Ilustrasi : uniqpost.com |
Cerbung : Fikri Hailal
Lembaran
Baru (Bag. 1)
“...Sesungguhnya
Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia”.
(Q.S. Ar-Rad:
11)
Dari
dulu, sulit rasanya bagi diriku untuk menuangkan sebuah ahwal perasaan apalagi
dalam soal pilih memilih keputusan. Malam ini begitu kelabu, semakin malam dunia
ini semakin dingin pula pikiran ini untuk mencair. Manah seseorang tak mungkin
begitu saja tertulis dalam tuangan pena yang berbalut tinta untuk digoreskan
disecarik kertas atau lebih. Hitam diatas putih tak mungkin bisa menjadi
panorama yang estetik, apabila nalar dan perasaan tak sejalan.
Malam
ini, kupikirkan keadaanku besok pagi. Yah, aku adalah remaja belasan tahun yang
akan menginjak usia dewasa, 18 tahun tepatnya. Aku anak dari pasangan bapak
Ahmad Nur Yasir dan Ibu Zakiyyatul Qamariyyah. Aku anak pertama dari tiga saudara.
Muhammad Barqiyyullah adalah adik pertamaku, dia kelas 1 SMP, Shofiyyatun
Nafisah adalah adik keduaku, dia masih kelas PAUD, dan Muhammad Zaid adalah
nama lengkapku.
Kata
Muhammad, berorientasi pada panutan kita yaitu Nabi Agung Muhammad SAW, karena
beliau adalah suri tauladan sepanjang massa. Kata Zaid adalah sebuah nama yang
viral dan asyik diucap pada dunia pesantren, khususnya pada pelajaran nahwu
shorof, Zaid selalu disebut-sebut tanpa tahu asal muasalnya. Siapakah Zaid?
Anak siapakah Zaid? Dari bani apa? Kabilah manakah dia? Entahlah, wallahu
a’lam dengan nama Zaid.
Besok
pagi, aku yaitu seorang Zaid haruslah pergi dengan berat hati ke tempat yang
dinamakan “Penjara Suci”. Entah istilah dari mana penjara suci berasal,
namun itulah kata-kata yang pernah diucapkan dari kalangan kang-kang pondok
menyebut istilah lain dari pondok pesantren. Aku dari kalangan anak yang bisa
dikatakan bandel tapi tetep smart, tapi juga mudah terharu kebawa
suasana sih.
Masyarakat
sekitarku sering mencemooh, “bapakmu itu muden, ibukmu juga cucu dari orang
terpercaya di dusun ini. Tapi kamu kok bandelnya minta ampun, tiru tuh orang
tua kamu”. Guru-guru di sekolah pun ikut memarahiku, “nak, orang yang
bagus adalah orang yang mampu menselaraskan antara kecerdasan bernalar dengan
kecerdasan beretika. Percuma nak, apabila anak sepertimu hanya pintar berfikir,
namun kamu sering melanggar peraturan bapak ibu gurumu, kurang berkah nanti
ilmumu. Ingat, iblis dilaknat bukan karena kecerdasannya, tapi karena kurangnya
etika”. Entahlah, tapi aku kadang bersyukur kepada Tuhan, karena mereka
para guruku dan masyarakat sekitarku masih sering memperhatikanku, yah tepatnya
menasehatiku, meskipun aku sering menjahili mereka.
Begitu
berat rasanya memejamkan mata, mengingat malam ini adalah malam terakhirku
tidur dirumah. Malam telah menunjukkan jam 23 : 54 WIB, dibalik jendela kamar
dapat kulihat jelas sepoi-sepoi angin menggoyang ranting pepohonan. Meang
meong kucing pun ikut berpartisipasi malam ini, entah sedang menarik
pasangan atau mungkin malah berebut pasangan, atau malah pada curhatan, itu
juga entahlah.
Aku
yang dari jam 21 : 00 WIB telah disuruh tidur, agar besok pagi tidak kesiangan
untuk ikut mengurus pendaftaranku dipondok pesantren dan disekolah pindahanku
nanti. Sampai saat ini pun aku masih belum bisa tidur.
“Tok
tok tok tok tokkk mas, mas Zaid, bangun mas, ini udah qiraah sebentar lagi mau
shubuh”.
“Iya
buk iya, ini Zaid bangun,” sahutku.
“Eh
busyet, sejak kapan aku tidur, kayaknya baru jam 23 : 54 WIB kok tiba – tiba
udah mau shubuh”, gumanku dalam hati.
“Eh,
lupa baca doa abis tidur:
الØمد
لله الذي Ø£Øينا بعد ما أماتنا وإليه نصور”.
“Mas,
cepetan itu udah ditungguin bapak juga adek-adekmu lho”, sahut ibuku lagi.
“Iya
buk bentar, Zaid lagi mau ganti baju,” sahutku.
Setelah
selesai shalat dan wiridan bersama, tiba-tiba bapak memanggilku, “Mas Zaid,
nanti bapak mau bicara sama mas.”
“Eh,
iya pak,” sepontan aku menjawab.
Sambil menunggu bapak selesai dzikiran, aku putuskan pergi ke beranda
depan rumah. “Hmmm hem hemm hmmm ck ck hehemmm, kalau masa muda slalu foya-foya,
masa tua... Eh bapak, gimana pak?” sambil matiin mp3 hp.
“Nak, sebenarnya bapak mondokin kamu sekaligus nyariin sekolah
baru buat kamu, itu untuk masa depanmu kelak. Toh nanti kalau pinter, kamu
sendiri yang merasakan buahnya. Bapak cuma endak mau anak-anak bapak nantinya
malah menjadi benalu masyarakat. Yah, itung-itung biar kamu nanti di pondok
belajar etika juga belajar hidup mandiri,”
timpal bapak kepadaku.
“Tapi pak, entar yang ngajari belajar Barqi sama Shofi siapa?
Kan biasanya saya pak. Nanti rugi lho pak kalau saya dipondokin hehe,”
rayuku terhadap bapak.
“Hadech bocah ini, belajar ps maksudmu? Biasanya saja dimintai
tolong adik-adikmu mengerjakan PR malah
gak ada respon. Kalau tidak ngelayap ya malah main game dikamar. Sudahlah,
bapak sama ibukmu sudah sepakat dengan keputusan ini, tak usah buat-buat alasan
lagi,” ucap bapak kepadaku.
“Tapi pak...”
timpalku kepada bapak.
“Sudahlah, bad boy itu tidak banyak tapi-tapian hehe. Sana pergi
mandi habis itu sarapan bersama. Ya sudah bapak masuk dulu nak,” ucap bapak
menyela omonganku.
“Heee yaa Allah, bapak lho,” dalam gerutuku hendak kedalam
rumah.
Helaan napas panjang kuembuskan, saatnya tiba untuk pamitan kepada
ibuk juga adik-adikku. “Buk, kalau nanti Zaid sudah mondok, kira-kira ibuk
bakalan kangen Zaid apa endak?”, dengan raut muka yang hampir meneteskan
air mata, aku berkata begitu kepada ibukku.
“Iya toh nak, sama anaknya sendiri masak endak kangen. Ya udah,
manut saja sama bapak kamu,” jawab ibuk dengan senyum khasnya agar aku
tetap merasa tegar.
“Sudah-sudah, kalau kelamaan pamitannya, masmu nangis lho hehe.
Ayo mas cepat bergegas, udah mau setengah tujuh ini,” bapak meledekku
sambil menyuruh untuk bergegas.
“Ishhh bapak, yaudah dek kamu jaga adek sama ibuk, baik-baik
dirumah jangan nakal. Buk, saya pamitan dulu. Assalamu’alaikum,” jawabku
berpesan kepada adekku yang kedua dan berpamitan kepada mereka semua.
“Iya bang, siap,” jawab Barqi menimpaliku.
“Wassalamu’alaikum, hati-hati ya mas, bapak juga hati-hati,”
jawab ibuk.
***
Hari ini, tepatnya hari Rabu kumulai semuanya jalan cerita hidupku
yang baru. Di dalam mobil, sesekali aku menoleh ke arah bapak, kemudian
kulemparkan pandanganku ke arah jendela mobil sambil menikmati panorama
jalanan. Hatiku berguman, “Melihat bapak yang selalu penuh wibawa, baik di lingkungan
keluarga maupun di masyarakat. Aku mulai merasa, mungkin bapak banyak menaruh
harapan kepadaku, lebih-lebih aku anaknya yang paling tua”.
“Mas?” suara bapak membuyarkan lamunanku, yang ternyata
sedari tadi melihat jendela samping mobil sambil melamun.
“Iya pak,” jawabku.
“Jika esok sang surya, rembulan, dan bintang tak kunjung datang.
Ketahuilah nak, mereka sedang bermunajat di hatimu,” timpal bapak sambil
menyetir mobil, beliau mulai berfilosofi dan melihat ke arahku saat di akhir
perkataannya. Aku yang masih bengong atas ucapan bapak, sambil berguman dalam
hati, “Apa maksud ucapan bapak? Aku yang berasal dari jurusan kelas IPS,
kenapa diberi petuah sastra.”
“Nak, simpanlah harapan kami dalam hatimu nak. Bila bapak kelak
kembali kehadirat-Nya, bapak ingin berbaik-baiklah kamu kepada
saudara-saudaramu, karena kamu adalah saudara tertua bagi mereka,” tak
terasa air mataku mulai menetes mendengar keterangan bapak.
Sambil mengelus kepalaku, bapak berkata, “Kamu tidak perlu
sedih, hidup adalah sebuah perjalanan dari-Nya menuju kehadirat-Nya. Umur bapak
telah mencapai kepala empat lebih, ibarat sebuah pelayaran di lautan samudra,
sudah 3/4 lebih perjalanan bapak telah berlayar. Sebentar lagi bapak akan
berlabuh dari pelayaran kehidupan ini. Bapak memang orang berwibawa di kalangan
masyarakat kita nak, tapi ingatlah pesan bapak, ‘untuk tetap bisa diterima,
kamu harus bersikap bodoh agar bisa berbaur, mengetahui seseorang, dan
mengetahui siapakah jati dirimu nak,” tutur bapak menasihatiku agar tegar
kelak nantinya.
“Iya pak, Zaid akan berusaha menjalankan dan selalu
mengingat-ingat pesan bapak,” jawabku pada bapak, berusaha meyakinkan
beliau. Jika aku mampu menjalankan amanah darinya.
“Pondok pesantren adalah penjara suci bagi orang-orang yang
ingin memperbaiki diri. Jadi, berusahalah bersikap sederhana, tak usah
berbangga diri apalagi sombong dengan wibawa yang dimiliki bapak, karena semua
itu hanya titipan dari-Nya nak”. Mendengar ucapan bapak, bimbangku menjadi
keyakinan yang perlahan semakin mantap.
“Terima kasih pak. Bapak telah memikirkanku sampai sejauh ini,
ternyata aku salah sangka. Ternyata aku dipondokkan untuk kebaikanku kelak. Aku
janji akan menjaga nama baikmu juga keluarga kita pak,” jawabku untuk
meyakinkan bapak.
“Hahahahhh, kamu ini memang bisa diandalkan. Ya sudah, tapi
nanti kalau di pondok main PSnya dikurangin. Siap-siap mas, ini sudah mau sampe
pondok,” jawab beliau.
“Siap komandan, eh, iya pak hehe,” jawabku dengan sumringah.
Suasana yang tadi hampir pilu menyelimuti dalam mobil, akhirnya perlahan
menghangat di sepanjang jalanan.
***
“Alhamdulillah akhirnya sampai juga,” gumanku dalam hati.
“Oh iya nak, K.H. Solichin adalah teman bapak waktu mondok dulu.
Orangnya tegas, disiplin, berkarisma, dan tentunya ‘alim sangat dalam masalah
ilmu agamanya. Pengetahuan umumnya juga sangat luas, jadi bapak tidak salah
memilih orang dan hal itu juga cocok buat kamu,” ucap bapak memulai
pembicaraan lagi.
“Hah astaghfirullah, harus siap-siap nich,” keluhku kepada
bapak.
Bapak hanya senyum mendengarnya.
“Assalamu’alaikum...,” salam bapak diluar pintu ndalem
abah yai.
Tidak lama kemudian ada suara jawaban dari dalam rumah.
”Wa’alaikum salam warahmatullah,” dari kaca rumah terlihat
seseorang paruh baya seumuran bapak berjalan mendekati pintu sambil membenakkan
peci putih yang dipakainya.
Pintu lalu dibukanya, “Lhoh, kang Yasir. Monggo-monggo masuk
dulu ke dalam, silakan duduk kang,” begitu sontak bahagianya orang tersebut
sambil merangkul hangat bapak lalu mempersilahkan kami masuk kedalam.
“Wah,
pripun? kang Yasir kok baru kelihatan,”
cetus orang tersebut memulai percakapan kepada bapak. Beliau ini adalah KH.
Sholichin.
“Iya kang, ini lho saya mau menitipkan anak saya di pondokmu.
Lho mas, sana salaman dulu kok malah diem. Ini lho yang bapak ceritain ke mas,
namanya adalah K.H. Sholichin”.
“Eh, iya-iya pak,” akhirnya aku sungkem kepada beliau, K.H.
Sholichin.
“Ternyata ini toh yang namanya K.H. Sholichin. Wah gila,
karismanya gede amat, kayaknya bapak kalah wibawa dech sama K.H. Sholichin,”
gumanku dalam hati terkagum-kagum melihat pak kyai Sholichin.
***
Akhirnya kedua shohib yang lama tak bersua. Ngobrol panjang lebar,
kadang diiringi canda tawa senyuman yang amat natural. Aku yang dari tadi
memandangi beliau berdua, sesekali ikut tersenyum hanyut dalam pembicaraan
orang tua paruh baya ini. Dari cerita sekolah, mondok, dan juga kerja bersama
satu bos tersimak dengan renyah ditelingaku. Sambil sesekali menyedu teh yang
telah dihidangkan oleh cewek seumuranku tadi.
Aku hanya membatin, “widih seru banget ngobrolnya. Mungkin ini
yang namanya teman seperjuangan. Terlihat dari mimik muka mereka yang begitu natural
melepas rindu temu yang menghangat dibalik pembicaraan yang tak kunjung selesai.”
“Ya sudah, mas bagus mondok di sini saja. Nanti kamu banyak
temannya mas, di sini juga ada santri-santri yang sekolah sepertimu,” tutur
K.H. Sholichin kepadaku.
“Lho nak, itu didengar abah yainya dawuh. Nanti jangan nakal,
taati peraturan pondok, dan juga jangan suka sering keluar area pondok. Biar
nanti kamu bisa fokus dipondok juga disekolahan nantinya,” ujar bapak
menasihatiku.
“InsyaAllah pak, kalau endak khilaf hehe,” jawabku menggoda
bapak.
“Bocah iki lho,” cetus bapak.
“Hehe, pembawaannya mirip kamu waktu muda kang Yasir,”
seronoh pak kyai kepada bapak.
“Ya sudah kang Yasir, nanti proses pendaftaran pondok dan juga sekolah
barunya nak Zaid. Bisa minta tolong pada ketua pondok atau para pengurus. Ini
mau ke pondok dulu atau lanjut jagongnya hehe,” timpal pak kiai.
“Eh iya kang, kami langsung saja ke pondok sambil lihat-lihat
nanti di sana. Ya sudah kang, sekalian saya izin pamit nggeh. Soalnya tadi
banyak kerjaan di rumah. Makanya ibukne Zaid endak ikut sowan,” jawab bapak
ke pak kyai dan mengakhiri percakap sekaligus izin pamit pulang nantinya.
***
Akhirnya mereka saling bersalaman dan berpamitan. Beberapa saat
kemudian, aku dan bapak sampai di pondok. Bapak disambut hangat oleh dua kang
pondok dengan ramah. Setelah terjadi percakapan sebentar, ternyata kedua orang
tersebut adalah pengurus pondok. Muhammad Ali Rahmat, adalah nama ketua pondok
di sini dan yang satunya adalah Fathul Ihsan, pengurus pondok yang menjabat
sebagai seksi sekertaris. Akhirnya bapak meminta izin untuk pulang ke rumah,
setelah mengurus registrasi bersama pengurus.
“Mas, bapak pulang dulu ya. Jaga kesehatan selama di pondok,
taati peraturan pondok dan juga kang-kang pengurus pondok. Nanti pendaftaran
sekolahmu biar sama kang pondok ngurusinya.Ya sudah, kang saya pamitan dulu,
assalamu’alaikum.” Kami bertiga perlahan namun serempak menjawab salam dari
bapak.
***
“Yaudah kang, untuk sementara kamu tinggal di kantor dulu ya.
Nanti kalau sudah dapat gotak[1].
Kang Zaid saya kabari,” kata kang Rahmat.
“Eh iya mas, nyantai aja,” balasku ke kang Rahmat. Akhirnya
kang Rahmat dan kang Ihsan pergi keluar dari kantor untuk mencarikan gotak
buat aku. Aku yang sambil tiduran didalam kantor mulai melamun dalam kesunyian
ruangan, “Aku mulai merasakan, apa dan bagaimana aku harus berlaku
kedepannya. Yah, aku harus bersikap bodoh, rendah hati, dan tak boleh
meremehkan orang lain. Biarlah aku menyembunyikan jati diriku.”
“Ah, coba keluarlah lihat-lihat lingkungan pondok,” ucapku
berkata sendiri.
“Hmmm, pondoknya bersih juga rapi. Konstruksi bangunannya begitu
serasi dengan tatanan gambaran panorama lingkungannya,” gumanku mengagumi
keadaan pondok. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada tempat beranda belakang aula
pondok. Sembari jalan perlahan menuju beranda tersebut.
“Hmmm, kira-kira tadi yang nganterin teh waktu sowan dirumah
abah Sholichin siapa ya? Kok panggilnya nduk Humairah. Apa mungkin putrinya
atau siapa ya?”, aku yang dari tadi melamun diatas beranda belakang aula
akhirnya terbuyarkan dengan lantunan suara adzan ashar.
“Yaa Allah, perasaan cepet amat asharnya,” gumanku.
“Woy kang, ngapain di sini masih pake seragam sekolah. Kamu tadi
bolos ya kang, kok kagak kelihatan tadi di sekolah?” suara seseorang
mengagetkanku dari belakang. Saat aku nengok ke belakang.
“Eh tak kira temenku, maaf-maaf kang hehe,” celetuk anak itu
yang masih berpakaian lengkap mengenakan seragam SMA dengan menyandang tas
ranselnya.
“Eh, iya kang sante mawon”, jawabku menimpali anak SMA
tersebut.
***
“Jama’ah ashar sudah, mau ngapain yak?” gumanku bicara
sendiri. Aku yang habis jamaah ashar duduk diantara tiang-tiang yang ada di aula.
Tiba-tiba anak SMA yang tadi mengagetkanku di belakang aula pondok,
menyapaku.
“Kang bengong lagi mikir nggeh? Hehe maaf yang tadi ya. Kenalin,
namaku Muhammad Shodiqul Amin, panggil saja kang Shodiq.”
“Eh iya kang, kenalin juga saya Muhammad Zaid, Panggil saja Zaid,”
jawabku memperkenalkan diri.
“Eh kang, kamu tahu ndak cewek yang di rumahnya abah Sholichin?
Namanya Maisarah, Masrurah, atau siapa sih pokoknya seperti seumuranku,”
tanyaku penasaran kepada kang Shodiq.
“Eeeh neng Humairah mungkin yang kang Zaid maksud. Kenapa kang,
cantik ya? hehehe... Itu putri abah Sholichin kang,” jawab kang Shodiq
sambil tersenyum. Akhirnya kami ngobrol sana sini.
“Ya sudah kang, aku ke kantor dulu,” jawabku mengakhiri
obrolan.
***
Waktu begitu cepat berlalu; waktu shalat jama’ah maghrib, ngaji
bandongan dan isya telah terlaksana. Dari tadi diriku yang masih sayup-sayup
terbayang dengan gambaran wajah neng Humairah, masih saja terpesona.
“Hmmm apa aku nulis surat saja. Kayaknya dia juga anak sekolahan
sepertiku”, batinku dalam hati. Akhirnya aku mulai menyobek secarik kertas
bagian tengah. Pena dalam tas aku keluarkan. Hatiku yang semakin kalut, semakin
berdegup kala memulai tulisan. Dengan bekal bismillah, ku mulai mengayunkan
pena.
Assalamu’alaikum
Wr. Wb
Kepada
Yth : Humairah putri abah Sholichin yang bikin teh Poci
Malam
begitu kelabu, namun tak begitu mengenai dirimu. Malam ini, kuputuskan
mengakhiri kepenatan indah yang sedari tadi terlamun akan dirimu.
Hari
ini kutulis dalam secarik kertas, berharap engkau tidak enggan untuk menengok
tulisan ini walau sesaat. Menulismu dalam angan, amat terasa penat di sepi
malam, mengingat aku santri baru.
Meski
ngopi ternisbat untuk orang susah. Yah, itulah hobiku. Ketika dirimu tiada di sampingku.
Karena di balik susahku menyangkalmu, aku selalu menemukan susahnya melupamu.
Cangkir kopi adalah saksi bisu tentangmu. Aku berusaha menutup pikiran dari kepiawaian
elokmu saat kau sajikan teh di hadapanku.
Amboiii
sekali, dirimu laksana embun di balik bilik pagi hari...
Ku
cukupkan. Tak pandai ku susun cakap pembicaraan.
Neng
Humairah, perkenalkan aku adalah Muhammad Zaid. Santri baru yang nyantri di pondok
abahmu.
Salam
hormat ta’dzim serta kenalku padamu.
Tertulis:
Muhammad Zaid
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb
Akhirnya, malam pertamaku di pesantren
terlalui dengan hati yang begitu bermekaran layaknya bunga dimusim semi.
“Tuhan, kalau begini saya betah
tinggal di pondok. Malam-Mu sekarang begitu larut. Hehehe Humairah,”
batinku yang berguman.
Semakin lama semakin berbunga-bunga dan juga kalut yang larut. Akhirnya malam ini, kulalui dengan kelelahan yang begitu menghanyutkan. Hingga akhirnya diriku pun terlelap bersama rasa yang tak kunjung redup. (04)
[1] Gotak adalah
sebutan untuk almari kecil sebagai tempat menaruh pakaian maupun
peralatan-peralatan.
___Fikri Hailal, mahasiswa sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Santri Pondok Pesantren LSQ Ar-Rahmah, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar