Mengurai Benang Kusut Potensi Money Politic Pemilu 2024 - Soeara Moeria

Breaking

Kamis, 06 Juli 2023

Mengurai Benang Kusut Potensi Money Politic Pemilu 2024

Ilustrasi : money politic. (Foto: Bawaslu Jambi)

Oleh: Siti Nuryani, Pendidik SMP Ikhlas Ibtida’ Langon Tahunan Jepara


Kualitas hasil berdemokrasi mutlak ditentukan oleh seluruh proses dan elemen dalam pemilihan umum. Semakin tinggi atau kritis nilainya akan berpengaruh pada tingkat legitimasi dan standing positioning sebuah kepemimpinan. Realitas menunjukan terdapat banyak potensi praktik-praktik ‘kotor’ yang berakibat pada penurunan kualitas pemilu, khususnya yang disebabkan oleh politik uang. Permasalahan politik uang ini telah banyak dikaji oleh peneliti sebelumnya, namun terdapat ruang kosong dalam penanganan politik uang yaitu penanganan tidak cukup melalui penguatan kelembagaan tetapi juga melalui political will dan political action dengan membandingkan penanganan politik uang yang telah dilakukan oleh negara-negara luar dan disesuaikan dengan keadaan pemilu di Indonesia terutama kondisi lokal.


Akar pokok permasalahan munculnya politik uang adalah kandidat dan masyarakat yang memiliki perilaku kapitalis didasarkan pada untung dan rugi secara ekonomi. Sementara celah hukum, pengawasan yang lemah dan sistem pemilu proporsional membuka peluang berkembangnya politik uang. Pencegahan politik uang dapat dilakukan secara sistemik dan simultan melalui efektivitas fungsi suprastruktur dan infrastruktur politik, pembenahan sistem politik, budaya politik, pendidikan moral dan politik masyarakat dengan strategi jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Pencegahan dapat juga dilakukan melalui modifikasi sistem pemilu campuran sehingga meningkatkan hubungan antar pemilih dan wakilnya yang tidak terputus pasca pemilu pada akhirnya akan meminimalisir politik uang dan menekan jumlah caleg instan menjelang pemilu.


Pada pelaksanaan Pemilu tahun 2019 lampau, Burhanuddin melakukan riset yang hasilnya cukup mengkhawatirkan. Yaitu jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia, dengan kata lain politik uang telah menjadi praktik normal baru dalam Pemilu Indonesia. 


Hal ini sejalan dengan temuan Bawaslu dan berbagai lembaga survei terdapat kasus politik uang yang terjadi pada Pemilu serentak tahun 2019 antara lain, Pertama 12 kasus dugaan politik uang yang terjadi pada masa tenang tanggal 14 sampai dengan 16 April 2019 dan pada hari pencoblosan yaitu 1 kasus Kabupaten Ciamis, 1 kasus Kabupaten Kuningan, 4 kasus terjadi di Kabupaten Pangandaran, 1 kasus di Kota Bandung, 1 kasus di Kabupaten Indramayu, dan 4 kasus di Kabupaten Garut. Kedua, menurut hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan survei tentang Pemilu 2019 dan Demokrasi di Indonesia, menyatakan bahwa terdapat 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, dan 46,7 persen menganggap politik uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi.


Politik uang atau money politic terjadi dalam proses demokrasi tersebab kehendak untuk memperoleh simpati pemilih demi kekuasaan, yang oleh kandidat kemudian mempraktikkan transaksional politik di semua tahapan pemilu, mulai dari sebelum pemilihan kemudian pada saat penghitungan suara hingga pasca penyelenggaraan pemilu. Lemahnya pengawasan serta regulasi hukum yang belum sempurna menyumbangkan sederet alasan terjadinya money politic, oleh penyelenggara pemilu ataupun para konstituen pemegang hak suara, (Jensen dkk, 2013). Hal itulah yang menjadi dasar untuk dicari solusi praksis guna mencegah terulangka kembali praktik “kotor” dalam pemilu 2024, tentunya dengan tetap memperhatikan budaya lokal masyarakat hingga menemukan kontra strategi untuk pemberantasan politik uang, sehingga cita-cita mulia akan terlaksananya Pemilihan Umum yang jujur dan adil (Jurdil) bukan hanya utopies belaka.


‘Dosa Besar’ Sistem dan Regulasi Pemilu

Sebagaimana tersebutkan dalam pemaparan singkat di atas, bahwa potensi besar praktik kotor money politic bukan sesuatu yang hadir dalam ruang hampa, komplektisitas faktor penyebab munculnya transaksional berbasis kapital tumbuh subur karena berbagai “dosa besar” kebijakan, diantaranya adalah sebagai berikut:


Sistem pemilu Proporsional Daftar Terbuka Menempatkan Calon Pada Ketidakpastian Atas Keterpilihannya. Hal ini mendorong calon untuk melakukan penguatan elektabilitas secara instan melalui politik uang. Selain itu, karakter pemilih yang kian pragmatis dan tidak tegas dalam menolak pemberian uang ataupun wujud materi lainnya, yang membuat calon atau tim pemenangan calon makin leluasa mempengaruhi independensi pemilih melalui strategi yang berbau transaksional dan praktik politik uang.


Pemberian Uang Luput Dari Kasus Money Politic. Praktik pemberian uang dengan dalih pengganti transportasi jelas mengarah pada politik uang namun pembuktian hukumnya terkendala oleh konteks kejadian dan makna politik uang itu sendiri. Jika pemberian didalihkan sebagai ganti transporasi dan pada saat kejadian pembagian, sang calon tidak menyinggung visi, misi, dan tidak mengadakan ajakan untuk memilih dirinya, maka konteks pembagian transportasi sulit didakwakan sebagai politik uang. Situasinya demikian menyebabkan langkah penegakan hukum terpadu (Gakumdu) yang dilakukan bersama antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan, sulit dilakukan karena kendala pembuktian hukum dari makna politik uang. Kendala lain adalah sulitnya Badan Pengawas Pemilu menghadirkan saksi.


Selain Pelaksana Kampanye Pasti Lolos Jerat Hukum. Pelaksana kampanye Pemilu adalah pengurus partai politik, calon anggota legislatif, juru kampanye Pemilu (mewakili partai/ calon), perorangan dan organisasi yang ditunjuk partai politik. Jadi secara normatif, pelaksana kampanye inilah yang melakukan kampanye kepada peserta kampanye (masyarakat). Namun ketentuan ini tidak dapat digunakan menindak pelaku politik uang jika praktik politik uang dilakukan seseorang yang tidak terkait dengan pelaksana kampanye yaitu partai politik atau calon anggota legislatif. Keterbatasan norma hukum ini menyebabkan praktik politik uang marak terjadi pada masa sebelum pencoblosan dimana praktik politik uang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mungkin dijerat oleh pasal mengenai politik uang.


Regulasi Pemilu Tidak Menyentuh Pada Penerima Politik Uang. Undang-Undang Pemilu hanya mengatur larangan praktik politik uang kepada pemberi atau orang yang menjanjikan, sementara penerima tidak diatur secra tegas. Pada Pasal 228 UU Pemilu mensyaratkan adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sebagai landasan penerapan sanksi administrasi ke pada partai politik yang menerapkan mahar politik pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Selain itu Undang-Undang Pemilu tidak mengatur tentang sanksi pidana terkait mahar politik. Hal ini mengindikasikan bahwa pembahasan dan penetapan peraturan perundang-undangan kental akan kepentingan politik.


Presidential Treshold ‘Biang Kerok’ Money Politic. Penetapan presidential treshold (ambang batas) yang mengakibatkan kecendrungan partai politik melakukan negosiasi dan mengarah kepada mahar politik. Presidential threshold akan menciptakan oligarki politik. Hal ini sejalan dengan pendapat Marli (2018), yang menyatakan bahwa syarat pencalonan harusnya lebih mudah dan terbuka karena akan ada lebih banyak calon alternatif sehingga dimungkinkan adanya muncul tokoh baru dan bisa menekan mahar pencalonan, pembatasan hak warga negara juga dapat dapat dilihat dari pembatasan dalam pencalonan. Semakin sulitnya pemenuhan batas minimal berbuntut pada ‘menghalalkan’ seribu cara, serta memantik kemudahan pencapaian target suara dengan instan berupa kapitalisasi pemilih.


Potensi Praktik Money Politic

Tahap Pendataan Pemilih. Potensi pelanggaran politik uang dalam tahapan ini adalah pelanggaran penipuan/kesalahan disengaja untuk mobilisasi suara ke kandidat tertentu. Menurut (Marli, 2018) masalah pendataan pemilih ini erat kaitannya dengan sumber daya manusia dilapangan yang kurang teliti dan sistem e-ktp yang harus diakui masih banyak kelemahan. Dari sisi penyelenggara, ketidakprofesionalitasan ini ditandai dengan tidak ada problem solving dalam kasus yang ditemui. Peningkatkan keakuratan data pemilih dapat dilakukan melalui pembangunan sebuah sistem data pemilih yang terintegrasi dengan catatan sipil, Kemendagri dan lembaga lain yang memiliki data kependudukan, sehingga perubahan yang terjadi di lapangan bisa langsung diketahui dan dirubah di sistem. Sesuai dengan penelitian Perludem bahwa diperlukan adanya konsolidasi data kependudukan yang sepenuhnya dikelola oleh KPU dan berkolaborasi dengan kemendagri dan lembaga lain yang memiliki data kependudukan (Khairunnisa Agustyati, 2016).


Pendaftaran Calon. Dalam proses pendaftaran calon ini, dikatakan berintegritas jika bebas dari diskriminasi dan kesetaraan. Terdapat beberapa permasalahan pendaftaran calon yang mengurangi integritas pemilu antara lain banyaknya kasus mahar politik dalam proses pencalonan oleh partai politik. Pencegahan mahar politik dan politik uang dapat dilakukan secara sistemik dan simultan, peran KPU disini adalah ikut melakukan sosialisasi dampak buruk mahar politik dan politik uang dan meningkatkan Efektifitas Pemantau dan Pengawas Pemilu. 


Media dalam Kampanye. Media lokal ataupun nasional masih jauh dari prinsip ideal. Beberapa hal yang dicatat oleh Marli (2018) bahwa media wartawan menerima imbalan dari berita yang dibuatnya, maraknya politik uang terdistribusi dengan efektif ke pers, media elektronik, dan yang paling berpengaruh secara signifikan adalah media televisi. Tidak adanya batasan jelas antara advertorial dengan berita atau reportase yang merugikan masyarakat serta ada nya keberpihakan media terhadap salah satu calon. Kecenderungan keberpihakan ini salah satunya dilihat dari indikasi berita yang dimuat atau tidak dimuat dalam medianya. Berita-berita yang dimuat umumnya hanya berita seromonial yang hanya bersifat kampanye dan branding. Berita yang tidak dimuat dapat berupa kasus-kasus dimana publik perlu tahu tetapi tidak terlalu diberitakan karena akan merugikan kandidatnya.


Kampanye. Politik uang paling banyak ditemukan pada saat kampanye, berbagai macam jenis politik uang yang terselubung seakan tidak dapat terbendung karena semakin kreatifnya pelaku untuk menjalankan aksi vote buying ataupun dana kampanye yang “mengikat” (abusive donation). 


Pemungutan Suara. Pemungutan suara rentan terhadap pelanggaran politik uang. Pelanggaran tersebut seperti vote buying/pembelian suara dan serangan fajar. Permasalahan yang lain yang menjadi catatan dalam pemungutan suara ini adalah kurangnya pilihan/kandidat yang berkualitas yang ditawarkan kepada pemilih. Hal ini erat kaitannya dengan kurangnya kaderisasi di partai politik, partai politik tidak menyiapkan calon yang berkualitas dan sentralistiknya penentuan calon yang akan diusung oleh partai politik, sehingga calon yang diusung bukan merupakan kandidat yang merupakan aspirasi dari masyarakat di daerah. 


Penghitungan Suara. Politik uang terjadi antara calon tertentu dengan penyelenggara. Namun, Undang-undang pemilu tidak mengatur politik uang dalam rekapitulasi suara. Pembuktian sendiri sulit dilakukan karena kerahasiaan pilihan suara pemilih dijamin oleh konstitusi. Sehingga perlu indikator kualitas Pemilu diatas dengan pengawasan dan hukum yang tidak memihak, tegas dan jelas. Dari berbagai analisis di setiap tahapan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat tahapan yang rentan dalam kecurangan terutama politik uang (Utari, 2016), yaitu sebagai berikut: Tahapan Penjaringan Calon Tahap ini menjadi tahapan paling rawan terjadi politik uang dan mahar politik. Kelemahan tahapan ini: monopoli partai politik sebagai penyokong kandidat presiden yang dicalonkan. Karena kandidat presiden bisa dicalonkan kalau memiliki ambang batas 25%, menyebabkan politik uang dan mahar politik. Menurut Ari Dwipayana, dengan memakai jasa partai setiap calon kepala daerah mengeluarkan dana minimal 7-8 miliar rupiah (Dwipayana, 2005). Sehingga munculah transaksional politik yang melibatkan calon, partai politik dan stakeholder. 


Political Will dan Political Action

Aturan Hukum Berupa Sanksi Pidana dan Administratif. Aturan hukum harus direvisi untuk memperjelas sanksi hukum dan sanksi administrasi jika terjadi pelanggaran mengenai mahar politik ataupun politik uang. Aturan ini juga harus lebih mempermudah pengawas untuk membuat alat bukti. Sesuai teori Von Feurbach, kriminalisasi yang disertai ancaman hukuman yang berat memberikan efek psikologis yang mencegah seseorang melakukan kejahatan serupa.


Meningkatkan Kapasitas dan Efektifitas Lembaga. Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat harus membuat aturan terkait yang jelas sanksi atas pelanggaran. Memberikan sanksi yang jelas, tegas dan tidak pandang bulu bagi pelaku politik uang dan mahar politik. 


Kedua, Lembaga Yudikatif, menetapkan efektivitas penerapan hukum melalui peningkatan keterpaduan kerja antar penegak hukum, peningkatan kemampuan kerja antar aparat penegak hukum, peningkatan kemampuan penguasaan hukum, keterampilan yuridis, peningkatan integritas moral, profesionalisme, sarana dan prasarana yang diperlukan. Melaksanakan eksekusi hukuman secara efektif melalui pengawasan oleh pengadilan. 


Ketiga, Meningkatkan efektivitas fungsi pers. Mengembalikan peran pers sebagai media yang memuat informasi yang benar, akurat dan seimbang yang tidak memihak dan mengkritisi setiap temuan politik uang dan mahar politik sehingga informasi yang ada dilapangan bisa cepat diketahui.


Keempat, Meningkatkan peran Universitas dalam pendidikan politik. Universitas bisa menjadi sarana untuk pendidikan moral dan politik, sehingga masyarakat bisa membangun ideologi yang tepat, tidak terpengaruh dengan mahar politik dan politik uang. Selain itu, perlu adanya penyempurnaan sistem pendidikan profesi dengan memprioritaskan kurikulum yang menunjang penguasaan materi hukum dan keterampilan teknis yuridis, peningkatan integritas moral, peningkatan prfoseionalisme, serta menunjang komitmen dan disiplin. 


Kelima, Peningkatan Peran Organisasi Masyarakat (NGO), Masyarakat Sipil Pemerhati Pemilu. Masyarakat sipil dan organisasi berfungsi sebagai pengawas Pemilu dan mengkritisi pemerintah, sehingga keganjalan yang terjadi di lapangan dapat dilaporkan oleh masyarakat sipil. Selain itu masyarakat sipil perlu dibentuk persepsinya sehingga memiliki ideologi pancasila, memiliki integritas, kejujuran sehingga tidak tertarik dengan politik uang. 


Keenam, Peningkatan Kompetensi Peserta Pemilu melalui kaderisasi partai politik. Membangun ideologi, visi, misi dan program kerja yang jelas, terukur dan dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat. Membangun integritas dan moral dengan melaksanakan kode etik dan pengawasan internal secara berkesinambungan. 


Ketujuh, Peningkatan efektivitas peran partai politik, memiliki standar baku (SOP atau peraturan) sistem kaderisasi ketua dan anggota Parpol, penilaian jelas dan terukur dalam perekrutan anggota parpol, perekrutan dilakukan secara berkesinambungan dan berjenjang. Perekrutan anggota transparan dan informasi dapat diakses oleh umum (rekrutmen politik terbuka). 


Menurut Fadli (2018), pendidikan masyarakat harus ditingkatkan melalui pendidikan politik yang diberikan oleh Partai Politik ataupun Penyelenggara Pemilu melalui sosialisasi tahapan Pemilu. Masyarakat yang cerdas dapat dicirikan sebagai masyarakat yang melek politik, yang mengetahui tentang situasi politik, tahapan pemilu serta mengetahui program kerja, visi misi kandidat ataupun partai politik, serta rekam jejak mereka. Di lain sisi, aktor politik di sini juga harus diberikan sosialisasi ataupun pendidikan untuk menyadarkan bahwa kemenangan Pemilu hanyalah 10 sampai 15 persen saja yang dipengaruhi oleh money politic sesuai dengan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Psikologi aktor politik yang selalu berpikir para penantangnya akan melakukan hal serupa, sehingga tidak percaya diri dengan apa yang mereka tawarkan. 


Kedelapan, Peningkatan efektivitas lembaga pengawasan internal (inspektorat), pengawasan eksternal (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Ketiga lembaga ini berperan dalam mengendalikan proses tahapan pemilu agar sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Politik uang dan mahar politik akan dicatat sebagai pelanggaran oleh Bawaslu dengan bukti yang jelas dan akan ditindaklanjuti oleh lembaga wewenang kepolisian dan kejaksaan jika terjadi tindak pidana. Sedangkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menangani pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu jika terbukti sebagai penerima suap politik uang sehingga menghilangkan integritas dan kode etik penyelenggara. 


Kesembilan, Meningkatkan integritas dan kompetensi lembaga penyelenggara Pemilu, dengan cara menyusun peraturan teknis, penetapan keputusan strategis, pelaksanaan tahapan pemilu, dan pilkada sesuai aturan dan kode etik yang berlaku. Rekrutmen penyelenggara pemilu harus transparan dan mengutamakan independensi, integritas, kompetensi dan keahlian.


Persoalan politik uang perlu dianalisis untuk mendapatkan strategi efektif dalam pencegahannya. Politik uang tidak sesuai dengan prinsip teori demokrasi yang menuntut adanya kebebasan dan keadilan. Pemilu dikatakan adil apabila semua masyarakat memiliki hak yang sama untuk memilih pemimpin dengan cara yang tidak melanggar aturan. 


Politik uang dan mahar politik ampuh dalam memengaruhi perilaku pemilih. Sesuai dengan teori perilaku pemilih bahwa pemilih yang cenderung rasional akan menimbang untung dan ruginya. Persepsi rasional di sini lebih cenderung negatif karena mementingkan keuntungan pribadi secara ekonomi di atas kepentingan negara sehingga munculnya krisis budaya politik, krisis integritas, dan kepercayaan hukum. Pencegahan politik uang dapat dilakukan secara sistemik dan simultan melalui efektifitas fungsi suprastruktur dan infrastruktur politik, pembenahan sistem politik, budaya politik, pendidikan moral dan politik masyarakat. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar