Arti Sebuah Nama - Soeara Moeria

Breaking

Kamis, 02 Desember 2021

Arti Sebuah Nama

Ilustrasi : namabeauty.co













Cerpen : Ramli Lahaping


Mario yang masih kelas II SD, pulang dari sekolah dengan wajah muram. Ia lantas masuk ke dalam rumahnya tanpa memberi salam. Ia lalu membuang tasnya di atas meja, dan mengempas tubuhnya di atas sofa. Ia memberengut saja, tanpa melontarkan kata-kata.


“Ada apa, Nak? Kamu kok murung begitu?” tanya Rioding, ayahnya, dengan nada lembut.


Tetapi Mario bergeming saja, dan tak tergerak untuk membuka mulut.


“Berceritalah, Nak. Kau ada masalah di sekolah? Kau berantem dengan teman-temanmu?” selisik Rioding lagi.


Tiba-tiba, Mario menangis.


Sontak, Rioding memeluk sang anak. “Kenapa, Nak? Ceritakanlah kepadaku.”


“Teman-temanku, Ayah. Mereka mengejekku. Mereka memanggilku dengan nama Maria,” terang Mario.


Rioding pun mendengkus prihatin. “Tetapi, kan, namamu Mario, Nak, bukan Maria.”


“Iya, Ayah. Tetapi mereka memang sengaja mempelesetkan namaku menjadi Maria, seolah-olah aku adalah seorang perempuan,” segah Mario, sambil terus menangis.


“Sabar, Nak. Teman-temanmu itu hanya usil,” tanggap Rioding, lantas mengelus-elus lengan sang anak. 


“Aku sudah sabar, Ayah. Tetapi mereka terus saja mengejekku, hingga aku jadi tak tahan lagi,”  kesal Mario, dengan nada memprotes.


“Itu berarti, kau belum bersabar, Nak. Sabar itu tidak ada batasnya,” balas Rioding, sambil mengusap-usap kepala sang anak. “Besok-besok, kalau mereka melakukannya lagi, kau tak perlu menghiraukannya. Kalau kau cuek, lama-lama, mereka juga tidak akan tertarik lagi mengolok-olok namamu.”


Perlahan-lahan, kemarahan Mario pun mereda.


Rioding lantas menyambung pesannya, “Supaya kau bisa bersabar, camkanlah selalu bahwa namamu adalah Mario, bukan Maria. Jadi kalau mereka memanggilmu Maria, kau tak usah peduli, sebab itu memang bukan namamu.”


Mario tampak semakin tenang. Tangisannya telah berubah menjadi isakan-isakan kecil.


Rioding lalu mencoba membesarkan hati sang anak, “Namamu itu, nama yang indah, Nak. Kau pun sudah tahu kalau Mario itu artinya senang. Makanya, kau jangan murung begini. Kalau kau murung, itu sama saja kau menghina namamu sendiri,” terangnya lagi, lantas menepuk-nepuk punggung sang anak. “Jadi, mulai sekarang, kau harus selalu ceria, sebagaimana namamu. Ya?”

Seketika, Mario mengangguk.


Tak pelak, Rioding merasa tenang. “Nah, sekarang, kau bergegaslah mengganti pakaianmu, lalu makan.”


Mario kembali mengangguk, kemudian beranjak ke dalam kamarnya.


Rioding lantas menghela dan mengembuskan napas yang panjang. Ia paham betul perasaan anaknya, sebab dahulu, semasa sekolah, ia pun merasakan kalau persoalan nama menjadi perkara yang sangat sensitif. Ia bahkan pernah menangis dan berkelahi karena namanya, Rioding, atau nama ayah dan ibunya, Pading dan Sure, senantiasa dipelesetkan dan diolok-olok oleh teman-temannya.


Namun perkara anaknya, membuat Rioding sedikit kelimpungan. Pasalnya, sedari dahulu, ia yakin kalau nama anaknya itu akan bebas dari pelecehan. Itu karena menurutnya, nama Mario adalah nama yang bagus. Sebuah nama yang terdengar indah dan memiliki arti yang baik. Bahkan atas nama itu, ia merasa namanya harum ketika orang-orang menyapanya dengan nama Bapak Mario ketimbang dengan nama aslinya yang tidak memiliki arti dan terdengar kuno.


Tetapi nama anaknya itu, sebenarnya bukanlah temuannya, melainkan temuan istrinya, Marlina. Dahulu, ia dan istrinya sempat berdiskusi panjang perihal nama untuk anak mereka. Ia pun mengusulkan beberapa rancangan nama, namun istrinya selalu saja menolak. Ia seakan-akan memang tidak punya bakat untuk membuat nama yang baik, sebagaimana orang tuanya yang telah memberi nama yang buruk untuknya.


Sampai akhirnya, pada satu hari, istrinya pun mengusulkan dan menekankan agar anak mereka diberi nama Mario. Alasannya, nama tersebut terdengar modern dan jauh dari kesan nama orang kampung yang terdengar kuno dan asal-asalan. Terlebih lagi, dalam bahasa daerah mereka, bahasa daerah Enrekang, Mario artinya senang. Dengan begitu, nama Mario telah memenuhi dua kriteria dalam perkara nama, yaitu baik dalam pelafalannya dan baik dalam artinya.


Tetapi dua alasan itu tak lebih menggugah perasaannya ketimbang satu alasan terakhir, bahwa secara ajaib, nama Mario merupakan gabungan suku kata pertama dari nama mereka, yaitu “Ma” dari Marlina, dan “Rio” dari Rioding. Karena itulah, ia menerima usulan istrinya dengan sepenuh hati. Ia bahkan merasa bahwa nama Mario adalah nama yang sempurna, sehingga ia dan istrinya, ataupun anaknya sendiri, tidak akan pernah menyesalinya.


Hingga akhirnya, saat ini, di depan layar televisi yang menyala, ia pun kembali mengkhidmati dan mengagumi nama anaknya tersebut. 


Sesaat kemudian, Marlina, istrinya, datang selepas mencuci dan menjemur pakaian di halaman samping rumah. “Ada apa dengan Mario, Pak? Tadi aku dengar-dengar ia marah dan menangis,” tanyanya, lantas duduk di samping sang suami.  


Rioding pun mendengkus dan tersenyum simpul, seolah menyepelekan perkara sang anak. “Biasalah, anak-anak. Ia kesal karena teman-temannya mempelesetkan dan mengolok-olok namanya menjadi Maria. Tetapi aku sudah memberikan pemahaman kepadanya, dan ia sudah tenang.”


“Oh,” tanggap Marlina, dengan nada panjang, seolah turut mengentengkan perkara tersebut.


Rioding lantas merangkul sang istri. “Untunglah, dahulu, kau telah memberikan nama yang sempurna untuk anak kita, sehingga aku hanya perlu mengungkapkan kebaikan nama itu untuk membuatnya bangga atas namanya sendiri.” Ia lantas mengecup pipi sang istri. “Kau memang pandai memberi nama.”


Marlina pun tersenyum senang atas pujian sang suami. “Terima kasih, Pak.”


Rioding lantas mengusap-usap perut sang istri yang tengah mengandung bakal anak mereka. “Nah, nanti, kalau anak kedua kita lahir, aku tak ingin lagi berdiskusi atau berdebat denganmu soal namanya. Aku akan memasrahkan sepenuhnya kepadamu.”


“Asal Bapak menyetujuinya juga,” balas Marlina, lantas menggenggam tangan sang suami.


Seketika pula, Rioding mendengkus senang mendengar penghormatan sang istri.


Pada waktu kemudian, mereka pun fokus menatap layar televisi yang menayangkan sebuah film tentang perselingkuhan, pertengkaran, dan perceraian di dalam sebuah rumah tangga. Untuk beberapa lama, mereka larut saja menyaksikan tayangan tersebut, seolah-olah mereka sedang mencermati sebuah contoh yang buruk dalam hubungan suami-istri.


Sesaat berselang, di tengah kemasyukan mereka, Mario akhirnya datang dan duduk di tengah-tengah mereka. Seperti biasa, Mario pun merengek untuk menonton film kartun favoritnya. Maka mau tak mau, demi menyenangkan anak kesayangan dan kebanggaan mereka, Marlina dan Rioding pun terpaksa mengalah.


Sampai akhirnya, di sela-sela kebersamaan mereka, Marlina kembali menatap wajah Mario lekat-lekat. Perlahan-lahan, ia pun kembali menerka satu wajah pada wajah anaknya itu. Wajah seorang lelaki yang merupakan mantan kekasih terakhirnya dahulu, ketika ia masih berada di tanah rantau, di pulau seberang. Seorang lelaki bernama Mario, yang meninggal karena kecelakaan sepeda motor, setelah menanamkan bakal anak di rahimnya.


Di tengah duka hatinya waktu itu, Marlina pun kembali ke kampung halamannya, di sini, dalam keadaan hamil. Tetapi dalam sekejap waktu, ia berhasil menggaet hati Rioding, seorang bujang tua, untuk menikah dengannya.


Akhirnya, kini, Marlina merangkul Mario dengan segenap rahasianya. Seketika pula, Rioding turut merangkul anak itu atas ketidaktahuannya. Hingga akhirnya, mereka tampak seperti satu keluarga yang sempurna. (*)


Ramli Lahaping. Lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar