kalut yang larut. Akhirnya malam ini, kulalui dengan kelelahan yang begitu menghanyutkan. Hingga akhirnya diriku pun terlelap bersama rasa yang tak kunjung redup. (04)



[1] Gotak adalah sebutan untuk almari kecil sebagai tempat menaruh pakaian maupun peralatan-peralatan.


___Fikri Hailal, mahasiswa sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Santri Pondok Pesantren LSQ Ar-Rahmah, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar