Hilangnya “Identitas” KPK Sebagai Lembaga Independen - Soeara Moeria

Breaking

Minggu, 12 Januari 2020

Hilangnya “Identitas” KPK Sebagai Lembaga Independen

Nurul Fauza
Oleh : Nurul Fauza, mahasiswi Universitas Islam Malang

Komisi Pemberantasan Korupsi atau yang sering dikenal dengan KPK, adalah salah satu lembaga negara independen yang ada di Indonesia. Dikatakan sebagai lembaga independen karena KPK bukan lembaga pemerintah yang berada di dalam lingkaran kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif sehingga dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Lembaga ini dibentuk dengan tujuan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi, kejahatan yang paling merugikan negara. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman pada lima asas yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan hukum, dan proporsionalitas.

Beberapa bulan yang lalu Indonesia sempat dihebohkan oleh kabar Revisi UU KPK bersamaan dengan Revisi UU KUHP yang memicu aksi demo serentak oleh mahasiswa meluas di seluruh Indonesia seperti di Semarang, Makassar, Solo, Medan, Malang dan sejumlah kota lainnya. Ribuan mahasiswa juga mengepung Gedung DPR dan Gedung KPK untuk menyampaikan pendapat mereka tentang Revisi UU yang diajukan DPR. RUU yang diajukan oleh DPR cenderung menghilangkan identitas KPK sebagai lembaga independen negara.

Setidaknya ada dua poin yang menurut penulis menjadikan KPK bukan lagi menjadi lembaga independen. Menurut kompas.com (Sabtu, 07/09/2019) Revisi UU KPK mengatur kedudukan KPK yang berada pada cabang eksekutif. Jika disahkan KPK akan menjadi lembaga pemerintah. Meski dinyatakan KPK tetap independen dalam melakukan tugas dan kewenangannya, tetapi dengan status lembaga pemerintah maka pegawai KPK akan berstatus ASN dan tunduk pada UU ASN. Status KPK sebagai lembaga pemerintah ini juga melemahkan kekuatan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia.

Selanjutnya permasalahan izin penyadapan KPK dalam menangani kasus korupsi. Selama ini KPK bebas melakukan penyadapan terhadap terduga tindak pidana korupsi. Namun dalam Revisi UU KPK yang baru KPK harus dapat izin tertulis Dewan Pengawas KPK (Dewan pengawas terdiri dari 5 orang yang dipilih DPR berdasarkan usulan presiden) sebelum menyadap. Setelah mendapat izin penyadapan, KPK bisa melakukan penyadapan maksimal 3 bulan sejak izin diberikan. Jika ditelaah lagi KPK dalam menyelidiki tersangka tindak korupsi dengan peraturan baru dinilai terlalu dibatasi dan terkesan tidak bergerak cepat. Pemberian waktu selama 3 bulan penyelidikan setelah mendapat izin juga dinilai tidak kurang tepat, karena tidak semua kasus korupsi bisa diselesaikan dengan kurun waktu tertentu. Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan sangat tertutup sehingga tidak semua penyelidikan KPK langsung menemukan bukti tanpa melewati kendala dalam proses penyelidikan. Kendala yang dihadapi selama penyelidikan juga perlu diperhitungkan  karena butuh waktu dalam penyelesaiannya.

Dua poin diatas menyebabkan ruang gerak KPK dalam menyelesaikan masalah korupsi menjadi sempit dan terbatas. Mengingat banyaknya kasus korupsi yang telah terjadi di Indonesia seakan tidak ada habisnya, seharusnya pemerintah terutama DPR membuat Revisi UU untuk KPK untuk dapat mengupayakan peningkatan kualitas dan memberi keleluasan pada KPK untuk memudahkan dalam penyelidikan kepada koruptor. Semakin KPK bergerak cepat dan tidak terlalu dibatasi oleh pemerintah, maka hal itu akan memudahkan KPK dalam melakukan penyelidikan dan penangkapan koruptor. Dengan meningkatnya kualitas KPK ini tentunya akan mengurangi tindak pidana korupsi oleh orang atau sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab di masa yang akan datang. 

Karena korupsi selalu merugikan rakyat dan negara, masyarakat sangat berharap DPR dapat lebih mempersempit peluang terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia terutama di ranah pemerintahan. Dengan adanya RUU KPK yang menyebabkan demo besar-besaran oleh mahasiswa ini sebagai perwakilan suara rakyat Indonesia, dalam keadaan seperti ini kita sebagai masyarakat sipil dapat memanfaatkan demokrasi dengan menyampaikan aspirasinya terhadap kebijakan publik pemerintah. Karena meskipun yang membuat kebijakan adalah pemerintah akan tetapi aspirasi masyarakat yang membangun sangat diperlukan, sehingga kebijakan-kebijakan lain pun akan mendapat respon positif dari masyarakat.

Partisipasi kita dalam kasus ini dapat mempengaruhi perubahan pemerintahan dalam pengambilan keputusan. Pertimbangan demi pertimbangan akan diputuskan secara matang serta merta dengan mencari jalan keluar suatu permasalahan yang dapat memberikan kebaikan dalam proses pemberantasan korupsi. Rakyat dan pemerintah dapat bekerjasama dengan selaras untuk kepentingan bangsa Indonesia yang bebas dari korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar