Nasihat Pelanduk Tua - Soeara Moeria

Breaking

Jumat, 06 Maret 2020

Nasihat Pelanduk Tua

Ilustrasi : google
Oleh : Kartika  Catur  Pelita
      
Pagi yang cerah. Angin berhembus sepoi-sepoi pada sebuah hutan lindung. Sepasang rusa muda sedang mencari makan. Setelah selesai merumput, mereka ingin minum air di sungai.
      
Ruta-sang rusa jantan mengajak Rubi –rusa betina untuk meminum air sungai di hilir di dekat perkampungan penduduk.
      
”Mengapa kau mengajakku ke sana? Sungai itu kan dekat dengan perkampungan penduduk? Kau tahu penduduk desa itu suka berburu bangsa kita?”
      
”Ah, aku tak takut!” Ruta mulai berjalan ke luar dari hutan. Rubi mengejarnya.
      
”Dengar kataku, bagaimana kalau penduduk desa melihat kita, mengejar dan menangkap kita? Bahkan ada bangsa manusia yang tega membunuh teman kita dengan butir timah panas!”
      
”Ah, itu kan teman kita aja yang bodoh, tolol! Kalau aku, Ruta-Sang rusa jantan-enggak lahyau. Kalau ada manusia yang ingin menangkapku aku akan segera berlari, menyelamatkan diri dong! Sudah deh gak usah takut. Tak perlu khawatir. Yuk, kita berjalan cepatan dikit. Aku sudah haus nih...!”
      
Tak berapa lama sepasang rusa muda telah berada di tempat yang mereka tuju. Ruta minum sepuasnya. Rubi menemaninya.
      
”Ternyata air di sungai ini rasanya agak pahit. Tak segar lagi.”
     
”Karena air di sungai ini sudah tercemar. Penduduk desa seenaknya membuang  kotoran  ke sungai. Hingga air keruh, kotor tak bersih lagi!’
      
”Ah, sudahlah, yang penting aku tak haus lagi. Aku  bosan di dalam hutan.Sekali-kali boleh dong kita berjalan ke luar.”
      
”Iya sih. Tapi berjalan-jalan ke tempat yang aman dong. Agar aku tak khawatir...”
      
Rubi tak melanjutkan kata-katanya lagi, ketika dia  merasa ada bahaya yang mengintai.
      
Benar, di rerimbunan pohon jati, dua orang pemburu sedang mengawasi mereka dengan senapan di tangan
      
”Awas ada pemburu! Kita lari!” Rusa betina berteriak seraya berlari kencang.
     
Rusa jantan pun segera berlari kencang, mengikuti jejak pasangannya. Namun terlambat! Dor-dor-dor! Terdengar letusan senjata berulang-ulang.
      
”Aduh..!” Ruta mengaduh, ketika timah panas  terasa menerjang kaki depannya. Dia jatuh ke tanah, ”... tolong aku...”
      
Rubi menghampiri.” Kau...kenapa begini?”
      
”Sudahlah kamu berlari. Selamatkan dirimu...” mohon Sang Rusa jantan.
      
”Tapi...”
      
”Aku baru menyadarinya sekarang. Semua yang kau katakan benar. Maafkanlah aku. Aku selalu meremehkan kata-katamu, semua peringatanmu. Aku...” Ruta menghentikan kata-katanya. Sejurus matanya terpejam, untuk selamanya!
      
Rubi menjerit, menangis histeris...dan kembali berlari kencang. Menyelamatkan diri, masuk ke dalam hutan!

                                                                    ***
Rubi berdiri di tepi jurang.  Rubi memejamkan mata. Berniat bunuh diri,  menerjunkan diri ke dalam  jurang. Dia mulai berhitung. Satu, dua, ...
      
”Hai...apa yang akan kau lakukan?” seekor Pelanduk Tua berteriak, mengejutkannya. Membuat niat Rubi tertunda.
      
”Apa pedulimu Pelanduk!” Rubi marah. ”Biarkan aku terjun ke jurang. Biarkan aku mati!”
      
”Tapi apa dulu masalahnya. Ceritakan padaku!” Pelanduk Tua membelai kepala rusa Rubi dengan lembut. Selembut tatapannya.”Siapa tahu aku bisa membantumu.”
      
”Kau tak bisa menolongku. Rusa jantan telah ditembak mati pemburu!”
      
”Oya. Kasihan. Kapan?”
      
”Kemarin, ketika kami  sedang minum di sungai dekat pemukiman  penduduk. Huk-huk-huk-huk.” Rubi bercucuran air manta bertutur tentang  petaka yang menimpanya.
      
”Mengapa kau pergi ke sana? Harimau-Sang Raja Rimba-telah melarang kita untuk datang ke sana  kalau tak ingin celaka!”
      
”Tapi rusa jantan nekat!”
      
”Ya...itulah hukuman yang harus diterimanya. Sudahlah kau tak usah bersedih. Kalau kau nekad terjun ke dalam jurang, bukan hanya kau yang akan mati, tapi juga yang ada di dalam perutnya. Kau sebentar lagi melahirkan. Apakah kau tak ingin melihat anakmu lahir kelak?”
      
”Tapi apakah ada gunanya..?”
      
”Untuk rusa jantan yang telah mati, tentu tak ada. Tapi bagi dirimu yang masih hidup tentu ada. Kau akan memiliki keturunan. Kelak  pun kau akan mendapat pengganti rusa jantanmu yang hilang.”
      
”Tapi...”
      
”Camkan kata-kataku. Pikirkanlah...”
      
”Aku...” Rubi mencoba mengusir kesedihan hatinya. Terbayang hari-hari indah di masa lalu bersama Ruta. Ah, mengapa keindahan ini harus berakhir dengan kesedihan?
Tanpa tersadar Rubi menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
      


Pelanduk tua kecewa.  ”Sudahlah kalau kau ingin mengikuti jejak rusa jantan.  Pergilah ke luar dari hutan, biar pemburu menangkapmu! Atau kalau kau ingin bunuh diri, terjunlah ke jurang, biar aku melihatmu!”
      
Rubi terdiam lama mendengar kata-kata Pelanduk Tua, yang keras dan tajam. Rubi berusaha meresapi di hati apa yang dinasihatkan untuknya. Dihelannya nafas panjang berulang kali. Akhirnya Rubi memutuskan dan berkata.
      
”Benar nasihatmu Pelanduk Tua.  Aku tak jadi bunuh diri. Biarlah aku melahirkan anakku. Tapi aku minta tolong padamu Pelanduk Tua...”
      
”Minta tolong apa?”
      
”Kau berilah nama anakku kelak. Juga berilah nasihat kebaikan untuknya!”
      
”Tentu!” Pelanduk Tua mengangguk. ”Nanti kalau anakau sudah lahir aku akan menjenguknya. Sekarang kembalilah ke dalam hutan. Beristirahatlah...”
      
”Terima kasih atas nasihatmu Pelanduk Tua.”
      
“Sama-sama. Sudah sepantasnya  kita menolong teman yang sedang  tertimpa  kesusahan, kan?” Pelanduk Tua berkata dengan bijaksana.
      
Pelanduk Tua mengiringi Rubi-rusa betina masuk hutan Larangan  
                                                                     
Kota Ukir, 4 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar