Selimut - Soeara Moeria

Breaking

Selasa, 27 November 2018

Selimut


Ilustrasi : google
Cerpen : Kartika Catur Pelita 

...Emang lagi manja/ lagi pengen dimanja/ pengen berduaan dengan dirimu saja/ emang lagi syantik tapi bukan sok syantik/ syantik syantik gini  hanya untuk dirimu...
     
Lepas maghrib bus terakhir sampai di terminal akhir pada satu kota kecil di pantai utara pulau Jawa. Pada layar teve di dalam bus, biduan  Pantura masih berjoget heboh mendendangakan tembang dangdut Lagi Syantik yang dipopulerkan si molek, Siti Badriah.
      
Lutfi merapatkan jaket, menggendong ransel di pundak. Perut terasa melilit. Lapar. Warung kecil pada sudut terminal. Menu sayur lodeh, telur ceplok, dan sambal menggoyang perut. Segelas kopi manis  menenteramkan hati, membakar semangat. Setelah makan,  menyulut rokok.  Asap mengapung. Berpikir sesuatu, ia kudu mencari tempat bermalam.
    
“Apakah ibu tahu penginapan terdekat dari sini?”
    
Si ibu pemilik warung mengiyakan. Beranjak menghampiri tukang ojek. Mereka berbincang sebentar.
    
“Mas mencari penginapan murah atau mahal?” tanya si tukang ojek berompi. Tegap, usianya sekitar tiga puluhan tahun. Khas aksen bahasa lokal kentara meski ia berkomunikasi  menggunakan Bahasa Indonesia. Seorang yang  ramah dan santun, seperti ibu pemilik warung yang makanannya enak dan berharga murah.
    
Lutfi tersenyum. Menyebutkan strata harga hotel yang diinginkan. Si pengojek merekomendasikan sebuah hotel. “Tak lebih  sepuluh menit dari sini. Mas bisa naik ojek saya.”
    
“Boleh.”
    
Si tukang ojek mengantarkan ke sebuah hotel melati di bibir pantai. Lutfi membayar ongkos. Menginap semalam. Tertidur. Terbangun saat hari sudah malam, saat sesuatu terasa memenuhi celananya. Ia harus melakukan sesuatu. Menuntaskan gairah. Mandi,  berganti baju, menuju lobi, bertemu romboy.

Ingin menikmati suasana hiburan malam kota ujung  para. Datang ke kota ini bukan untuk urusan kerja atau dinas. Sekadar jalan-jalan, memenuhi keinginan: bertualang. 

Romboy menyebutkan sebuah nama hiburan malam. Tertarik, bagaimana ia bisa  ke sana? Si romboy tertawa. ”Saya carikan ojek, Mas. Agak mahal. Tapi aman, dia tukang ojek langganan hotel ini!”
     
Lutfi menyatukan alis lebatnya. Memberikan tip. Beranjak dari lobi hotel saat si tukang ojek datang. Gegas  menghampiri, hendak membonceng, saat si tukang ojek tersenyum lebar padanya.  Si lelaki muda yang mengantarkannya ke hotel ini!
    
“Kamu ternyata...” tertawa dikulum.
    
“Saya ojek langganan hotel ini, Mas. Tetamu yang mencari sesuatu bisa pakai jasa saya. Cari oleh-oleh, pergi ke tempat wisata, tempat hiburan...”
    
“Ayolah jalan!”
    
Tukang ngojek mengiyakan. Lelaki muda tampan membonceng. Motor melaju pada penjuru kota.
    
“Kita ke mana, Mas?”
    
“Cari hiburan di kota ini.”
    
“Ke bar, cafe, karaoke,  atau tempat lain?’
    
“Tempat lain aja, Pak. Apakah di sini ada hiburan malam yang khas.”
    
“Maksud Mas?’
     
“Saya ingin pijat, Pak. Pegal setelah perjalanan jauh. Di malam dingin seprti ini  asyik untuk dipijat. “
    
“Pijat plus?”
    
“Penting cantik, tua dikit enggak apa?
    
“Kebetulan saya punya langganan, Mas. Gimana kalau saya antar ke sana?”
    
“Sip.”
    
Motor melaju  ke pinggiran kota. Kelak-kelok jalan. Melewati hutan jati.
    
“Kita ke mana, Pak?”
    
“Katanya Mas ingin pijat.”
    
“Rumahnya sejauh ini. Kalau pengin udah keluar di jalan dong, Pak.”
    
“Mas ada-ada saja. Kalau udah tidak tahan masukin  di lubang kepiting, hehe.”
    
“Hahaha, lecet dong, Pak.”
    
“Kita sudah sampai. Itu rumahnya!”
      
Sebuah rumah kayu ukuran sedang. Berhalaman luas. Sepasang pohon nangka menjaga. Sebuah pintu  jati. Kaca nako terlihat terang. Berarti penghuni belum tidur. Padahal sudah pukul sepuluh malam.
     
Si tukang ojek mengetuk pintu. Langkah kaki terdengar. Suara  gerendel pintu dikuak. Seraut perempuan-muda-usianya empat puluhan tahun, tersenyum ramah, hangat, semringah.
    
“Eeh, Pak Jo bawa tamu.”
    
“Apakah ada pasien, Yu?’
    
“Tidak, Kang. Sepi. Entah.”
    
“Saya bawain nih  anak muda. Ganteng. Pengen merasakan pijatan mautmu.”
     
“Aah, Pak Jo ada-ada saja. Silakan masuk.”
    
Ruang tamu yang lapang. Hanya ada seperangkat kursi usang. Pak Jo dan Sam menempatkan pantat.
    
“Mas dari mana?’
    
“Jakarta.”
    
“Ooh dari  kota.”  Si perempuan menyuguhkan segelas kopi panas. Harum.
   
 “Silakan diminum, Mas. Silakan kalau mau dipijat.”
    
Si perempuan membimbingnya ke sebuah kamar. Kamar mungil berambin kecil. Berkasur lembut dan menepuk wangi.
    
“Silakan buka kaosnya, Mas. Saya memijitnya biasa dari atas.”
    
“Terserah, bu, eh Mbak.”
    
“Panggil saja saya Mbak Narti.”

* * *
     
Terbangun. Pagi sudah menjelang datang. Cericit burung menguar. Lutfi menggeliat, tersadar saat melepas pandang dari jendela yang terbuka, rumah ini ternyata berada di pinggir hutan jati.  Udara segar. Khas. Menggigil saat ia tergeragap.

Ternyata  tak mengenakan apa-apa di balik selimut. Menyeringai puas teringat peristiwa semalam. Pengalaman takkan terlupakan.  Memandang dirinya di balik cermin almari di dalam kamar. Ke mana Mbak Narti? Mungkin ia sedang mandi?
     
Berbalut selimut keluar kamar, saat ia mendapati tukang ojek telah duduk merokok seraya  menikmati  segelas kopi di meja tamu.
    
“Bapak sudah ada di sini?”
    
“Tentu, Mas.  Ini sudah tugas saya. Saya jemput Mas.”
     
“Ya, saya mesti kembali ke hotel.”
     
“Iya, semalam mas malah nginap di sini.”
     
“Keenakan Pak, setelah dipijat sama Mbak Narti.”
    
“Gimana rasa pijatnya, Mas?”
    
“Puas dan puas, Pak, sampai saya ngulang beberapa kali.”
    
“Mas masih muda pasti sangat kuat.”
    
“Kayak bapak enggak pernah muda saja, hehe. “
    
“Maksud saya, saya tak keliru merekomendasikan tukang pijat pada Mas.”
    
“Sip. Saya mandi dulu, Pak.”
      Setelah mandi dan berganti baju, ia menemani menyeruput kopi pagi hari di  sebuah rumah  sejuk di  bibir  hutan.
    
“Kopinya sangat enak, Pak. Pasti yang bikin Mbak Narti.”
    
“Iya, sebelum Mbak Narti berangkat ke pasar.”
    
“Belanja?”
    
“Tidak. Selain memijat, Mbak Narti jualan di pasar. Jualan apa saja. Bawa pisang, nangka, durian, sayuran.
    
“O, gitu. Padahal saya ingin bertemu Mbak Narti, semalam belum bayar. Hehe.”
    
“Mas boleh bayar pada saya. Nanti saya serahkan pada Mbak Narti.”
    
“Boleh. Sekalian ongkos ojeknya, Pak.”
     
Setelah pembayaran, ia membonceng ojek dan diantar ke hotel. Hari itu berencana meninggalkan kota kecil dilingkup hutan jati, untuk melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya. Tukang ojek menguntai pesan, ” Selamat jalan. Hati-hati, Mas. Oya, jangan lupa jika suatu ketika singgah di kota ini temui saya. Saya antarkan lagi ke Mbak Narti.”
      
Lutfi tertawa.

* * *
     
Sepulang mengantar tamu, si tukang  ojek mendatangi rumah berpagar sepasang pohon nangka di bibir  hutan. Ia mengetuk pintu. Seorang perempuan muda-usia tiga puluhan tahun hangat menguakkan daun  pintu jati.
    
“Jam segini sudah...”
    
“Saya ngantar bayaran pijat semalam dari orang kota itu.”
    
“Ia bayar berapa?”
      
Pak Jo mengangsurkan  lima lembar uang seratus ribuan.
    
Si perempuan menerima uang dengan binar bungah. ”Alhamdulillah. Kang. Kita bisa bayar uang LKS si Nang dan belikan sepatunya yang sudah sobek.” (*)

                                                      
Kota Ukir, 26 Januari 2017 - 12 Mei 2018


__Kartika Catur Pelita, lahir 11 Januari 1971. Prosa dan puisi  dimuat  beberapa media cetak dan  online, di antaranya Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Republika, dan Media Indonesia. Buku fiksi “Perjaka”, “Balada Orang-orang Tercinta.”  Bermukim dan  bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar