Kupas Jati diri Pemuda Lewat Pemikiran Benedict Anderson - Soeara Moeria

Breaking

Minggu, 10 Mei 2020

Kupas Jati diri Pemuda Lewat Pemikiran Benedict Anderson

Diskusi daring Simaharaja.
Jakarta, soearamoeria.com - Ada saat “airnya pasang“ dalam kehidupan,
Kalau berlayar pada waktu itu,
usia akan menuju kebahagiaan.
Tetapi kalau terlambat, dan airnya sedang surut
seluruh perjalanan hidupnya pasti kandas dalam malapetaka
Shakespeare, Julius Caesar

Pemuda mempunyai peran strategis dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pada Permulaan Revolusi Nasional Indonesia tahun 1945 telah timbul kesadaran akan kebangkitan pemuda yang menjadi kekuatan revolusioner kala itu.

Pemuda diartikan Benedict Anderson sebagai seseorang yang mempunyai pemikiran yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya lewat penentangan yang sistematis.

Pemuda dalam tradisi masyarakat Jawa mulai diperkenalkan pada gerakan kepemudaan yang muncul di Jawa yaitu Organisasi Boedi Utomo yang berdiri pada tahun 1908, menandakan kebangkitan pemuda kala itu.

Kehidupan pria Jawa sendiri secara tradisional dibagi menjadi 4 tingkat yaitu: masa kanak-kanak, muda, dewasa dan usia lanjut. masa kanak-kanak berlangsung mulai dari lahir sampai anak dikhitan, kira-kira umur 6 tahun. selanjutnya yaitu tahapan muda di mana ia mulai diperkenalkan dengan tuntutan dan kemandirian.

Menurut Ben Anderson ketika seseorang masuk ke tahap pemuda di situlah timbul perbedaan dalam masyarakat.

Pemuda ini biasanya mempunyai inisiatif sendiri atau tidak suka atau susah diatur. Pemuda cenderung tidak ingin mengikuti aturan masyarakat, tapi dia ingin membuat aturan sendiri.

Dalam tradisi Jawa, anak muda yang tidak pergi merantau akan malu dengan dirinya sendiri. Karena tradisi merantau pemuda Jawa sudah menjadi kultur masyarakat Jawa kala itu. Seseorang yang sudah tidak lagi anak-anak ia akan mencari jati diri dan biasanya berkelana mencari guru atau masuk ke pesantren untuk belajar ilmu agama, ilmu kanuragan, dan ilmu lainnya. karena pada zaman dahulu pesantren bukan hanya menjadi tempat menimba Ilmu agama, akan tapi juga mengajarkan berbagai disiplin ilmu lainnya.

Saat penjajahan Jepang, inflasi sangatlah tinggi. Sumber daya Indonesia dirampas oleh Jepang. Para birokrat Indonesia hanya menjadi alat/cukong penjajahan Jepang, kebutuhan pokok hanya sekadar diperuntukkan bagi pegawai dan masyarakat kecil terabaikan.

Pemuda yang tadinya lepas dari masyarakat, akhirnya terjun lagi ke masyarakat. Misal Soekarno, Kartosuwiryo, Semaoen dan Muso yang merupakan murid dari Hos Cokroaminoto. Ketika terjadi penjajahan Jepang, mereka keluar dengan idenya masing-masing.

Soekarno dengan ideologi Nasionalismenya, Kartosuwiryo dengan ideologi Negara Islamnya, Semaoen dan Muso dengan ideologi Sosialis Komunisnya.

Begitulah pemaparan materi diskusi daring yang disampaikan oleh Amrizal Ulya S.Sos, narasumber dalam Diskusi Online menyambut hari lahir Organisasi kedaerahan Mahasiswa Jepara di Jakarta dengan tema “Vis a Vis Pemuda dan Oligarki Politik“ yang diselenggarakan Sabtu (9/5/2020) secara virtual melalui platform Zoom Cloud Meeting.

Dalam diskusinya, Rizal menyampaikan alasan mengapa memilih judul “Vis a Vis Pemuda & Oligarki Politik.” Karena dalam sejarah politik di Indonesia oligarki politik sangatlah kuat. Mulai pembangunan zaman orde baru, masa reformasi, sampai sekarang ini.

Jargon “Millenials” yang semakin ramai diperbincangkan di era industri 4.0 sekarang tidak hanya sebatas pada lifestyle saja, akan tetapi jargon milenial kini diidentikkan dengan kekuatan ekonomi, pemerintahan bahkan politik.

Pemuda tidak melulu soal usia. Diksi milenial, Gen Z dan sebagainya menurutnya justru dapat mempersempit pemikiran pemuda. Yang dibutuhkan pemuda saat ini adalah wawasan yang luas agar dapat menentukan langkahnya sendiri, sesuai dengan passion masing-masing untuk membangun bangsa.

Salah satu peserta diskusi Biyan Sabil melontarkan pertanyaan, "Bagaimana jika kita yang notabennya adalah pemuda berbeda pendapat dengan guru kita?"

Rizal mengatakan bahwa perbedaan pendapat ialah suatu hal yang lumrah. Ia mengaku selama kuliah di UIN Jakarta tidak hanya sekadar belajar di kelas saja, tapi juga mengambil ilmu dari lintas organisasi.

“Meskipun saya dilahirkan dari keluarga NU dan sekolah saya di NU. Tetapi sampai di Jakarta saya aktif di IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Namun hal itu tidak mengurangi ke-NU-an saya. Bahkan saya pernah mengadakan tahlilan setelah diskusi di tengah-tengah teman Muhammadiyah,” Jawab Peneliti Gerakan Buruh yang sedang melanjutkan studi S2 program studi Ilmu Politik di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Nasional Jakarta ini.

Menurutnya keluar dari batasan tersebut sangat diperlukan untuk menambah khazanah keilmuan.

Diskusi berjalan cukup hangat, salah satu peserta diskusi Robby Septyan Maulana menyinggung  terkait diksi millenials yang banyak sekali dipakai. Robby mengatakan bahwa pengertian millenials sudah memiliki banyak versi. “karena sering dipakai jadi sangat populer,” tegasnya. 

Robby menanyakan Bagaimana pendapat narasumber terkait kasus stafsus millenials baru-baru ini? Apakah hal tersebut akan mempengaruhi millenials yang lain atau bagaimana?“ tanya pemuda yang kerap di sapa Robby.

”Millenials seharusnya mempunyai ciri khas atau pun berbeda dengan generasi sebelumnya.

Menurutnya pengangkatan stafsus millenials tersebut hanya digunakan untuk menarik perhatian khalayak. tempatnya Pemuda yaitu di luar lingkaran, ketika masyarakat goncang atau ada masalah, pemudalah yang turun ke lapangan untuk membantu. seperti pada masa reformasi, mahasiswa yang tidak membawa senjata akan kalah dengan kelompok militer. Idealnya, tugas mahasiswa itu belajar saja di kampus, tetapi jika terjadi kegalauan atau kekacauan, maka ide-ide mahasiswa itulah yang sangat dibutuhkan. Seperti pada saat terjadi krisis di pemerintahan Soekarno, maka pemuda waktu itu memunculkan tritura (tiga tuntutan rakyat). Peran pemuda sebagai agen perubahan dan sebagai kontrol sosial masih sangat efektif untuk memposisikan pemuda,“ jelas Presidium Formaci tahun 2012-2014

Generasi millenials kalau tidak mempunyai ide / inisiatif untuk keluar dari oligarki politik ini, menurut Ben Anderson tidak bisa dikatakan sebagai seorang pemuda. Rizal berpesan agar pemuda tak mudah terpengaruh dengan janji-janji maupun jargon-jargon politik.

“Jangan terbelenggu dengan situasi politik, kita harus menentukan sikap sendiri,” tegas Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan SIMAHARAJA 2009-2011 dalam pesannya.

Diskusi Online ini merupakan Diskusi kedua yang diadakan SIMAHARAJA dalam rangka memperingati hari lahirnya yang ke-17 th. Diadakannya diskusi ini merupakan langkah SIMAHARAJA sebagai organisasi kemahasiswaan yang dibangun atas semangat kedaerahan untuk menciptakan kondisi intelektual yang mengedepankan kebebasan berekspresi dengan berlandaskan asas gotong royong, toleransi pluralism dan modernisasi. (sm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar