UN: Pertahankan atau Hentikan? - Soeara Moeria

Breaking

Senin, 06 Januari 2020

UN: Pertahankan atau Hentikan?

Maziyatun Nafiah. 
Oleh: Maziyatun Nafiah, mahasiswi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, dimana presiden yang sudah dilantik akan berperan sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Sebagai seorang kepala pemerintahan, presiden dibantu oleh wakil presiden dan jajaran menteri dalam kabinet. Sehingga, presiden sendiri yang akan memilih siapa saja menteri- menteri yang akan duduk dalam jajaran kabinetnya untuk ikut serta merealisasikan kebijakan-kebijakan demi kemajuan negara ini. Kendati demikian, sudah menjadi rahasia umum, bahwa setiap pergantian presiden pasti akan terjadi pergantian menteri.
Seiring dengan terjadinya pergantian menteri, kebijakan -kebijakan yang ada sebelumnya, terkadang ikut mengalami perubahan “Kalau menterinya ganti kebijakannya pasti ganti" itulah yang sering dilontarkan masyarakat saat para menteri baru mulai menduduki kursi kebesarannya. Di samping itu, asumsi tersebut juga didukung adanya wacana penghapusan Ujian Nasional (UN) yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang juga sebagai pendiri dan mantan CEO Gojek, Nadiem Makarim.
Pada dasarnya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia termasuk pelaksaan UN sendiri telah diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikam Nasional, yang termasuk didalamnya mengatur tentang evaluasi untuk peningkatan mutu pendidikan. Kemudian evaluasi tersebut diperjelas lagi dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Standart Penilaian Pendidikan. Yang mana ditegaskan bahwa penilaian hasil belajar pada jenjang dasar dan menengah dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah. Dan penyelenggaraan UN ini merupakan bentuk penilaian dari pemerintah itu sendiri. Oleh karena itu, pelaksanaannya bertujuan untuk menilai sebuah pencapaian kompetensi yang dimilki lulusan secara nasional pada mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, pada pelaksanaan UN tahun 2018/2019 kemarin lebih mengacu pada peraturan Mendikbud Nomor 4 Tahun 2018 tentang penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dan penilaian hasil belajar oleh pemerintah itu sendiri.
 
Setelah dilakukan evaluasi, pelaksaan UN yang sudah berjalan beberapa tahun kurang efektif sebagai penilaian hasil belajar. Hal ini dikarenakan beberapa tahun yang lalu pembelajaran yang sudah dilakukan selama 6 tahun (tingkat pendidikan dasar), sistem kelulusan siswa hanya ditentukan selama 3 hari ujian begitupun ditingkat pendidikan menengah dan tingkat pendidikan atas. Selain itu, efektifitas penyaluran soal UN, belum sepenuhya sesuai dengan apa yang direncanakan. Terdapat beberapa daerah yang masih terjadi kebocoran soal ujian, kemudian penyaluran soal yang ada relatif sulit dikarenakan medan kurang mendukung dan masih banyak hal hal lain yang menjadi kendala. 
 
Kemudian beberapa tahun terakhir ini, sistem UN terbilang cukup efektif  serta mulai mengalami peningkatan. Beberapa daerah di Indonesia sudah cukup banyak  yang mulai menggunakan sistem komputer.  Namun, masih perlu dievaluasi lebih dalam lagi dan dipenuhinya  kelengkapan sarana dan prasarana yang tersebar di tiap sekolah demi kelancanan pelaksaan UN secara online dan terpusat. Kini, para pendidik juga sudah mengetahui bahwa pelaksaan UN yang telah dilakukan siswa hanya sebagai evaluasi akhir jatau untuk pemetaan saja, bukan  lagi sebagai standart kelulusan siswa, bahkan  tidak lagi dijadikan bahan pertimbangan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Dengan demikian manfaat diadakannya UN sudah tidak berdampak secara seignifikan bagi para pelajar.
Wacana penghapusan UN kini masih terus menjadi perbincangan hangat di masyarakat, terutama kalangan pelajar, guru, bahkan para akademisi lainnya. Pasalnya sudah sejak lama pelaksanaan UN ini munuai berbagi polemik, hingga akhirnya muncul wacana penghapusan UN tersebut. Namun, hal ini tak kunjung terealisasikan, dan sekedar wacana belaka. Kemudian sejak diangkatnya menteri pendidikan yang baru era pemerintahan Jokowi – Ma’ruf Amin, wacana tersebut terus dioptimalisasikan demi menghasilkan keputusan terbaik. Bahkan, UN akan diterapkan untuk terakhir kalinya di tahun 2020 mendatang dan penghapusan akan dilaksanakan pada  tahun 2021, kemudian digantikan dengan Assesment Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. 
Sebagaimana yang dikatakan oleh bapak Mendikbud Nadiem Makarim, bahwa Assesment Kompetensi Minimum dan Survei Karakter itu terdiri atas kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter. Dan pelaksanaan ujian tersebut nantinya akan diterapkan oleh siswa yang berada di jenjang menengah seperti kelas 4, 8, dan 11. Sehingga Assesment sendiri ini dapat mendorong sekolah serta para guru untuk meningkatkan dan memperbaiki mutu pendidikan yang ada di Indonesia. 
Dengan digantinya UN menjadi Assesment Kompetensi Minimum dan Survei Karakter ini, diharapkan mampu memperbaiki sistem evaluasi pendidikan yang ada di Indonesia, terutama mampu mengetahui bahkan menggali minat dan bakat yang dimiliki para siswa. Sehingga tidak hanya menilai aspek tertentu dan yang terlihat saja melainkan juga mampu menilai apa yang sebenarnya dimiliki oleh masing-masing individu guna membangun kreativitas serta keterampilan generasi penerus bangsa. Serta penerapan Assesment ini juga harus sesuai dengan sumber daya manusianya, keadaan sistem pendidikan yang ada, dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan yang ada. Yang aman saat ini sudah memasuki Revolusi Industri 4.0. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar