Sudut Pandang - Soeara Moeria

Breaking

Jumat, 22 Desember 2023

Sudut Pandang

Sudut pandang. (Foto: salamadian.com)

Cerpen : Sherly Gratia Widyasari 


Pada awalnya semuanya bisa berjalan baik-baik saja jika tidak ada kata-kata yang menjerumuskan. Manusia memang pada dasarnya bergerak sesuai dengan apa yang dia dengarkan. Kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh seseorang bisa mengubah seseorang menjadi ‘bukan dirinya’ sesungguhnya. Saat ini dia merasakannya.


Ketika umurnya beranjak remaja. Dia tahu kerasnya hidup itu. Muak! Itu yang selalu dia pikirkan ketika mendengarnya. Tentu itu benar adanya. Siapa yang mau dibeda-bedakan dalam hidup ini? Dibedakan berdasarkan gender? Yang benar saja. Jangan terlalu konservatif, manusia itu bisa melakukan apa saja jika dia gigih. 


“Ulangi lagi! Satu … Dua … Tiga,” plak plak plak. 


“Lebih keras lagi. Kau harus berhasil memukulnya dalam hitungan detik!”


“Siap coach!” Plak plak plak plak


“Oke, kita akhiri latihan saat ini. Kau bisa balik, Len!” Olahraga tinju itu berakhir. Perempuan berambut sebahu itu menghentikan latihannya. Tubuh berototnya telah dilumuri oleh keringat. Terkadang orang percaya kalau dia adalah seorang pria karena tubuhnya seperti binaragawan. Dia menyukai tubuhnya saat ini tapi dia membenci wajahnya. 


“Panggil aku Al, Coach!” 


“Kenapa memangnya?” 


Alena meminum air putih dari botolnya. Duduknya dilebarkan seperti seorang pria. Matanya menatap tajam pelatihnya. Pelatih yang selama enam bulan ini membantunya belajar tinju. Dalam enam bulan dia telah berhasil naik ke kategori menengah.


“Terlihat lebih bagus bukan? Cocok banget dengan karakter laki-laki.” Alena sengaja menekuk lengannya sampai otot-ototnya terbentuk. Pelatihnya menyadari itu. Alena merasa bangga, bibirnya tertarik sedikit ke atas.


“Yap, betul. Tapi tidak cocok dengan wajahmu, Al. Kau tahu, wajahmu itu sangat baby face.”


“Apa aku perlu melakukan operasi plastik? Haha,” tawa Alena berhasil mencairkan suasana yang semula tegang itu. 


“Tentu, kau bisa mencobanya. Kau bisa menjadi squidward tampan.”


“Boleh dicoba.”


“Lapar nggak? Nongkrong dulu gasih kita?”


“Ayok!”


Keduanya bangkit dan meninggalkan ruang latihan yang telah sepi. Semuanya sudah berakhir sejak pukul delapan malam. Biasanya memang latihan selesai jam segitu. Hanya dijam-jam tertentu seperti saat ini. Pelatih itu akan dengan rela memberikan waktunya untuk mengajari Alena.


“Hei, Bro. What’s up? Hei, Al,” seru salah satu cowok tongkrongan yang ada di sana. 


Semua isinya cowok. Tongkrongan itu memang secara keseluruhan diisi oleh cowok. Hanya Alena sebagai perempuan di sini. Awalnya memang dia mendapatkan catcalling yang tidak menyenangkan tapi ketika Alena menggebrak meja dan menantang para cowok-cowok yang katanya tangguh itu, mereka hanya diam. Mereka tahu siapa tongkrongan yang dia hadapi. Akhirnya Alena berhasil diterima dengan baik. Dia tidak diremehkan di tempat ini.


“Rokok lo ganti kayaknya dah.” Cowok berambut keriting itu penasaran dengan rokok yang dibawa Alena. Perempuan itu biasanya membawa malboro atau djarum, tapi kali ini bungkusnya berwarna hitam elegan. 


“Anjrit lo beli si Esse Golden Leaf ini? Mantab betul, holang kaya mah beda.” Si rambut keriting syok melihat rokok yang dibawa oleh Alena. “Gue ini aja dah udah.” Pria itu menunjukkan rokok twizznya. 


“Sama aja kalik. Ini mah gue nyoba aja. Hufffttt …”


“Haha. Lo tuh cewek. Rokok aja belagu mahal-mahal. Harusnya lo belajar masak, dandan, biar cakep. Enak dipandang. Masalahnya body lo kan dah bagus nih  ya. Tinggal dipoles aja dikit.”


“Oh yaa?” Alena mendekatkan wajahnya kepada si Rambut Kribo yang ada di depannya. Dia paling malas berurusan dengan si Kribo. Pria berkulit putih itu selalu memandang perempuan sebagai fantasi liarnya. “Gimana kalau … lo lawan gue dulu di ring tinju? Atau balapan? Taekwondo mungkin? Hemm … yang simpel aja deh. Gimana kalau main panco aja sekarang? Lo depan gue nih.” Pria itu terlihat gelagapan. Dia menatap teman-temannya yang lain. Mereka hanya diam karena tahu track record perempuan tomboy yang ada di sirkel mereka ini. Si Pelatih pun hanya diam. 


“Masal lawan cewek. Gue masih inget gender kalik.”


“Oh ya?” Alena menyemburkan asap ke wajah Si Rambut Kribo dengan lembut sampai membuat Si Kribo terbatuk-batuk dibuatnya. “Siap nih.” 


Alena menyiapkan tangannya di atas meja. Semua mata di angkringan itu tertuju dengan mereka. Si Kribo akhirnya tersudut. Dia menerima tantangan Alena. 


Si Pelatih menjadi wasitnya. Tangan kanan Alena melawan tangan kanan Si Rambut Kribo. Setelah hitungan ketiga, Si Kribo berusaha membuat tangan Alena jatuh. Dia bersusah payah untuk membuat tangan sekeras batu itu bisa tersungkur di atas meja. Nyatanya kekuatan Si Rambut Kribo tidak sebanding dengan kekuatan Alena. 


Tangan Alena masih berdiam di tempat. Dia bahkan masih bisa menghisap tembakaunya dengan tangan kirinya. Matanya menatap ke sekeliling dengan bosan. Dia akhirnya menggerakkan tangannya dan … Voila … Alena menang hanya dalam satu kali gerakan. Semua mata bertepuk tangan dengan dirinya. 


“Hah, membosankan!” Alena menatap Si Pelatih, dia memberikan kode untuk meninggalkan tempat itu. “Oh ya, nih buat dibagi-bagi.” Alena memberikan rokok itu di atas meja. 


Dia sudah puas bermain-main dengan pria Kribo. Kali ini Alena harus pulang tapi sebelum pulang, dia akan menyempatkan diri untuk mengikuti balapan. Balapan akan dimulai setengah jam lagi. Semua orang pasti sudah ada di sana. 


Ketika datang, dia melihat salah satu temannya. Pria keturunan Afrika yang menyapanya. Dia bersahabat dengan baik. Tidak ada yang dibeda-bedakan. Alena bahkan pernah berteman dengan orang gila ketika dia di rawat di rumah sakit jiwa. 


“Wah akhirnya tiba juga, Bro. Lama banget nggak kelihatan, ke mana aja nih?” tanya pria keturunan Afrika itu. 


“Biasa, gue lagi pengen mabok saja sama ngeganja dikit.”

 

“Wahh udah rusaklah rusak ini.” Pria itu tertawa mendengar hobi baru kawannya. 


“Haha, lagian hidup sekali. Sayang kalau nggak digunain buat nyoba-nyoba. Emang cowok doang yang bisa nyoba ini itu?”


“Bener juga. Nahhh, ini gue dapet kabar kalau Si Cumi Kering gabisa dateng. Tiba-tiba bokapnya masuk rumah sakit. Lo mau gantiin nggak?” tanya Si Keturunan Afrika. 


“Siapa takut.”


“Tapi ini lawannya Si Rese. Gimana? Lo udah pernah hampir mati, Al.”


“Berani gue. Biar gue aja yang ngelawan.”


Balapan itu dimulai dengan teriakan satu dua tiga. Ketika berada di jalan raya yang sudah sepi itu, Si Rese tiba-tiba mulai berulah. Dia sengaja menyalip Alena dan menghentikan motornya dengan mendadak lalu menancap gas dengan kuat. Alena tidak mau kalah. Dia secepat kilat menyalip dan menghindar. 


Dahulu dia masih memiliki perasaan sayang terhadap nyawanya. Dahulu dia ragu untuk mengambil keputusan dengan cepat. Dia ragu untuk menyalip tronton dari arah kanan atau kiri. Sekarang, dia berani-berani saja. Dia berani menyalip di tengah-tengah tronton. Begitu juga dengan Si Rese. Si Rese langsung menancap gassnya secara full. Dia ingin mengejar Alena yang telah jauh di depan. 


Alena bergerak semakin cepat hingga ketika berada di tikungan, Si Rese mendekat ke motornya dan berusaha untuk menjatuhkannya. Alena yang mempunyai firasat tidak enak langsung mengerem motornya dengan cepat. Resiko besar harus diterimanya. Motor yang ditumpanginya akhirnya berdiri dan membuatnya harus menahan motor besar itu untuk tetap seimbang. 


Brakkk …. Boommm … Motor Si Rese masuk ke dalam persawahan. Beberapa menit setelahnya motor itu terbakar. Alena menatap kejadian itu dengan dingin. Jantung tetap pada detak biasa. Dia menatap persawahan itu sekilas. Tubuh tertatih-tatih menghindari kobaran api itu dilihatnya. Ternyata Si Rese masih di beri nyawa. Si Rese menatap Alena. Alena tersenyum. Inilah balasan untuk orang yang terlalu picik dalam bermain.


“Ada nyawa yang hampir gosong tuh di tengah lintasan. Gue balik dulu.” Alena mengambil segepok uang yang telah menjadi bayarannya. Motor besarnya kembali membelah jalanan ibukota.

Ketika masuk ke dalam rumahnya, Alena tidak mendapati siapapun. Dia yakin semua orang sudah tertidur seperti biasanya. Toh ayahnya juga tidak akan pernah pulang. Bagus karena pulang pun pria tua bangka itu tidak ada gunanya. 


“Kau, dari mana saja?” Lampu di ruang tamu tiba-tiba hidup. Ada pria tua bangka yang berdiri di tengah-tengahnya. Di samping pria itu ada ibunya. Ayahnya mendekat dan hidungnya mencium bau tembakau. “Kau merokok?” 


Pria itu menatap Alena dengan mata berkilat marah. Alena justru senang melihatnya. Dia sangat senang melihat pria tua bangka itu seperti ini. “Tentu saja. Ada yang salah memangnya?”


Plakkk …


“Mau jadi apa perempuan kayak kamu begini?”

“Wahhh. Hahahaha.” Alena tertawa dengan kencang sampai membuat seluruh ruangan itu bergema dengan suaranya. Alena mendongak ke atas. Dia melihat anak berusia delapan tahun berdiri di balkon bersama ibunya anak itu. Mereka menatap Alena tanpa ekspresi. Lebih tepatnya menantikan apa yang akan dilakukan pria tua bangka dengannya. 


“Cukup menarik bibir saya terkena tangan kotor Anda. Bahkan sampai berdarah.” Alena melayangkan satu tinju ke depan wajah pria tua bangka itu. “Hahaha!” Alena tidak benar-benar melayangkan tinjunya. Dia hanya menggantungnya tepat di depan hidung pria itu. 


“Kau sudah berani kurang ajar sama saya?” Alena menahan tangan pria itu yang akan memukulnya. Tangan itu bahkan dipelintir ke samping sampai sarafnya bahkan bisa berteriak. “Aaaa kau anak durhaka! Lastri lihat anakmu ini! Bagaimana Kau mendididknya?” 


Ibunya hanya menatap Alena dengan sendu. Air mata itu menetes tanpa suara. Alena akhirnya menghentikannya. “Kau harusnya bertanya bagaimana kau mendidikku sampai bisa seperti ini.”



“Ini yang membuat saya tidak menyukai anak perempuan. Susah diatur, banyak mau, caper, anak durhaka.”


“Oh ya? Hemm, saya hanya berusaha menjadi anak laki-laki yang bisa Anda banggakan.”


“Bagaimanapun kau bukan seorang laki-laki!” Pria Tua Bangka itu menarik rambut Alena yang dikuncir kuda. Dia berusaha untuk menghargai ibunya yang tetap menginginkannya memiliki sosok perempuan dengan memiliki rambut sedikit panjang.


Alena menyikut perut ayahnya hingga pria itu terdorong ke lantai. Pantatnya sepertinya bisa remuk dengan jatuh yang tepat pada tulang ekornya. “Aku sangat membencinya.”


Alena mengambil gunting yang biasanya ada di bawah meja. Gunting itu biasa digunakan untuk membuka plastik-plastik jajanan. Dia menggunting rambutnya langsung tanpa melepaskan ikatannya. Alena memotong secara serampangan. Tatapannya dingin dan menusuk. Tidak ada perasaan yang bisa dia rasakan saat ini. Semuanya hambar.


“Kau memang seharusnya tidak dikeluarkan dari rumah sakit jiwa. Kau harusnya sampai mati di sana.”


Alena melemparkan gunting itu tepat di samping Si Pria Tua Bangka. Gunting itu memang sengaja dilempar ke arah sofa. Dia masih waras untuk tidak melakukan pembunuhan di dalam rumah. 


“Kau tahu, aku bahkan tidak tahu harus menyebut diriku ini apa. Semuanya gara-gara kamu, Tua Bangka. Kau yang telah menghilangkan identitas diriku sendiri! kau yang membuatku tidak memiliki kehidupan. Bagimu hanya anak laki-laki yang bisa kau didik. Bagimu hanya anak laki-laki yang harus menjadi pewaris kekayaanmu. Bahkan kau rela mencarinya dari wanita lain. Hei! Bocah Delapan Tahun kau beruntung memiliki kasih sayang dari Tua Bangka ini. Kau mendapatkan segalanya. Kau bisa hidup enak dengan baik tanpa caci makinya. Semuanyaa, yaa … betulllll, kau bisa makan sendiri bahkan sebuah pencapaian yang luar biasa. Sedangkan aku? Ooopppsss, apa aku boleh membandingkan? Haha. Aku bahkan sampai harus operasi liver karena begadang untuk belajar dan mendapatkan juara di setiap olimpiade yang aku lakukan sama sekali tidak membuka matanya.”


“Tua bangka ini memang tidak layak untuk hidup di dunia. Kau harusnya malu hidup seperti ini bocah delapan tahun!” Alena menunjuk Pria Tua Bangka itu tanpa gentar. Tubuhnya tidak gemetar sama sekali. 


“Kau yang seharusnya malu. Kau hidup seperti binatang.”


“Oh yaa? Bukankah seorang pria itu pandai merokok? Aku pandai merokok. Seorang pria itu sangat kuat bukan? Aku kuat! Pria suka motor dan balapan? Aku juga. Pria suka mabok-mabokan? Aku juga. Pria suka judi? Aku juga. Apa lagi yang dilakukan pria? Akan aku lakukan semua untuk menjadi seperti yang kamu mau tua bangka. Kau tinggal bilang. Akuuuuuu …. bisa menjadi pria seperti yang kamu mau.” Alena menunjuk dirinya sendiri dengan tegas. Wajahnya menatap Pria Tua Bangka itu dengan sinis. 


Dia tidak akan selemah ibunya yang hanya bisa menangis. Dia tidak akan selemah ibunya yang hanya bisa diam melihat apa yang terjadi. Dia tidak akan selemah ibunya yang mau dipoligami. Dia tidak akan selemah ibunya yang hidup kesusahan hanya karena tidak bisa memiliki anak laki-laki. Dia tidak akan selemah ibunya yang hanya bisa mengurus dapur. Dia ingin mendapatkan keadilan yang sama. Dia ingin dilihat seperti anak perempuan yang memiliki hak yang sama. Dia ingin memiliki kesempatan yang sama. 


“Kau, tidak layak menjadi seorang ayah, Tua Bangka!” 


Alena mengangkat meja kaca yang ada di sampingnya. Dia memukul meja kaca itu dengan kepalanya. Darah mengalir deras tapi dia tidak merasakan sakit sedikitpun. Dia bahagia setelahnya. Semuanya telah berakhir. (02)


Sherly Gratia Widyasari, Mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Diponegoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar