Meneladani Sifat Mahabbah KH Mukhlisul Hadi kepada Sang Guru - Soeara Moeria

Breaking

Senin, 15 Januari 2024

Meneladani Sifat Mahabbah KH Mukhlisul Hadi kepada Sang Guru

Almaghfurlah KH Muhclisul Hadi. 


Oleh : Fikri Hailal, alumnus pesantren Roudlotul Huda, sedang menempuh magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


KH Mukhlisul Hadi adalah pengasuh pertama Pondok Pesantren Roudlotul Huda di desa Margoyoso kecamatan Kalinyamatan kabupaten Jepara. Beliau merupakan putra dari pasangan K. M. Sukarman dan Nyai Mu’minah. Beliau lahir di Jepara Kamis Pon, 4 Mei 1947, dan wafat pada Rabu Wage, 9 Shofar 1435 H bertepatan 11 Desember 2013 M. Beliau adalah anak kedua dari lima bersaudara. Istri beliau bernama Hj. Isti’anah binti M. Rasub dan mempunyai lima putri, yaitu: 


Hj. Anis Ma’rifah menikah dengan H. Abd. Shamad Jamil, mempunyai anak yang bernama M. Royyan Abid, M. Aldian Muzakky; dan Radha Aliya Arsha. 


Umi Arafah menikah dengan Faisal Imran, S. Ag, mempunyai anak yang bernama Ainayya Lathifah, Chilmi Makmun, M. Kharish Auni Aziz, Wilda Rahmah, dan Jamila.


Nailis Sa’adah menikah dengan K. Amin Taufiq mempunyai anak yang bernama M. Ashfa Kabid, Rona Shafiniyyah, Atina Qurrata A’yun, dan Nuzula Raihana Aryakhiy.


Durratun Nafisah menikah dengan Yudi Wahyudi mempunyai anak yang bernama Marsya Lu’luul Khusna dan Jauharatuz Zahra.


Nor Fatichah menikah dengan KH. Miftahul Amin Lc mempunyai anak bernama Delisha Nouren Amna.


KH. Mukhlisul Hadi adalah lulusan dari MTs TBS Kudus, yang kemudian melanjutkan pendidikan agamanya ke Lasem. Kemudian melanjutkan pendidikan agamanya ke pondok pesantren API Tegal Rejo, Magelang yang diasuh oleh KH. Chudlori. Beliau akrab dipanggil dengan sebutan “Mbah Yai” di kalangan santri-santri yang masih baru. Beliau dikenal sebagai sosok yang jenius, gigih, dan berintelek juga berwawasan yang tinggi dan juga mempunyai jiwa arsitektur.


Semasa di pesantren, konon diceritakan beliau pernah bermimpi meminum air yang ada di kolam tempat wudlu dan sekaligus menjadi tempat mandi para santri API Tegal Rejo di kala itu.


Karena mimpi yang begitu aneh dirasakan, akhirnya beliau sowan kepada gurunya, simbah Chudlori. Singkat cerita, sang guru dawuh kepada Mukhlis, “Leee anggonmu ngaji neng kene wes cukup, kabeh ngilmuku wes mok alap (Nak belajarmu sudah cukup, semua ilmuku telah engkau ambil)”.


Namun, beliau masih belum mau berpisah dengan sang guru, yaitu simbah Chudlori. Dikarenakan rasa mahabbah dan kepatuhannya terhadap sang guru. 


Kemudian singkat cerita, setelah itu akhirnya beliau boyong atau pulang juga dari pondok pesantren API Tegal Rejo, Magelang. Beliau pulang atau boyong dari pondok pesantren dibekali dengan sebuah amanah untuk mengkhatamkan al-Qur’an dimaqam sang ‘alim ulama’ yang berada di atas air terjun montel, Muria, Kudus, yaitu di tempatnya syaikh Sadzali. 


Akhirnya, beliau simbah KH. Mukhlisul Hadi melakukan amanah tersebut dengan khataman Al-Qur’an sambil berdiri. Konon cerita, suara beliau terdengar jelas sampai ke pemukiman penduduk sekitar yang ada di bawah tempat tersebut. Sehingga para penduduk sekitar bertanya-tanya, siapakah gerangan suara tersebut dan dari mana sumber asal suara tersebut. Hal ini mengakibatkan ada salah satu penduduk setempat yang memutuskan untuk mencari sumber asal suara tersebut. 


Setelah lama mencari sumber suara tersebut, akhirnya ketemu juga sumber suara itu berasal. Ternyata, sumber suara itu berasal dari seorang pemuda yang sedang membaca al-Qur’an dengan keadaan berdiri.


Usut cerita, akhirnya penduduk tersebut memberanikan diri untuk menegur dan menanyakan perihal siapakah pemuda tersebut. Kemudian terjadilah percakapan antara keduanya:


Penduduk : Assalamu’alaikum...

Pemuda. 


KH Mukhlisul Hadi : Wa’alaikum salam warah matullah. 


Penduduk : Nuwon sewu, sampeyan niku sinten? Kok maos Qur’an ten mriki? (Permisi, siapakah kamu? Mengapa membaca Qur’an ditempat ini?


Pemuda : Kulo Mukhlisul Hadi mbah, kulo angsal amanah sangking kyai kulo supados maos Qur’an ten maqam niki. (Saya Muklisul Hadi kek, saya mendapat amanah untuk membaca Qur’an di maqam ini).


Penduduk : Emange niki maqame sinten nang? kok kyaine sampeyan ngakon ngoten. (Memangnya ini maqamnya siapa nak? Mengapa kiaimu menyuruh seperti itu).


Pemuda : Turine pak yai, niki maqame ‘alim ulama’ tanah mriki. (Kata beliau guru saya, ini maqamnya ‘alim ulama tanah sini).


Penduduk : Kulo malah lagi ngertos yen wonten maqam ten mriki, sebab jarang tiang ingkang podo sobo mriki. (Saya baru mengetahui kalau ada maqam di tempat ini, sebab jarang orang yang datang kemari).


Pemuda : Nggeh mbah, kulo angsal nyuwun tulong mbah ? (Iya mbah, saya boleh minta tolong mbah?


Penduduk : Tulong opo nang? (Tolong apa nak?)


Pemuda : Tulong maqam niki dipun ramut supados layak anggenipun dipun ziarohi. (Tolong maqam ini dirawat supaya layak untuk diziarahi).


Penduduk : Nggeh nang, insyaAllah kulo ramut maqam niki. (Iya nak, insyaAllah akan saya rawat maqam ini).


Singkat cerita setelah percakapan, sang penduduk kembali lagi kepemukimannya, dan sang pemuda melanjutkan pembacaan Qur’annya.


Selain disuruh bermukim atau boyong oleh sang guru, KH. Mukhlisul Hadi juga mengikuti dawuh Yai Muhib, beliau adalah orang yang menyuruh KH. Mukhlisul Hadi untuk mukim dari pondok pesantren API Tegal Rejo, Magelang dan menyuruh untuk melanjutkan pengajian yang beliau ampu di desa Margoyoso. 


Beliau juga yang memulai adanya kegiatan rutinan lailatul ijtima’ di Margoyoso (shalat malam berjama’ah di mushola sekitar pukul 00.00 WIB), yang sekarang dikenal dengan mujahadahan. 


Adapun beberapa pengikut dan santri sepuh atau tua yang ikut perjuangan bersama KH. Mukhlisul Hadi pada waktu itu adalah bapak Son. alm, bapak Rusdi. alm, bapak Jalil. alm, bapak Basron. alm, bapak Ahmadi. alm, bapak H. Maskuri. alm, bapak H. Rozaq, bapak H. Sholeh, dan bapak Nashan.


Adapun salah satu santri-santri simbah KH. Mukhlisul Hadi yang biasanya diajak diskusi atau dimintai pendapat, bahkan ditunjuk untuk suatu hajat yang dianggap berat, adalah bapak Nashan. 


Hal ini terbukti, dari bapak Nashan yang ditunjuk sebagai ketua pembangunan gedung pondok yang bertingkat dua pada tahun 2000-an saat itu. Dan beliau juga, murid yang biasanya memboncengkan KH Mukhlisul Hadi untuk mengisi pengajian rutinan setiap malam rabu, mushola dan di masjid yang ada di desa Margoyoso, Kalinyamatan, Jepara.


Beliau KH Mukhlisul Hadi, terkenal sebagai sosok yang mempunyai sifat haris (cinta) terhadap ilmu pengetahuan. Selain teladan laku yang beliau contohkan, beliau juga merupakan sosok yang begitu mendukung terhadap santri-santrinya yang hendak boyong untuk melanjutkan studi keilmuannya. Baik itu untuk melanjutkan kuliah di dalam negeri ataupun luar negeri maupun pindah pondok pesantren. 


Untuk beliau simbah KH. Mukhlisul Hadi dan keluarga serta ahlu baitnya, lahum Al-Fatihah. (01)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar