Ujung dari Konferensi - Soeara Moeria

Breaking

Sabtu, 20 November 2021

Ujung dari Konferensi

Konfercab ke 32 PCNU di Ponpes Balekambang Jepara. 

Konferensi Cabang (Konfercab) ke 32 Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Jepara telah usai digelar 15 November 2021 di Pondok Pesantren Roudlotul Mubtadi'in Balekambang Nalumsari Jepara. 


Banyak cerita dan suasana di arena Konfercab. Saya mulai cerita suasana yang pertama. Ruang utama di lantai 3. Hal ini ada kesamaan dengan Gedung NU Jepara yang memiliki 3 lantai. Yang menjadi puncak tertinggi pada bangunan tersebut. Artinya bahwa sebelum kita naik, akan ada perjuangan tertentu untuk mencapai titik tertinggi itu. Minimal menaiki ratusan anak tangga untuk mencapai bangunan 3 lantai tersebut. 


Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi kebangkitan Ulama, memiliki kedudukan yang tinggi. Kita lebih mengetahui kalau organisasi NU merupakan tempat para Habaib, Kiai, Gus, Ustadz dan para sepuh lainnya untuk menjadi satu kesatuan,  dalam bingkaian Ukhuwah Islamiyah, Basyariyah, Wathoniyah dalam menjaga Aqidah Ahlussunah Wal Jamaah Annahdliyah. 


Kembali ke ruang utama lantai 3. Sedikit terengah-engah napas ini kalau harus bolak-balik lantai 1 Sampai 3, tapi dengan sedikit perjuangan pastinya akan sampai ke tempat tertinggi.  Ruang utama yang luas, kondusif dan tertib terkondisikan dengan baik menjadikan suasana sangat cair, tenang sesekali ada joke-joke segar yang dilontarkan oleh para kiai yang sedang berkumpul di arena konferensi.  


Kedua, arena jadi cair. Seperti diketahui, untuk memasuki arena Konfercab harus melalui proses screening yang ketat. Ada 3 tahap. Sebelum masuk, sudah discreening di lapangan. Dicek suhu, prokes dan lainnya. Screening kedua dipendaftaran lantai 1 yang harus menunjukkan berkas rekomendasi mandat dan seterusnya.  Screening ketiga sebelum memasuki ruang utama harus ber-id card dan ini akan dicek langsung oleh Protokoler Banser.  


Meskipun ketat dalam screening namun cair dalam suasana di arena. Dimulai dari sambutan Kiai Makmun, sebagai tuan rumah. Gojlok yah begitu saya menyebutnya, karena seorang kakak dengan adiknya.  Kiai Makmun yang mulai gojlok Kiai Hayatun, jadi riuh suasana di arena. Semua jadi ger-geran karena ada guyonan di situ.


Kedua, gojlokan tersebut sempat dibalas Kiai Hayatun,  namun Kiai Makmun izin keluar arena untuk keperluan takziyah. Sehingga akhirnya Kiai Hayatun gantian gojlok Rais Syuriyah, Kiai Ubaidillah. Yang secara garis keluarga juga masih kakaknya Kiai Hayatun.  Suasana jadi semakin cair lagi dengan guyonan ‘gasak'an’ khas Kiai Hayatun. Saling balas ‘gasak'an’ Kiai Ubaidillah pun juga gojlok Kiai Hayatun yang ingin meminta tongkatnya Mbah Ubaid, begitu sapaan beliau. 


Pada intinya, suasana dalam ruang utama sangat cair dan penuh keakraban, guyonan, gasak'an juga gojlokan yang menjadikan suasana jadi tidak seketat screening. 


Cerita Kiai Charis 

Setelah proses sidang pemilihan Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) yang dilakukan para Rais Syuriyah MWCNU Se Kabupaten Jepara, para Kiai diminta untuk keluar ruang sidang karena akan gantian untuk para Ketua Tanfidziyah MWCNU untuk Sidang Pemilihan Ketua Tanfidziyah PCNU Jepara.


Nampak Kiai Charis Rohman, keluar ruangan dan nampak terburu-buru. 


"Kang tulung gawakke" sambil menyodorkan Hp-nya ke saya. 


"Kudu nguyoh tuweerusss kok" sambil bergegas ke kamar kecil yang terletak di pojok. Seketika itu kebetulan saya duduk di samping Kang M. Abdalla Badri, sampai tertawa terbahak. 


"Meh ujian kitab taqrib sek kepoyoh-poyoh." 

Yah, begitu lah seorang santri sampai ngajak guyonan bahkan ‘Rodok wani’ gasak'i kiainya. Ya, sekali lagi untuk mencairkan suasana biar tidak begitu tegang sebelum proses pemilihan Ketua Tanfidziyah. 


Setelah mendengar Kiai Charis Rohman mutlak mendapatkan 15 suara, bergegas Kiai Charis menghampiri Kiai Ubaidillah yang sedang ‘pinarak’ di luar, seketika langsung bersalaman memeluk dan sempat meneteskan air mata tersedu-sedu,  suasana menjadi terharu, syahdu dan inilah akhlak adab yang ditunjukkan. Kiai Charis ‘sungkem’ kepada Kiai Ubaidillah sebagai bentuk meminta restu dan ridla Kiai kepada santri untuk menjalani amanah yang diberikan. 


Saya menjadi terharu. Inilah yang bisa menjadi pelajaran bagi kita.  Walaupun kita sebagai santri, sebagai yang lebih muda selayaknya tetap menaruh hormat kepada yang lebih sepuh. Sekali lagi, adab dan akhlak menjadi lebih indah dan utama. 


Doa fatihah seringkali kita dengar, ini khas dan cara NU. Kita lihat di ruang sidang, setiap seusai mengambil keputusan maka diakhiri dengan doa fatihah. Mulai sidang tatib, sidang komisi, Laporan Pertanggungjawaban,  sidang pemilihan AHWA,  sidang pemilihan Ketua Tanfidziyah semuanya diberkahi dengan doa fatihah. Ini salah satu tradisi yang melekat dan sampai hari ini menjadi sangat simpel dan tepat cepat.


Setelah doa Fatihah diakhiri dengan membaca Shalawat.  Para peserta sidang maupun yang hadir bersalaman dengan diiringi Shalawat Burdah, semuanya tampak bershalawat bersama. Suasana menjadi sangat sejuk, adem, tentrem dan tentunya melimpah Keberkahan dalam tiap langkahnya. 


Dari ujung konferensi ini semoga langkah dan cara ini tetap mendapatkan ridla ilahi, Gusti Allah ngeridhoni, Kanjeng Nabi Muhammad ngeridhoni para pendiri Jam'iyyah Nahdlatul Ulama yang "notabene" dicap para Wali juga ngeridhoni untuk terus menjaga dan melanjutkan tradisi, dunia sampai akhirat akan terus diberkahi.  Amin amin amin Ya Rabbal 'Alamin. (Muhammad Miqdad Sya'roni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar