Novel Pukul Setengah Lima Karya Rintik Sedu: Anak Korban Broken Home dan Citraan “Rumah” yang Tidak Layak Ditinggali - Soeara Moeria

Breaking

Selasa, 28 November 2023

Novel Pukul Setengah Lima Karya Rintik Sedu: Anak Korban Broken Home dan Citraan “Rumah” yang Tidak Layak Ditinggali

Cover buku @rintiksedu

Judul : Pukul Setengah Lima

Penulis : Rintik Sedu

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Terbit : 21 September 2023

Peresensi : Anjar Pratiwi, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Prodi Sastra Indonesia Universitas Diponegoro Semarang


Novel Pukul Setengah Lima dirilis oleh Rintik Sedu pada tahun 2023 bulan September. Pengarangnya, Tsana, membagikan karya terbarunya bersama Gramedia Pustaka Utama.


Pukul Setengah Lima merupakan bacaan yang menghadirkan gambaran sebuah “rumah” yang tidak layak ditinggali untuk waktu selamanya.


Diceritakan dalam novel Pukul Setengah Lima ini seorang tokoh bernama Alina yang merasakan sebuah perasaan tidak nyaman ketika di rumah.


Makna kata “rumah” dapat berupa gedungnya-bangunannya atau secara fisik dan lebih mendalam berarti suatu tempat non-fisik yang berarti sebuah kenyaman.


Alina membenci saat harus pulang ke bangungan fisik bernama rumah sekaligus membenci situasi di dalamnya.


Di sana, dia harus menemui kondisi tidak mengenakkan yang terjadi kepada perempuan terhormat, yakni ibunya, sekaligus kepada dirinya.


Rumah menjadi latar cerita ketidakharmonisan keluarga Alina, sebab tokoh Ayah berani melakukan kekerasan kepada istrinya sendiri.


Meski demikian, sang Ibu masih menghormati suaminya. Hal demikian menjadi poin penting yang mengarahkan batin Alina tidak kuat hati untuk pulang.


Dia mesti menyaksikan ketidakadilan menimpa sosok pendiam dengan kesabaran yang tidak perlu diragukan lagi.


Tentu perasaannya bergejolak memaksa tokoh Ibu meminta pisah saja atau membalas tindak kejahatan suaminya dengan setimpal atau bahkan lebih keras.


Dia sudah melakukannya, Alina telah mengupayakannya, tetapi Ibu tetap akan menerima situasi tersebut dengan ikhlas dan lapang dada.


Di sisi lain, rumah Alina juga digambarkan dan dianalogikan dengan sebuah kondisi yang lebih seram dari cerita horor berisi hantu-hantu.


“Kadang aku bingung, kenapa cerita horor harus tentang hantu? Kenapa tidak tentang bapak yang selalu memukuli ibu? Kenapa tidak tentang luka lebam di sekujur tubuh Ibu, juga tubuhku?” (Sedu, 2023: 8).


Terlihat bahwa sang Ayah adalah pihak yang memperparah sebuah ikatan keluarga tanpa curahan kebahagiaan di dalamnya itu.


Bukan hanya pukulan kepada Ibu, tetapi juga kepada anak perempuan yang sudah seharusnya mendapat perhatian lembut dari Ayah.


Seringkali, figur seorang Ayah disamakan dengan laki laki yang menjadi cinta pertama dari anak perempuan.


Akan tetapi, Alina bukan anak perempuan itu. Dia sama sekali tidak menerima kelembutan sikap, rasa aman dalam dekapan, dan perlakuan istimewa dari sosok Ayah yang penyayang.


Dia malah harus menjalani kehidupan sebagai anak perempuan dari Ayah tempramental yang tega memukul atau ringan tangan itu.


“Semua orang pergi. Bapak gila. Ibu terluka. Memar yang satu, disusul yang berikutnya. Pukulan di kepada, tamparan di pipi, tendangan di perut, dan seorang anak perempuan yang cuma bisa bersembunyi.”  (Sedu,2023: 11).


Tentu dampak setelahnya adalah Alina menyandang status sebagai korban broken home berupa ketidakharmonisan keluarga. 


Dia menjadi tidak suka pulang, membenci Ayah kandungnya sendiri, bahkan sampai membenci dirinya sendiri yang sesungguhnya.


Diceritakan Alina jarang sekali menunjukkan sikap antusiasnya pada sesuatu, dia hanya menjalani hari-harinya sesuai rutinitas layaknya menjalani pekerjaannya.


Dia meneruskan hidupnya dengan mengikuti arus: dia bangun, bersiap-siap berangkat bekerja, menaiki bus, sampai di kantor, menyelesaikan pekerjaan, dan selesai.


Rutinitas demikian dilakukan terus-menerus setiap hari, sampai rasa hambar sekaligus benci menghampiri dirinya versi monoton seperti itu.


Jadi, dapat ditegaskan kembali mengenai efek buruk ketidakharmonisan keluarga begitu besar terhadap kepribadian Alina.


Dia adalah individu yang sudah masih usia dewasa atau berdiri pada kaki sendiri, tetapi haknya sebagai “anak ayah” belum terpenuhi seluruhnya.


“Rumah” yang bisa disinggahi dan ditempati dalam waktu lama pun gagal berperan dalam meredakan pikirannya Alina usai menghadapi hari-hari berat.


Oleh karena itu, dia kekurangan sisi yang seharusnya dia dapati seperti anak-anak lain dalam relasi keluarga harmonis nan nyaman.


“Dan aku masih saja memanggilnya dengan sebutan bapak. Rumahku sudah tidak aman lagi. Sudah tidak ada orang waras di dalamnya. Entah apa masih bisa disebut rumah atau bukan. Atau mungkin hidupku memang tidak lebih dari secangkir kebohongan. Semuanya telah habis, dan yang tersisa hanya ketersiksaan Ibu, juga aku.”  (Sedu, 2023: 8).


Dari kutipan di atas, Alina senantiasa menghormati posisi kepala keluarga atas Ayahnya dengan panggilan “Bapak”.


Dia juga terus berupaya kuat dan tegar demi sosok perempuan tidak bersalah, ibunya. Alina merasa Ibu adalah alasan utama dia mau menginjakkan kaki ke bangunan bernama rumah dan memasukinya.


Alina adalah korban yang sesungguhnya perlu pertolongan, dia sudah cukup tersiksa atas keadaan keluarganya yang tidak layak sama sekali.


Situasi tersebut lebih jauh merubahnya dalam memandang sebuah hubungan sosial seperti romansa yang sudah dia pastikan akan berakhir tanpa kebersamaan.


Misalnya, ketika dia membandingkan sisi keluarganya dengan sisi keluarga pasangan. Dia merasa tidak setara karena pasangannya memiliki pihak-pihak yang begitu ideal menyayangi putra-putrinya.


Berbeda dengan Alina, kondisinya jauh apabila disandingkan dengan keluarga yang disebut-sebut sebagai keluarga cemara atau antara anggotanya selalu harmonis.


“Bapakku tidak punya pekerjaan, ibuku yang cari uang. Itu mengapa sejak awal aku tahu kami tidak akan berakhir di tempat yang sama. Itu mengapa pula, selama ini aku hanya menunggu dia menyerah denganku, sebagaimana aku menyerah pada hidupku sendiri.”  (Sedu,2023: 10—11).


Tokoh Alina ini sakit, sungguh kesakitannya bukan hanya kepada situasi keluarganya, tetapi sudah sampai penghilangan sisi nyata dirinya sendiri.


Alhasil, dia memilih untuk membatasi interaksi sosialnya dan pasrah saja atas sesuatu yang pergi dan memilih meninggalkannya. Dia sama sekali tidak mencoba mengejar demi memperbaikinya.


Pikiran Alina mempertimbangkan jika diteruskan pun akan berakhir dengan situasi yang saling menyakiti satu sama lain.


Jadi, sudah benar suatu perpisahan adalah keputusan sekaligus jalan terbaik yang harus diambil demi keberlangsungan hidup masing-masing. (03)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar