![]() |
Suatu senja di Pantai Kartini Jepara. (Foto: liputan6.com) |
Cerpen : Kartika Catur Pelita
Aku berada di mana?
Bangunan porak-poranda. Gedung dan rumah ambruk, orang-orang merintih kesakitan. Pantai berpasir sampah dan mayat-mayat bergelimpangan. Patung kura-kura raksasa roboh? Apa yang tengah terjadi....?
"Di mana aku?"
"Sebuah kota lama.“
"Kota asing?”
“Dulu kota ini terkenal. Sampai ke mancanegara. Ukiran kayu yang indah. Banyak orang berduyun-duyun datang. Tak terkecuali orang asing. Membuka usaha. Bersaing dengan penduduk pribumi. Tapi ada pengusaha yang nakal. Persaingan membawa kebusukan. Preman menagih jatah. Belum lagi upeti dari oknum aparat keparat. Si orang asing satu demi satu hengkang mencari kota lain yang lebih sehat."
“Kota yang sunyi...”
“Dulu kota ini ramai. Perekonomian maju. Mobil, motor hilir mudik, menyemarakkan kota yang berada di ujung ini. Pagelaran musik sering diadakan. Pameran pembangunan, pengajian, dangdutan-bergoyang ngibing asyik. Mabuk sampai pagi. Trek-trekkan. Foya-foya ke pelacuran!"
"Kota yang menyedihkan..."
"Dulu kota ini menyenangkan. Kota santri, banyak orang mengaji. Tapi setelah itu pergi ke tempat maksiat. Orang-orang percaya Tuhan, membangun tempat ibadah, tapi demi kekayaan mencari pesugihan!".
"Kota yang memilukan..."
"Ketika banyak manusia berbuat semaunya. Ketika perintah Tuhan tak lagi dijalankan, jangan salahkan jika alam murka. Ketika manusia lebih percaya teknologi tanpa mengindahkan firman Tuhan, bersiaplah menerima kemalangan! Bersiaplah menyambut azab!
"Mengerikan...!"
"Kota ini hancur, penduduk jadi korban, ketika tsunami melanda, gempa menggoyang-pembangkit listrik bertenaga nuklir terkoyak!
Aku bagai melihat serpihan mozaik, bencana. Tsunami. Nuklir bocor. Korban berjatuhan, meregang nyawa, kiamat, melumat pada sebuah makam pada ujung senja sebuah pantai. Aku adalah satu korbannya?
Aku berlarian kencang ketika air hitam pekat setinggi pohon kelapa menerjang, aku terbawa arus, terseret deras gelombang. Dalam keputusasaan aku menyebut namaTuhanku!
***
Kesiur angin menerpa wajah keras, aku tersentak. Tergeregap. Tuhan, aku barusan pergi kemana?
Aku masih ada di pantai nan memesona. Tak ada bangunan roboh, kura-kura raksasa masih berdiri tegak!
Masih duduk di gazebo. Terpekur. Gerah. Berniat mencari masjid, numpang mandi, seraya menunggu saat magrib.
Bangkit, melangkah, teringat sesuatu. Meraba saku celana. Uangku tak ada. Padahal nilainya besar. Pemberian Tirta. Pemuda yang telah memolongku-saat kapal yang kunaiki tenggelam di perairan Pulau Mandalika. Ia menampungku beberapa hari di rumahnya di Benteng Portugis, Keling. Dan memberikan tabungannya. Aku berjanji akan menggantinya setelah aku pulang ke kotaku nanti. Semuanya kini hilang tak bersisa. Entah ketika aku tidur dompet itu jatuh, atau seseorang mengambilnya?
Aku harus meminta pertolongan orang, tapi tak ada yang kukenal di kota ini. Tapi aku mengenal Tuhanku. Aku duduk di bawah pohon, dengan sikap tawadlu, mendoa. Seseorang lelaki sepuh menghampiriku."Kau sedang dalam kesusahan?"
Aku mengiyakan.
"Kenapa?"
"Aku hendak pergi ke Jakarta. Dan uangku, bekalku hilang. "
"Kasihan."
"Kukira kota kecil ini aman. Ternyata..."
"Padahal di kota ini pernah lahir seorang Avatar Keadilan."
Ratu Shima menghukum putra mahkota dengan memotong kakinya. Siapa yang berbuat salah harus mendapatkan hukuman. Demi menegakkan keadilan!
"Seorang ratu yang benar-benar adil dan bijaksana. Sulit di zaman seperti ini seseorang bisa berlaku adil. Sering ketika melihat keadilan kita malah sengaja menutup mata. Pura-pura tak tahu. Demi nama baik sengaja menutup borok itu, atau malah mengorbankan pihak lain sebagai tumbal. Seorang anak yang mesti menikahi perempuan yang dihamili oleh bapaknya. Seorang mertua yang harus mendekam di penjara karena perbuatan menantu. Anak buah yang dibui demi menggantikan kesalahan si bos."
Aih, menyedihkan....
"Inilah kehidupan. Demi bertahan melanggengkan kekuasaan segala cara dilakukan, money politik, menebar hoax, pergi ke dukun minta tumbal atau mencari pusaka yang konon bisa untuk melanggengkan kekuasaan."
"Adakah? Benarkah?"
"Sang Penguasa menjabat puluhan tahun konon karena memiliki tombak Ratu Shima. Kharisma yang dimiliki tombak membuat rakyat atau bawahan tunduk pada apa yang diperintahkannya. Konon banyak orang berebutan untuk memperolehnya dengan berbagai cara. Minta pertolongan paranormal, melakukan semedi.
Tahukah kau jika kota ini, kota tertua. Di sinilah berada orang-orang linuwih, bermacam pusaka ampuh bersemayam. Jangan kau suruh pemimpinmu datang ke sini, kalau dia masih ingin melanggengkan kekuasaan!
Atau kau memiliki seseorang yang kau benci supaya jabatan, pangkatnya hilang, kuantarkan ke Sendang Sinatah. Kuambilkan airnya. Cipratkan di tanah yang akan dilangkahinya. Percayalah dia akan seperti orang linglung dan kemudian akan menjadi orang tolol, tanpa pangkat tanpa kedudukan! Sejarah mencatat ketika orang penting datang ke kota ini dia kan lengser dari keprabon."
"....."
"Terserah kau boleh memercayainya, atau menganggap yang kukatakan hanyalah angin lalu. Ada yang bisa kubantu untukmu. Aku hanya memiliki sedikit uang."
Dia memetik beberapa lembar daun, meremasnya dengan telapak tangan di dalam kantung kain kumal. Ia mengangsurkan lembaran uang kertas, yang menurutku cukup untuk ongkos dan makan selama seminggu.
"Bapak..."
"Panggil aku Kembara. Aku memang suka mengembara. Sama sepertimu. Mampir di kota tuah ini. Tujuanku... mati!"
Lalu dia berlalu dan hilang di balik rimbun pohon angsana. Kukira dia kencing, tapi ketika aku mendatanginya. Tak ada siapa-sia. Tapi ada bekas air bau wangi.
"Cari siapa, Mas?" seorang perempuan menor bertanya.
"Seorang bapak, tua, berjenggot, berambut putih."
"Dia tadi ke sana!" Menunjuk arah, aku mengejar. Yang kutemukan hanya angin. Aku kembali ke asal. Si Menor masih menungguku. Pada bangku kayu.
"Mas tidak menemukannya?"
"Dia seperti angin."
"Mengapa Mas tidak mencari yang dekat saja."
"Siapa?'
"Apakah kita tidak bisa sekadar mengobrol?"
"Maaf, aku sudah beristri."
"Aku juga sudah bersuami."
"Tapi kau berada di tempat seperti ini, pantai saat petang, apa yang kau cari?"
"Entahlah. Mungkin uang, mungkin lelaki, kalau ada perempuan yang mau, aku pun mau."
"...?"
"Aku begenggek."
"Begenggek?"
"Pelacur. Lonte. Tapi berada di dekatku bukan berarti kau harus melacur. Aku tahu kau lelaki baik-baik. Lelaki yang sayang, dan setia pada istri. Sebaliknya istrimu pun pasti sayang dan setia padamu."
"Kau tahu?"
"Aku bisa menebak dari manik matamu. Orang bijak berkata mata jendela hati. Matamu teduh, hatimu pun teduh. Walau saat ini mungkin kau resah."
"Aku ingin mewujudkan keinginan istriku yang sedang ngidam."
"Bahagianya menjadi calon bapak. Istrimu ngidam apa?"
“Kentut Presiden.”
“....”
Aku tersenyum. Terima kasih. "Kau...?"
"Aku dulu istri yang setia. Sampai kini pun aku merasa setia. Setidaknya setia pada hatiku untuk tetap bertahan agar anak-anakku tidak jadi patok kuburan. Aku menjadi pelacur demi bisa membeli beras. Suamiku bisa membeli nasi dan lauk. Tapi tak diberikan pada anak-istri, malah pada manuk-manuknya?'
"Burung?"
"Jangan berpikir ngeres! Jangan kau anggap suamiku homo dan suka burungnya lelaki. Tidak. Benar, suamiku suka manuk, burung sungguhan. Di rumah banyak memelihara burung. Perkutut, cucakrawa, murai, jalak,kepodang. Kerjanya sebagai tukang kayu habis untuk ngopeni manuk. Aku merasa tersisihkan..."
"Tapi mengapa harus melacur?"
"Demi uang dan sesuatu yang tak kudapatkan lagi dari suamiku. Sejak memelihara burung dia tak mau lagi menyentuhku. Entahlah." Kehidupan yang aneh. Aku tersenyum.
"Kenapa tersenyum, Mas?"
Aku tak sempat menjawab, ketika telepon genggam si Menor berdering.
"Ada pelanggan ngajak ngamar. Menunggu di depan gerbang, Mas!"
Semringah ia terlihat. Sesuatu terasa menggeliat. Aku merogoh saku celana. Mengambil pena dan notes merah. Segera aku harus menuliskan kisah-kisah dari kota tuah.
Kota Ukir, 11 Maret 2019
Catatan: Senja di Pantai Kartini (Kisah-kisah dari Kota Tuah) merupakan sebuah Pernik (bagian) dari novel Kentut Presiden karya Kartika Catur Pelita.
Kartika Catur Pelita, lahir 11 Januari 1971. Penulis 700-an cerpen, 100 cerpen sudah dimuat di 60 media massa cetak dan daring, di antaranya : Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Haluan Padang, Sumut Pos, Analisa Medan, Koran Rakyat Sultra, Kendari Pos, Lampung Post, Solo Pos, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi, Info Muria, Okezone.com, SoearaMoeria.com, Nova, Kartini, Genie, Satelit Pos, Bangka Pos, Media Indonesia, Republika. Kompas. Buku fiksi “Perjaka”, “Balada Orang-orang Tercinta,” dan “Kentut Presiden.” Bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ). Bermukim di Jepara.
Aku berada di mana?
Bangunan porak-poranda. Gedung dan rumah ambruk, orang-orang merintih kesakitan. Pantai berpasir sampah dan mayat-mayat bergelimpangan. Patung kura-kura raksasa roboh? Apa yang tengah terjadi....?
"Di mana aku?"
"Sebuah kota lama.“
"Kota asing?”
“Dulu kota ini terkenal. Sampai ke mancanegara. Ukiran kayu yang indah. Banyak orang berduyun-duyun datang. Tak terkecuali orang asing. Membuka usaha. Bersaing dengan penduduk pribumi. Tapi ada pengusaha yang nakal. Persaingan membawa kebusukan. Preman menagih jatah. Belum lagi upeti dari oknum aparat keparat. Si orang asing satu demi satu hengkang mencari kota lain yang lebih sehat."
“Kota yang sunyi...”
“Dulu kota ini ramai. Perekonomian maju. Mobil, motor hilir mudik, menyemarakkan kota yang berada di ujung ini. Pagelaran musik sering diadakan. Pameran pembangunan, pengajian, dangdutan-bergoyang ngibing asyik. Mabuk sampai pagi. Trek-trekkan. Foya-foya ke pelacuran!"
"Kota yang menyedihkan..."
"Dulu kota ini menyenangkan. Kota santri, banyak orang mengaji. Tapi setelah itu pergi ke tempat maksiat. Orang-orang percaya Tuhan, membangun tempat ibadah, tapi demi kekayaan mencari pesugihan!".
"Kota yang memilukan..."
"Ketika banyak manusia berbuat semaunya. Ketika perintah Tuhan tak lagi dijalankan, jangan salahkan jika alam murka. Ketika manusia lebih percaya teknologi tanpa mengindahkan firman Tuhan, bersiaplah menerima kemalangan! Bersiaplah menyambut azab!
"Mengerikan...!"
"Kota ini hancur, penduduk jadi korban, ketika tsunami melanda, gempa menggoyang-pembangkit listrik bertenaga nuklir terkoyak!
Aku bagai melihat serpihan mozaik, bencana. Tsunami. Nuklir bocor. Korban berjatuhan, meregang nyawa, kiamat, melumat pada sebuah makam pada ujung senja sebuah pantai. Aku adalah satu korbannya?
Aku berlarian kencang ketika air hitam pekat setinggi pohon kelapa menerjang, aku terbawa arus, terseret deras gelombang. Dalam keputusasaan aku menyebut namaTuhanku!
***
Kesiur angin menerpa wajah keras, aku tersentak. Tergeregap. Tuhan, aku barusan pergi kemana?
Aku masih ada di pantai nan memesona. Tak ada bangunan roboh, kura-kura raksasa masih berdiri tegak!
Masih duduk di gazebo. Terpekur. Gerah. Berniat mencari masjid, numpang mandi, seraya menunggu saat magrib.
Bangkit, melangkah, teringat sesuatu. Meraba saku celana. Uangku tak ada. Padahal nilainya besar. Pemberian Tirta. Pemuda yang telah memolongku-saat kapal yang kunaiki tenggelam di perairan Pulau Mandalika. Ia menampungku beberapa hari di rumahnya di Benteng Portugis, Keling. Dan memberikan tabungannya. Aku berjanji akan menggantinya setelah aku pulang ke kotaku nanti. Semuanya kini hilang tak bersisa. Entah ketika aku tidur dompet itu jatuh, atau seseorang mengambilnya?
Aku harus meminta pertolongan orang, tapi tak ada yang kukenal di kota ini. Tapi aku mengenal Tuhanku. Aku duduk di bawah pohon, dengan sikap tawadlu, mendoa. Seseorang lelaki sepuh menghampiriku."Kau sedang dalam kesusahan?"
Aku mengiyakan.
"Kenapa?"
"Aku hendak pergi ke Jakarta. Dan uangku, bekalku hilang. "
"Kasihan."
"Kukira kota kecil ini aman. Ternyata..."
"Padahal di kota ini pernah lahir seorang Avatar Keadilan."
Ratu Shima menghukum putra mahkota dengan memotong kakinya. Siapa yang berbuat salah harus mendapatkan hukuman. Demi menegakkan keadilan!
"Seorang ratu yang benar-benar adil dan bijaksana. Sulit di zaman seperti ini seseorang bisa berlaku adil. Sering ketika melihat keadilan kita malah sengaja menutup mata. Pura-pura tak tahu. Demi nama baik sengaja menutup borok itu, atau malah mengorbankan pihak lain sebagai tumbal. Seorang anak yang mesti menikahi perempuan yang dihamili oleh bapaknya. Seorang mertua yang harus mendekam di penjara karena perbuatan menantu. Anak buah yang dibui demi menggantikan kesalahan si bos."
Aih, menyedihkan....
"Inilah kehidupan. Demi bertahan melanggengkan kekuasaan segala cara dilakukan, money politik, menebar hoax, pergi ke dukun minta tumbal atau mencari pusaka yang konon bisa untuk melanggengkan kekuasaan."
"Adakah? Benarkah?"
"Sang Penguasa menjabat puluhan tahun konon karena memiliki tombak Ratu Shima. Kharisma yang dimiliki tombak membuat rakyat atau bawahan tunduk pada apa yang diperintahkannya. Konon banyak orang berebutan untuk memperolehnya dengan berbagai cara. Minta pertolongan paranormal, melakukan semedi.
Tahukah kau jika kota ini, kota tertua. Di sinilah berada orang-orang linuwih, bermacam pusaka ampuh bersemayam. Jangan kau suruh pemimpinmu datang ke sini, kalau dia masih ingin melanggengkan kekuasaan!
Atau kau memiliki seseorang yang kau benci supaya jabatan, pangkatnya hilang, kuantarkan ke Sendang Sinatah. Kuambilkan airnya. Cipratkan di tanah yang akan dilangkahinya. Percayalah dia akan seperti orang linglung dan kemudian akan menjadi orang tolol, tanpa pangkat tanpa kedudukan! Sejarah mencatat ketika orang penting datang ke kota ini dia kan lengser dari keprabon."
"....."
"Terserah kau boleh memercayainya, atau menganggap yang kukatakan hanyalah angin lalu. Ada yang bisa kubantu untukmu. Aku hanya memiliki sedikit uang."
Dia memetik beberapa lembar daun, meremasnya dengan telapak tangan di dalam kantung kain kumal. Ia mengangsurkan lembaran uang kertas, yang menurutku cukup untuk ongkos dan makan selama seminggu.
"Bapak..."
"Panggil aku Kembara. Aku memang suka mengembara. Sama sepertimu. Mampir di kota tuah ini. Tujuanku... mati!"
Lalu dia berlalu dan hilang di balik rimbun pohon angsana. Kukira dia kencing, tapi ketika aku mendatanginya. Tak ada siapa-sia. Tapi ada bekas air bau wangi.
"Cari siapa, Mas?" seorang perempuan menor bertanya.
"Seorang bapak, tua, berjenggot, berambut putih."
"Dia tadi ke sana!" Menunjuk arah, aku mengejar. Yang kutemukan hanya angin. Aku kembali ke asal. Si Menor masih menungguku. Pada bangku kayu.
"Mas tidak menemukannya?"
"Dia seperti angin."
"Mengapa Mas tidak mencari yang dekat saja."
"Siapa?'
"Apakah kita tidak bisa sekadar mengobrol?"
"Maaf, aku sudah beristri."
"Aku juga sudah bersuami."
"Tapi kau berada di tempat seperti ini, pantai saat petang, apa yang kau cari?"
"Entahlah. Mungkin uang, mungkin lelaki, kalau ada perempuan yang mau, aku pun mau."
"...?"
"Aku begenggek."
"Begenggek?"
"Pelacur. Lonte. Tapi berada di dekatku bukan berarti kau harus melacur. Aku tahu kau lelaki baik-baik. Lelaki yang sayang, dan setia pada istri. Sebaliknya istrimu pun pasti sayang dan setia padamu."
"Kau tahu?"
"Aku bisa menebak dari manik matamu. Orang bijak berkata mata jendela hati. Matamu teduh, hatimu pun teduh. Walau saat ini mungkin kau resah."
"Aku ingin mewujudkan keinginan istriku yang sedang ngidam."
"Bahagianya menjadi calon bapak. Istrimu ngidam apa?"
“Kentut Presiden.”
“....”
Aku tersenyum. Terima kasih. "Kau...?"
"Aku dulu istri yang setia. Sampai kini pun aku merasa setia. Setidaknya setia pada hatiku untuk tetap bertahan agar anak-anakku tidak jadi patok kuburan. Aku menjadi pelacur demi bisa membeli beras. Suamiku bisa membeli nasi dan lauk. Tapi tak diberikan pada anak-istri, malah pada manuk-manuknya?'
"Burung?"
"Jangan berpikir ngeres! Jangan kau anggap suamiku homo dan suka burungnya lelaki. Tidak. Benar, suamiku suka manuk, burung sungguhan. Di rumah banyak memelihara burung. Perkutut, cucakrawa, murai, jalak,kepodang. Kerjanya sebagai tukang kayu habis untuk ngopeni manuk. Aku merasa tersisihkan..."
"Tapi mengapa harus melacur?"
"Demi uang dan sesuatu yang tak kudapatkan lagi dari suamiku. Sejak memelihara burung dia tak mau lagi menyentuhku. Entahlah." Kehidupan yang aneh. Aku tersenyum.
"Kenapa tersenyum, Mas?"
Aku tak sempat menjawab, ketika telepon genggam si Menor berdering.
"Ada pelanggan ngajak ngamar. Menunggu di depan gerbang, Mas!"
Semringah ia terlihat. Sesuatu terasa menggeliat. Aku merogoh saku celana. Mengambil pena dan notes merah. Segera aku harus menuliskan kisah-kisah dari kota tuah.
Kota Ukir, 11 Maret 2019
Catatan: Senja di Pantai Kartini (Kisah-kisah dari Kota Tuah) merupakan sebuah Pernik (bagian) dari novel Kentut Presiden karya Kartika Catur Pelita.
Kartika Catur Pelita, lahir 11 Januari 1971. Penulis 700-an cerpen, 100 cerpen sudah dimuat di 60 media massa cetak dan daring, di antaranya : Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Haluan Padang, Sumut Pos, Analisa Medan, Koran Rakyat Sultra, Kendari Pos, Lampung Post, Solo Pos, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi, Info Muria, Okezone.com, SoearaMoeria.com, Nova, Kartini, Genie, Satelit Pos, Bangka Pos, Media Indonesia, Republika. Kompas. Buku fiksi “Perjaka”, “Balada Orang-orang Tercinta,” dan “Kentut Presiden.” Bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ). Bermukim di Jepara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar