Senja di Pantai Kartini (Kisah-Kisah Kota Tuah) - Soeara Moeria

Breaking

Kamis, 12 Desember 2019

Senja di Pantai Kartini (Kisah-Kisah Kota Tuah)

Suatu senja di Pantai Kartini Jepara. (Foto: liputan6.com)
Cerpen :  Kartika Catur Pelita

Aku  berada di mana?

Bangunan porak-poranda. Gedung dan rumah ambruk, orang-orang merintih kesakitan. Pantai berpasir sampah dan mayat-mayat bergelimpangan. Patung kura-kura  raksasa roboh?  Apa  yang tengah  terjadi....?
    
"Di mana aku?"
   
"Sebuah kota lama.“
   
"Kota asing?”
   
“Dulu kota ini terkenal. Sampai ke mancanegara. Ukiran kayu yang indah. Banyak orang berduyun-duyun  datang. Tak terkecuali orang asing. Membuka usaha. Bersaing dengan  penduduk  pribumi. Tapi ada  pengusaha yang nakal. Persaingan membawa kebusukan.  Preman menagih jatah. Belum lagi upeti dari oknum aparat keparat. Si orang asing satu demi satu  hengkang mencari  kota lain yang lebih sehat."
    
“Kota yang sunyi...”
    
“Dulu kota ini ramai. Perekonomian maju. Mobil, motor hilir mudik, menyemarakkan kota yang berada di ujung ini. Pagelaran   musik  sering diadakan. Pameran  pembangunan,  pengajian,  dangdutan-bergoyang  ngibing asyik. Mabuk sampai pagi.  Trek-trekkan.   Foya-foya ke  pelacuran!"
     
"Kota yang menyedihkan..."
     
"Dulu kota ini menyenangkan. Kota santri, banyak orang mengaji. Tapi  setelah itu  pergi ke  tempat  maksiat.  Orang-orang percaya   Tuhan,  membangun tempat ibadah,  tapi demi kekayaan  mencari pesugihan!". 
      
"Kota yang memilukan..."
     
"Ketika  banyak manusia berbuat  semaunya. Ketika  perintah Tuhan tak lagi dijalankan,  jangan salahkan jika  alam murka. Ketika  manusia lebih percaya teknologi tanpa mengindahkan  firman  Tuhan, bersiaplah   menerima kemalangan! Bersiaplah menyambut azab!
      
"Mengerikan...!"
      
"Kota  ini hancur,  penduduk  jadi korban, ketika  tsunami  melanda, gempa menggoyang-pembangkit listrik  bertenaga  nuklir terkoyak!
      
Aku bagai  melihat serpihan mozaik, bencana. Tsunami. Nuklir bocor. Korban berjatuhan, meregang nyawa, kiamat, melumat pada sebuah makam pada ujung senja sebuah pantai.  Aku adalah satu korbannya?
      
Aku berlarian kencang ketika air hitam pekat setinggi pohon kelapa menerjang, aku terbawa arus, terseret  deras  gelombang. Dalam keputusasaan  aku menyebut  namaTuhanku!
                                                             ***
     
Kesiur angin menerpa wajah keras,  aku tersentak. Tergeregap.  Tuhan, aku barusan pergi kemana?
      
Aku masih ada di pantai nan memesona. Tak ada bangunan roboh, kura-kura raksasa masih berdiri tegak!
       
Masih duduk di gazebo. Terpekur. Gerah. Berniat mencari masjid, numpang mandi, seraya menunggu saat magrib.
     
Bangkit, melangkah, teringat sesuatu. Meraba saku celana. Uangku tak ada.   Padahal nilainya besar. Pemberian Tirta.  Pemuda yang telah memolongku-saat  kapal yang kunaiki tenggelam di perairan Pulau Mandalika. Ia menampungku beberapa hari di rumahnya di Benteng Portugis, Keling. Dan memberikan  tabungannya. Aku berjanji akan menggantinya setelah aku  pulang ke kotaku nanti.  Semuanya kini  hilang tak bersisa. Entah ketika aku tidur dompet itu jatuh, atau seseorang mengambilnya? 

Aku  harus meminta pertolongan orang, tapi tak ada yang kukenal di kota ini. Tapi aku mengenal Tuhanku. Aku duduk di bawah pohon, dengan sikap tawadlu,  mendoa.  Seseorang lelaki sepuh menghampiriku."Kau sedang dalam kesusahan?"
    
Aku mengiyakan.
   
"Kenapa?"
   
"Aku hendak pergi ke Jakarta. Dan uangku, bekalku hilang. "
   
"Kasihan."
   
"Kukira kota kecil ini aman.  Ternyata..."
    
"Padahal di kota  ini pernah lahir seorang Avatar Keadilan."
     
Ratu Shima menghukum putra   mahkota   dengan memotong kakinya. Siapa   yang berbuat  salah  harus mendapatkan  hukuman.  Demi  menegakkan  keadilan!
   
"Seorang ratu yang benar-benar adil dan bijaksana. Sulit di zaman seperti ini seseorang bisa  berlaku adil. Sering ketika melihat keadilan kita malah sengaja menutup mata. Pura-pura tak tahu. Demi nama baik sengaja menutup borok itu, atau malah mengorbankan pihak  lain  sebagai tumbal. Seorang anak   yang  mesti menikahi perempuan yang dihamili oleh bapaknya.  Seorang mertua yang harus mendekam  di  penjara  karena perbuatan  menantu. Anak buah yang dibui demi menggantikan kesalahan si bos."
  
Aih, menyedihkan....
   
"Inilah kehidupan. Demi bertahan melanggengkan kekuasaan segala cara dilakukan, money politik,  menebar hoax, pergi ke dukun minta tumbal atau  mencari pusaka yang konon bisa  untuk  melanggengkan kekuasaan."
    
"Adakah?  Benarkah?"
    
"Sang Penguasa menjabat puluhan tahun konon karena  memiliki tombak Ratu Shima. Kharisma yang  dimiliki tombak membuat rakyat atau  bawahan tunduk pada apa yang diperintahkannya. Konon banyak orang berebutan untuk  memperolehnya dengan berbagai cara. Minta pertolongan paranormal, melakukan  semedi.
      
Tahukah kau jika kota ini, kota tertua. Di sinilah berada orang-orang linuwih, bermacam   pusaka ampuh  bersemayam.  Jangan kau suruh pemimpinmu datang ke sini, kalau dia masih ingin melanggengkan kekuasaan!
     
Atau  kau memiliki seseorang  yang kau benci supaya jabatan, pangkatnya  hilang, kuantarkan ke Sendang Sinatah. Kuambilkan airnya.  Cipratkan di tanah yang akan   dilangkahinya. Percayalah dia akan seperti orang linglung dan kemudian  akan menjadi  orang tolol, tanpa pangkat   tanpa  kedudukan!  Sejarah mencatat ketika orang penting datang ke kota ini dia kan lengser dari keprabon."
      
"....."
      
"Terserah kau boleh memercayainya, atau menganggap yang kukatakan hanyalah angin lalu. Ada  yang bisa  kubantu untukmu. Aku  hanya memiliki sedikit  uang."
    
Dia memetik beberapa lembar daun, meremasnya  dengan telapak tangan di dalam kantung kain kumal. Ia mengangsurkan lembaran uang  kertas, yang  menurutku cukup  untuk ongkos dan  makan selama seminggu.
    
"Bapak..."
    
"Panggil aku Kembara. Aku memang suka  mengembara. Sama sepertimu. Mampir di kota tuah ini. Tujuanku... mati!"
    
Lalu dia berlalu dan hilang di balik rimbun pohon angsana. Kukira dia  kencing, tapi   ketika aku mendatanginya. Tak ada siapa-sia. Tapi ada bekas air bau wangi.
   
"Cari siapa, Mas?"  seorang perempuan menor bertanya.
   
"Seorang bapak, tua,  berjenggot, berambut putih."
   
"Dia tadi ke sana!" Menunjuk arah, aku  mengejar. Yang kutemukan hanya angin. Aku kembali ke  asal. Si Menor masih menungguku. Pada bangku kayu.
    
"Mas tidak menemukannya?"
    
"Dia  seperti  angin."
    
"Mengapa Mas tidak mencari  yang dekat  saja."
    
"Siapa?'
  
"Apakah kita tidak bisa sekadar mengobrol?"
    
"Maaf,  aku sudah beristri."
   
"Aku juga sudah bersuami."
   
"Tapi kau berada  di tempat seperti ini,  pantai saat petang, apa yang kau cari?"
   
"Entahlah. Mungkin uang, mungkin lelaki, kalau ada perempuan yang  mau, aku pun mau."
     
"...?"
     
"Aku begenggek."
     
"Begenggek?" 
     
"Pelacur. Lonte. Tapi berada di dekatku bukan berarti kau harus melacur. Aku  tahu kau lelaki baik-baik. Lelaki yang sayang, dan setia pada istri. Sebaliknya istrimu pun pasti sayang dan setia padamu."
     
"Kau tahu?"
     
"Aku bisa menebak dari manik matamu. Orang bijak  berkata  mata jendela hati. Matamu teduh,  hatimu pun teduh. Walau saat  ini mungkin kau resah."
      
"Aku  ingin mewujudkan   keinginan istriku yang sedang ngidam."
     
"Bahagianya menjadi  calon bapak. Istrimu ngidam apa?"
      
“Kentut Presiden.”
     
“....”
     
Aku tersenyum. Terima kasih. "Kau...?"
     
"Aku dulu istri yang setia. Sampai kini pun aku merasa setia. Setidaknya setia pada hatiku untuk tetap bertahan agar anak-anakku  tidak jadi patok kuburan. Aku menjadi pelacur demi bisa membeli beras. Suamiku bisa membeli nasi dan lauk. Tapi tak diberikan pada anak-istri,  malah pada manuk-manuknya?'
     
"Burung?"
      
"Jangan berpikir  ngeres! Jangan kau anggap suamiku homo dan suka burungnya lelaki.   Tidak. Benar, suamiku suka manuk,  burung sungguhan. Di rumah banyak   memelihara burung. Perkutut, cucakrawa, murai, jalak,kepodang.  Kerjanya sebagai tukang  kayu    habis untuk ngopeni  manuk.  Aku merasa tersisihkan..."
     
"Tapi mengapa harus melacur?"
     
"Demi uang dan sesuatu yang tak  kudapatkan lagi dari suamiku. Sejak memelihara burung dia tak mau lagi menyentuhku. Entahlah." Kehidupan  yang  aneh.  Aku tersenyum.
     
"Kenapa tersenyum, Mas?"
     
Aku tak sempat menjawab, ketika telepon genggam  si Menor berdering.
     
"Ada pelanggan ngajak ngamar.  Menunggu di depan gerbang, Mas!"
     
Semringah ia terlihat. Sesuatu terasa menggeliat. Aku merogoh saku celana. Mengambil pena dan notes merah. Segera aku  harus  menuliskan kisah-kisah dari kota tuah.
Kota Ukir, 11 Maret 2019

Catatan: Senja di Pantai Kartini (Kisah-kisah dari Kota Tuah) merupakan sebuah Pernik (bagian) dari novel Kentut Presiden karya Kartika Catur Pelita.

Kartika Catur Pelita, lahir 11 Januari 1971. Penulis 700-an cerpen, 100 cerpen sudah dimuat  di 60  media massa cetak dan  daring, di antaranya : Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Haluan Padang, Sumut Pos, Analisa Medan, Koran Rakyat Sultra, Kendari Pos, Lampung Post, Solo Pos, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi, Info Muria, Okezone.com, SoearaMoeria.com, Nova, Kartini, Genie, Satelit Pos, Bangka Pos, Media Indonesia, Republika. Kompas. Buku fiksi “Perjaka”, “Balada Orang-orang Tercinta,” dan “Kentut Presiden.”  Bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ). Bermukim di Jepara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar