Kabar Jelang Iduladha - Soeara Moeria

Breaking

Rabu, 14 Juli 2021

Kabar Jelang Iduladha

Ilustrasi : www.bing.com
Cerpen: Kartika Catur Pelita

    

Perempuan membawa perutnya serupa tambur melangkah ke dapur. Memeriksa masakan di rantang plastik bergambar hello kitty. Opor ayam, semur jengkol, dan sambel goreng ati yang dimasakannya sebelum Subuh. Ia harus bangun tengah malam meskipun dalam keadaan hamil. Sang suami menasihati agar lebih baik menjaga kehamilannya. Namun, ia bersikeras bahwa ia baik-baik saja. Sanggup mengolah menu kesukaan sang mertua. Baginya mertua merupakan orangtua kandung. Sejak kecil ia tak pernah merasakan belaian kasih sayang kedua orangtua. Bahkan tak pernah tahu siapa pengukir jiwa raganya. Ia bayi merah yang dibuang di teras rumah orang. Dibesarkan dalam rengkuh kasih sayang pengurus panti asuhan. 

     

Pada hari Minggu cerah ini. Lanang, pria tampan, dua puluh tujuh tahun, berkulit langsat, berambut cepak, berdada lapang, menghampiri istri tersayang. Perempuan menenteng rantang dan memberikan pada belahan jiwa. “Salam buat Ibu dan Bapak, Mas. Aku sebenarnya ingin ikut ke rumah Ibu.”

    

“Kamu sedang hamil tua, Sayang. Mas ke rumah Ibu karena ada kepentingan.”

    

“Iya. Naik motornya hati-hati, ya, Mas,” mengiringi sampai di teras tangsi. Melambaikan tangan. Motor dan sosok suami terkasih pun berlalu.

                                                                    ***

       

Perempuan tertatih membawa perut membuncit, hamil usia tujuh bulan. Memasuki kamarnya, hati-hati duduk di bibir ranjang berseperai motif bunga matahari. Meraih bingkai foto kayu. Mengelus gambar wajah tampan itu. Betapa ingin menangis ketika teringat percakapan semalam, saat mereka makan malam bertiga. 

    

“Berangkat ke Papua, Mas. Kapan?”

    

“Bulan depan. Dan aku tak bisa menolak. Aku mendapat tugas negara, Dik. Meskipun aku tahu dirimu sedang hamil tua.”

     

Ya, tentu saja, dirimu kan seorang tentara, Mas. Memegang Sumpah Prajurit. Memenuhi kewajiban sebagai prajurit, benteng negara. Harus siap berangkat tugas kapan pun diperlukan negara. Inilah konsekuensinya menjadi istri prajurit. 

     

“Aku, mengerti, Mas. Mas harus memenuhi tugas prajurit. Mas harus berangkat tugas.”

    

“Ya. Kamu di rumah kan ada adikmu yang menemani. Iya, kan, Ra?”

     

Dara tomboi berumur lima belas tahun, saudara sepanti asuhan-yang dianggapnya bagai adik kandung-mengangguk seperti burung pelatuk. Tersenyum tulus ceria. “Aku akan selalu membantu Mbak.”

    

“Tuh, adikmu siap sedia membantu kapan pun. Nanti juga aku minta Ibu agar                      menengokmu.”

       

Saat ini, setelah suami tercinta pergi, dan ia memasuki kamar, tengah memandangi foto suami tercinta, ketika Dara nyelonong ke kamarnya. “Ada apa sih Mbak mandangin foto Mas Lan?”

    

“Sebentar lagi Mas Lan tugas Papua. Dua bulan lagi aku melahirkan. Mungkin nanti aku melahirkan tanpa ditunggui.”

    

“Aku ngerti perasaan Mbak. Tapi enggak usah khawatir. Kan ada aku yang                      mendampingi. Kata Mas Lan, ibu juga akan ke sini tilik Mbak.”

     

“Apakah Ibu Mas Lan mau ke sini, Ra?”

     

“Entahlah, Mbak. InsyaAllah.”

      

Dua pasang mata berpandangan, berpikir masing-masing. Udara pagi nan teduh sudah luruh, tergantikan sinar bagaskara yang mulai menyengat, membakar.

                                                                        ***

      

Lanang duduk di hadapan perempuan yang rahimnya pernah disemayaminya selama sembilan bulan sepuluh hari. Bagai prajurit yang menghadap komandan galak, ia waswas. 

    

“Untuk apa kamu mendatangiku?”

    

“Aku…aku akan pergi tugas, Bu. Mohon doa restu.”

    

“Kemarin kamu sudah ngomong. Aku mendoakanmu selamat. Kau anak ibu.”

    

“Aku ke sini juga ingin minta tolong pada Ibu soal istriku.”

    

“Ada apa dengan dia?”

    

“Selama aku pergi nanti bisakah Ibu datang ke tangsi. Ibu tahu, istriku sedang hamil tua. Di rumah cuma ada Dara. Jika Ibu ada di sana tentu keadaan lebih baik.  Ibu bisa menemaninya, membantunya kalau ada apa-apa dengan kehamilan istriku.”

     

“Tak ada waktu! Ibu sibuk ngurus bapak dan adik-adikmu!”

     

“Tapi, Bu….” 

      

Pintu depan diketuk. Lanang membukakan pintu. Soleh, sang ayah baru pulang dari bekerja sebagai satpam pabrik kayu. “Ada apa, Lan? Wajahmu kelihatan sedih? Ada apa. Nak? Kau sehat, kan? Bagaimana kandungan istrimu?”

      

“Alhamdulillah, semuanya baik-baik saja, Yah. Aku ke sini minta tolong pada Ibu,  menjaga istriku.  Ayah tahu, kan, minggu depan aku tugas ke Papua.”

      

Lelaki  yang  rambutnya separuh beruban memandang lembut istri terkasih. ”Bu…mengapa sih tega menolak keinginannya?  Lan anak kita Bu.”

     

“Tapi istrinya itu bukan anakku!” keras kepala masih bertahta. Kebencian masih bersenyawa. “Dia orang lain yang kebetulan diurusi anakku. Ia kebetulan tengah mengandung benih anakku!”

     

“Ya terserah apa anggapanmu, Bu. Tapi bayi yang dikandungnya cucu kita. Cucu pertama kita. Katanya Ibu ingin segera menimang cucu. Kok gitu sih? Ibu ingin kan cucu pertama kita lahir selamat. Bu, nanti kalau cucu kita lahir, kita beri nama siapa? Namaku dan nama Ibu digabung, ya….”

     

“Aku mohon, Bu. Ibu sudi menolongku…” anak lelakinya hendak bersujud.

     

Perempuan sepuh, meskipun angkuh, masih memiliki hati. Luluh. Pada keluarga, suami dan buah hati. “Baiklah! Tapi camkan, aku mau melakukan hal ini demi calon cucu. Demi kamu, Lan! Bukan demi dia, menantu panti asuhan. Yatim piatu, miskin pula!”

                                                                  ***

     

Derum motor memasuki halaman rumah. Perempuan hamil menyambut kepulangan suaminya. Hari sudah malam. Sepulang dari rumah orangtuanya, ia tadi belanja  kebutuhan bulanan. Tak ingin merepotkan istri, dan adik ipar. Tak ingin menyusahkan pula Ibu yang bersedia menjaga istri tercinta.

    

“Mas. Bagaimana keadaan ibu dan bapak. Semua sehat, kan?”

    

“Sehat. Ayah-ibu titip salam.”

    

“Alhamdulillah. Bagaimana, apakah Ibu mau menjagaiku?” 

    

“Ibu  bersedia, Dik.”

    

“Alhamdulillah.”

    

“Oya, aku tadi belanja kebutuhan harian. Supaya kau, adikmu, dan Ibu tak repot selama aku pergi tugas.”

     

Perempuan menunduk haru. Alangkah berutungnya ia memiliki suami seperti dia. Ia berjanji kan berbakti seumur hidup padanya. Akan menjadi istri setia. Seperti dia, yang suami siaga, sarat kasih sayang dan tanggung jawab pada keluarga.

    

“Mengapa kau menangis, Dik?”

    

“Aku sangat bahagia memiliki suami seperti Mas.”

    

“Aku juga…bahagia beristri sepertimu. Aku ingin kau menjaga kandunganmu sebaik-baiknya. Ketika nanti pulang aku ingin  melihat kau dan jabang bayi kita selamat, tidak kurang suatu apa, Sayang.”

    

“Insya Allah, Mas, ” diulurkan segelas jahe  hangat manis. Sekali reguk tandas. Segar. 

    

“Aku mau mandi supaya lebih segar, Dik, ” melangkah mengambil handuk, ketika perempuan hamil tiba-tiba memegang lengannya, pandangan matanya lurus dan bertanya pelan, penuh perasaan. “Mas, apakah Ibu seperti biasa memuji  masakanku? Apakah seperti biasa Ibu dengan lahap  memakan-opor ayam, tumis  buncis, dan sambel goreng ati-racikan tanganku?”

    

“Ya. Ibu sangat suka masakanmu, Dik, ” Lanang ngeloyor ke kamar mandi,  di saat mengguyur tubuhnya dengan air, kemudian menyabuni badan, sepercik titik air sabun mengenai mata,  perih ia menggumam lirih. ”Maafkan, aku, Dik. Ibu sepertinya masih membencimu. Setiap kau membawakan rantangan, Ibu tak mau menyentuh, apalagi memakannya. Ibu membuang  masakanmu ke tong sampah! Oh, aku tak perlu menceritakan hal ini, dan kau tak perlu tahu kan, Sayang….”

                                                                    ***

     

Perempuan sepuh tinggal di rumah menantu dan sengaja ongkang-ongkang kaki. Si menantu yang sedang hamil besar dibiarkannya menunaikan pekerjaan rumah sehari-hari. “Perempuan sedang hamil itu harus banyak bergerak, supaya nanti mudah saat lahiran!” ujarnya. Setiap hari pula ia dimasakkan menu kesukaannya, dan perempuan sepuh membuangnya ke tong sampah. Si adik angkat perempuan hamil suatu hari memergoki, tapi tak berani melaporkan.

                                                                    ***

    

Dua hari jelang hari Raya Iduladha. Tak ada yang berbeda. Perempuan sepuh tidak berpuasa. Seperti biasanya, perempuan sepuh mengisi rutinitas, menonton drakor di kamarnya. Sepuasnya. Ketukan pintu terdengar, si menantu mengantar makan malam. Setelah perempuan hamil berlalu, ia beranjak menghampiri meja makan. Menu lezat: udang kuah manis dan tumis buncis. Tiba-tiba ia eman-eman membuangnya. Dicicipinya udang kuah manis. Enake rek, gumamnya. Jebule mantuku pinter masak. Tak sadar ia mencentong nasi, mengambil beberapa potong udang dan tumis buncis. Asyik makan. Kenyang. Namun,  beberapa saat kemudian, ia mengaduh, mengapa perutnya terasa mulas? Jangan-jangan si menantu meracuninya? Jangan-jangan bocil perempuan itu telah lapor pada kakaknya? Jangan-jangan. Oh, dia belum  ingin mati. Aku ingin menimang cucu pertamaku! 

       

Perempuan sepuh tertatih, keluar kamar, melewati ruang tengah saat televisi menyiarkam berita. “Seorang prajurit TNI bernama Bagus Indra Lanangjiwa telah menjadi korban keganasan kaum separatis OPM. Bagus diculik, ditembak dan ….”

       

Perempuan sepuh tercekat, tercekik, tak bisa bersuara. Tubuhnya lemas. Perempuan hamil terlongong, shock, darah merembes, menetes di sela-sela paha.

                                                                    ***

Kota Ukir, 12 Juli 2021

Kartika Catur Pelita, karya prosa dan puisi dimuat puluhan media cetak dan online. Pegiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ). Buku terbarunya yang baru saja terbit: Perempuan yang Ngidam Buah Nangka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar