Kembali ke Proporsional Tertutup adalah Kemunduran Demokrasi - Soeara Moeria

Breaking

Jumat, 27 Januari 2023

Kembali ke Proporsional Tertutup adalah Kemunduran Demokrasi

Najihul Himam. (dok. pribadi)

Oleh : Najihul Himam, peminat kajian politik kebangsaan, tinggal di Jepara


Pelaksanaan pemilu merupakan salah satu indikator jalannya demokrasi sebuah negara. Pemilu yang berjalan baik menunjukkan tingkat kedewasaan masyarakat dalam pelaksanaan demokrasi yang partisipatif. Salah satu sistem dalam pemilu adalah proporsional yang terbagi menjadi dua (terbuka dan tertutup).


Indonesia sebagai negara demokrasi pernah menggunakan sistem proporsional tertutup pada pemilu 1955, pemilu era orde baru dan pemilu tahun 1999, kemudian amanah reformasi menghendaki perubahan sistem pemilu menjadi proporsional terbuka pada pemilu 2004 sampai saat ini.


Ketentuan mengenai sistem pemilu legislatif diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, di pasal 168 Ayat (2) "Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka".


Wacana sistem proporsional tertutup pada pemilu 2024 yang tengah bergulir MK adalah sebuah kemunduran demokrasi di Indonesia, wacana tersebut melukai dan menodai arah jalur reformasi, karena sistem proporsional terbuka merupakan salah satu amanah penting dari reformasi.


Menggunakan sistem proporsional tertutup sama saja kembali mundur ke era orde baru, hanya menciptakan dan semakin menumbuhkan oligarki di tubuh partai politik karena hanya menguntungkan calon legislatif yang mendapat nomor kecil atau nomor jadi. 


Sistem proporsional tertutup juga akan menyuburkan KKN di dalam partai politik, karena para elit parpol akan lebih memilih keluarga, kerabat, kolega untuk duduk dalam pencalonan sehingga menjadikan masyarakat semakin antipati terhadap partai politik.


Bagi masyarakat, memilih calon wakil rakyat yang tidak tertera nama maupun foto (hanya gambar partai) seperti membeli kucing dalam karung, tidak tau siapa orangnya, bentuknya, apalagi ide dan pemikirannya, karena yang menentukan adalah elit partai. Sehingga menimbulkan jarak yang semakin jauh antara parpol dan masyarakat. 


Proporsional tertutup hanya menguntungkan caleg nomor urut terkecil, menjadikan kader partai yang hanya mementingkan kepentingan partai politik tidak penting lagi mencari simpati rakyat atau pemilih. Menghasilkan para politisi yang duduk di parlemen DPR maupun DPRD tidak dekat kepada rakyatnya, tidak penting lagi membangun basis massa, cukup membangun hubungan yang baik (cari muka) kepada elit-elit partai.


Menurut sebagian kalangan, kelebihan proporsional tertutup adalah desain kertas suara lebih simpel dan sama di semua daerah karena hanya memuat gambar partai, dalam penghitungan suara juga tidak rumit karena hanya menghitung suara partai dan berbiaya lebih murah dalam pengadaan desain surat suara. 


Namun kelebihan teknis tersebut tersebut tidak sebanding dengan kemunduran demokrasi yang harus dialami negara kita dengan menghilangkan hak rakyat untuk memilih calon wakilnya di legislatif secara langsung.


Sarat politik uang?

Alasan lain yang diutarakan karena sistem proporsional terbuka selain membutuhkan biaya besar juga sarat praktik money politic untuk mendapatkan suara dari masyarakat. 


Padahal politik uang lebih bersifat kultur atau budaya di masyarakat, dengan merubah sistem dari proporsional terbuka ke tertutup bukan menghilangkan money politic tapi hanya memindahkan politik uang dari individu ke elit-elit partai politik guna mendapat nomor urut terkecil, karena penentu kebijakan (memberi nomor urut) adalah ranah privat partai politik, masyarakat tidak bisa menjangkaunya dan tentu akan sulit terungkap.


Saat ini sistem proporsional terbuka adalah yang paling cocok diterapkan di Indonesia, karena para calon legislatif diperlakukan sama atau seimbang, nomor 1 dan nomor 7 mempunyai gairah politik yang sama untuk mendekati konstituen, dan sama-sama punya kans untuk duduk di parlemen. 


Seharusnya sistem pemilu kita lebih maju bukan malah mundur ke belakang, Proporsional terbuka untuk memilih anggota DPR atau DPRD dan Distrik berwakil banyak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudah sesuai jalurnya. Yang diperlukan saat ini adalah dengan lebih memberikan penguatan kelembagaan kepada DPD supaya menjadi seimbang dengan DPR. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar