I Have Anxiety - Soeara Moeria

Breaking

Kamis, 02 November 2023

I Have Anxiety

Ilustrasi: detik.com

Cerpen: Zulfa Wafirotul Khusna


“Penderita penyakit mental bukan berarti mereka gila. Mereka berhak untuk diperlakukan adil. Pergi ke psikolog atau psikiater bukanlah dosa besar. Mereka hanya ingin sembuh dan menjalani kehidupan seperti orang normal.”


Itulah yang aku tulis dalam buku diaryku.


Waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa usiaku sudah menginjak 17 tahun. Aku baru saja pulang dari rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan dengan psikiater. Aku konsultasi ke psikiater secara diam-diam karena tidak ingin membuat orang lain cemas atas kesehatanku. 

Aku pergi ke sana karena sudah tidak tahan lagi menanggung trauma, rasa sakit yang berasal dari masa lalu semakin lama memburuk. Tak aku sangka akan didiagnosis anxiety disorder. 


Penyakit itu ternyata membuatku juga mengidap. Sudah lima tahun aku berusaha untuk melakukan penyembuhan secara mandiri melalui ikut pelatihan mental health secara daring dan mempraktikkannya. 


“Niskala,” panggil seseorang seraya mengetuk pintu kamar.


“Iya, bentar.” Aku membuka pintu. “Apa, apa, Yah?” 


“Ibu sama Ayah mau bicara sebentar sama kamu. Ayah tunggu di ruang keluarga.” 


Aku hanya mengangguk pelan lalu berjalan menuju rumah tamu. 


Sesampainya di sana, aku langsung duduk di kursi. “Ayah sama Ibu mau bicara apa?”


“Setelah lulus kamu mau ke mana?” tanya Ayah.


“Saya mau mel-“


“Jangan bilang mau lanjut kuliah.” Ibu menatapku dengan tatapan tajam.


Aku menggigit bibir karena takut orang tua tidak akan menyetujui jawaban atas pertanyaan mereka.


Aku ingin kuliah biar bisa jadi orang sukses. Ucapanku dalam hati sambil mempersiapkan diri atas penolakan kedua orang tua.


“Insyaallah aku ingin melanjutkan kuliah di UGM dengan jurusan psikologi,” kataku dengan sungguh-sungguh.


“Apa? Niskala mikir, gak? Kita ini miskin. Jangan bermimpi setinggi langit. Lebih baik kamu kerja!” Perkataan Ibu dengan emosi yang naik ke ubun-ubun.


Berbeda dengan Ibu menolak secara mentah-mentah, Ayah justru mengelus surai  hitamku lemah lembut. “Niskala, bukannya Kami melarang tapi kamu liat sendiri ekonomi kini meredup. Untuk makan saja susah. Ayah hanya tidak ingin ketika kamu berhasil kuliah nanti terhenti di tengah jalan karena masalah keuangan.”


Yang dikatakan oleh Ayah juga ada benarnya. Namun, aku masih ingin kuliah dengan jurusan psikologi supaya aku bisa menyembuhkan diri sendiri serta orang lain.


Aku tidak ingin orang lain mengalami apa yang aku alami.Aku ingin menjadi orang yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Aku menghembuskan napas dan bersikap setenang mungkin. 


“Ayah tidak perlu khawatir. Ada beasiswa untuk kuliah sehingga kalian tidak perlu cemas soal biaya.”


“Tapi tetap saja yang namanya kuliah ya perlu biaya,” bantah Ibu lalu meninggalkan kami berdua.


“Kalau begitu Ayah doakan semoga kamu bisa kuliah. Semoga bisa lolos beasiswa. Maafkan, ibu yang bersikap kasar padamu.”


Aku bersyukur setidaknya masih ada Ayah yang mendukung, lemah lembut, ramah dan tidak kasar seperti ibu.


“Pasti Ayah. Terima kasih sudah mau menerima permintaan, Kala.”


Ayah memeluk dengan erat dan menyalurkan energi positif yang sangat aku butuhkan untuk saat ini.


Keesokan harinya aku kembali ke rumah sakit tanpa sepengetahuan orang tua sepulang sekolah dengan alasan mengerjakan tugas kelompok. Aku terpaksa berbohong karena kalau mereka tahu akan salah paham. Bisa saja, mengira aku sakit jiwa.


Sebab, stigma masyarakat terhadap orang yang berobat ke psikiater adalah orang yang memiliki gangguan mental. Aku berobat ke sana dengan uang tabungan yang selama setahun ini sengaja aku kumpulkan kan untuk menyelesaikan persoalan penyakitku.


Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menemui dokter Salwa. 

“Selamat sore, Niskala. Sekarang kamu tenangkan pikiran kamu dulu. Kita akan mulai tahap hipnoterapi yang pertama yaitu pre-talk.”


“Baik, Kak. Sebelumnya terima kasih.”


Aku memanggilnya kakak supaya bisa lebih nyaman dan usia dokter Salwa juga masih muda.

Dokter Salwa tersenyum tipis. “Sama-sama. Apa yang  selama ini membuat kamu cemas?”


“Orang tua, keluarga, masalah pribadi. Takut tidak bisa sembuh dari penyakit ini.” Aku menjawabnya dengan tenang.


“Apa ada masalah di masa lalu yang seringkali mengintimidasimu? Selama ini bagaimana kamu mengatasinya?”


“Ada banyak. Aku hanya melakukan healing dengan baca buku dan melakukan apa yang aku sukai ....”


Aku menceritakan bagaimana aku melawan rasa sakit yang menyebabkan pusing, sulit tidur dan kehilangan fokus dll. Senang saat berhasil mengatasinya, tapi beberapa bulan setiap ada masalah, penyakit itu kembali kambuh.


“Sekarang  maafkan kekuranganmu, cukup marahnya, cukup stresnya, berdamailah dengan itu, temukan cara untuk mengatasinya. Bukan fokus ke permasalahannya.” 


Dokter Salwa memberikan kertas yang berisi afirmasi positif yang akan membantu dalam penyembuhan.


“Niskala kamu tahu nggak, pikiran negatif yang kamu cemaskan itu belum tentu akan terjadi.”


Dokter Salwa memberikan pengarahan secara perlahan supaya aku bisa memahaminya.

“Iya saya tahu, Kak. Rasanya itu sulit untuk dilakukan, bisikan negatif itu selalu membuat hatiku tidak bisa tenang.”


“Kamu pasti bila, Kala. Kakak tahu, lawan rasa takutmu. Buat sosok dia yang selama ini menyebarkan bisikan negatif untuk berdamai dengan dirimu. Ajak dia komunikasi. Untuk sekarang ucapkan afirmasi positif yang Kakak kasih.”


Dokter Salwa menunjukkan gambar lautan luas dengan hamparan pasir putih. “Liatlah lautan ini, ada gelombang, batu karang, nyiur yang bersama-sama keseimbangan agar tidak terpecah.”


“Iya Kak, hubungannya dengan aku apa, Kak?” Aku bertanya sambil menyerngitkan dahi.


“ Niskala, kehidupan itu seperti lautan kadang ada gelombang, tenang bisa pula kacau karena ada badai. Lihatlah apapun keadaannya laut akan tetap bertahan tidak peduli apapun yang harus dihadapi.” 


“Bener, Kak. Aku pasti bisa sembuh. Terima kasih atas bantuannya.” 


“Iya, kita lanjutkan dilain waktu cobalah ubah kata kecewa, benci, sakit, cemas menjadi negasinya dengan kata tidak dari kata asalnya. Setelah itu datang kembali ke sini untuk merasakan perubahan.”


Aku mengangguk dan berpamitan dengan dokter Salwa.

 

Tiga bulan kemudian aku lagi bertemu dokter Salwa dan dia menyuruh untuk menghilangkan negasi tidak dari kata asalnya. Setelah itu aku kembali dengan perasaan lebih baik dari sebelumnya.


“Kak Salwa, Niskala sekarang bahagia, senang, tenang dan bisa berdamai dengan keadaan.”

Senyuman terbit di bibirku tanpa aku sadari. “Lihatlah Niskala kamu akan segera sembuh. Kamu tinggal mengikuti tahapan hipnoterapi setelah itu kamu akan benar-benar terlepas dari anxiety.”


“Alhamdulillah, aku nggak nyangka bisa sampai tahap ini. Aku yakin sebelum aku lulus SMA aku pasti sembuh dari anxiety dan bisa menjadi psikolog biar bisa menyembuhkan orang lain kayak Kakak.”


“Amiin. Tetap semangat. Kakak hanya perantara, kamulah yang berhasil menang dari rasa takutmu.”


Hari-hari selanjutnya tidak semenakutkan dulu, kini aku bisa terlepas dari jeratan trauma masa lalu yang menjadi penyebab aku mengidap penyakit kecemasan.


Aku mengabadikan perjuanganku dalam sebuah buku pengembangan diri berjudul “I Have Anxiety” sebagai apresiasi dan aku harap kisahku bisa bermanfaat bagi orang lain. (05)

__________

Zulfa Wafirotul Khusna, lahir di Jepara, 6 Agustus 2005. Menulis adalah menuangkan segala perasaan dan pikiran. Penulis 35 buku antologi dan 1 naskah solo berjudul “Zii untuk Zio.” Saat ini, penulis berdomisili di kota Jepara. Ia bisa dihubungi lewat media insagram @zuna_wa atau email khusnazulfa88@gmail.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar