![]() |
Ilustrasi : google |
Cerpen : Kartika Catur Pelita
...Emang lagi manja/ lagi pengen dimanja/ pengen berduaan dengan dirimu saja/ emang lagi syantik tapi bukan sok syantik/ syantik syantik gini hanya untuk
dirimu...
Lepas maghrib bus terakhir sampai di terminal
akhir pada satu kota kecil di pantai utara pulau Jawa. Pada layar teve di dalam
bus, biduan Pantura masih berjoget heboh
mendendangakan tembang dangdut Lagi Syantik yang dipopulerkan si molek, Siti
Badriah.
Lutfi merapatkan jaket, menggendong ransel di pundak. Perut
terasa melilit. Lapar. Warung kecil pada sudut terminal. Menu sayur
lodeh, telur ceplok, dan sambal menggoyang perut. Segelas kopi manis menenteramkan hati, membakar semangat. Setelah
makan, menyulut rokok. Asap mengapung. Berpikir sesuatu, ia kudu
mencari tempat bermalam.
“Apakah ibu tahu penginapan terdekat dari
sini?”
Si ibu pemilik warung mengiyakan. Beranjak
menghampiri tukang ojek. Mereka berbincang sebentar.
“Mas mencari penginapan murah atau mahal?”
tanya si tukang ojek berompi. Tegap, usianya sekitar tiga puluhan tahun. Khas
aksen bahasa lokal kentara meski ia berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia. Seorang
yang ramah dan santun, seperti ibu pemilik
warung yang makanannya enak dan berharga murah.
Lutfi tersenyum. Menyebutkan strata harga hotel
yang diinginkan. Si pengojek merekomendasikan sebuah hotel. “Tak lebih sepuluh menit dari sini. Mas bisa naik ojek saya.”
“Boleh.”
Si tukang ojek mengantarkan ke sebuah hotel
melati di bibir pantai. Lutfi membayar ongkos. Menginap semalam. Tertidur. Terbangun
saat hari sudah malam, saat sesuatu terasa memenuhi celananya. Ia harus
melakukan sesuatu. Menuntaskan gairah. Mandi, berganti baju, menuju lobi, bertemu romboy.
Ingin menikmati suasana hiburan malam kota
ujung para. Datang ke kota ini bukan
untuk urusan kerja atau dinas. Sekadar jalan-jalan, memenuhi keinginan:
bertualang.
Romboy menyebutkan sebuah nama hiburan malam.
Tertarik, bagaimana ia bisa ke sana? Si romboy tertawa. ”Saya carikan
ojek, Mas. Agak mahal. Tapi aman, dia tukang ojek langganan hotel ini!”
Lutfi menyatukan alis lebatnya. Memberikan tip. Beranjak dari lobi hotel saat si tukang
ojek datang. Gegas menghampiri, hendak
membonceng, saat si tukang ojek tersenyum lebar padanya. Si lelaki muda yang mengantarkannya ke hotel
ini!
“Kamu ternyata...” tertawa dikulum.
“Saya ojek langganan hotel ini, Mas. Tetamu
yang mencari sesuatu bisa pakai jasa saya. Cari oleh-oleh, pergi ke tempat
wisata, tempat hiburan...”
“Ayolah jalan!”
Tukang ngojek
mengiyakan. Lelaki muda tampan membonceng. Motor melaju pada penjuru kota.
“Kita ke mana, Mas?”
“Cari hiburan di kota ini.”
“Ke bar, cafe, karaoke, atau tempat lain?’
“Tempat lain aja, Pak. Apakah di sini ada
hiburan malam yang khas.”
“Maksud Mas?’
“Saya ingin pijat, Pak. Pegal setelah perjalanan
jauh. Di malam dingin seprti ini asyik untuk dipijat. “
“Pijat plus?”
“Penting cantik, tua dikit enggak apa?”
“Kebetulan saya punya langganan, Mas. Gimana
kalau saya antar ke sana?”
“Sip.”
Motor melaju
ke pinggiran kota. Kelak-kelok jalan. Melewati hutan jati.
“Kita ke mana, Pak?”
“Katanya Mas ingin pijat.”
“Rumahnya sejauh ini. Kalau pengin udah keluar di jalan dong, Pak.”
“Mas ada-ada saja. Kalau udah tidak tahan
masukin di lubang kepiting, hehe.”
“Hahaha, lecet dong, Pak.”
“Kita sudah sampai. Itu rumahnya!”
Sebuah rumah kayu ukuran sedang. Berhalaman luas.
Sepasang pohon nangka menjaga. Sebuah pintu
jati. Kaca nako terlihat terang. Berarti penghuni belum tidur. Padahal
sudah pukul sepuluh malam.
Si tukang ojek mengetuk pintu. Langkah kaki
terdengar. Suara gerendel pintu dikuak.
Seraut perempuan-muda-usianya empat puluhan tahun, tersenyum ramah, hangat,
semringah.
“Eeh, Pak Jo bawa tamu.”
“Apakah ada pasien, Yu?’
“Tidak, Kang. Sepi. Entah.”
“Saya bawain nih anak muda. Ganteng. Pengen merasakan pijatan
mautmu.”
“Aah, Pak Jo ada-ada saja. Silakan masuk.”
Ruang tamu yang lapang. Hanya ada seperangkat
kursi usang. Pak Jo dan Sam menempatkan pantat.
“Mas dari mana?’
“Jakarta.”
“Ooh dari
kota.” Si perempuan menyuguhkan
segelas kopi panas. Harum.
“Silakan diminum, Mas. Silakan kalau mau
dipijat.”
Si perempuan membimbingnya ke sebuah
kamar. Kamar mungil berambin kecil. Berkasur lembut dan menepuk wangi.
“Silakan buka kaosnya, Mas. Saya memijitnya
biasa dari atas.”
“Terserah, bu, eh Mbak.”
“Panggil saja saya Mbak Narti.”
* * *
Terbangun. Pagi sudah menjelang datang.
Cericit burung menguar. Lutfi menggeliat, tersadar saat melepas pandang dari
jendela yang terbuka, rumah ini ternyata berada di pinggir hutan jati. Udara segar. Khas. Menggigil
saat ia tergeragap.
Ternyata
tak mengenakan apa-apa di balik selimut. Menyeringai
puas teringat peristiwa semalam. Pengalaman
takkan terlupakan. Memandang dirinya di balik cermin almari di dalam kamar.
Ke mana Mbak Narti? Mungkin ia sedang mandi?
Berbalut selimut keluar kamar, saat ia
mendapati tukang ojek telah duduk merokok seraya menikmati
segelas kopi di meja tamu.
“Bapak sudah ada di sini?”
“Tentu, Mas.
Ini sudah tugas saya. Saya jemput Mas.”
“Ya, saya mesti kembali ke hotel.”
“Iya, semalam mas malah nginap di sini.”
“Keenakan Pak, setelah dipijat sama Mbak Narti.”
“Gimana rasa pijatnya, Mas?”
“Puas dan puas, Pak, sampai saya ngulang beberapa kali.”
“Mas masih muda pasti sangat kuat.”
“Kayak bapak enggak pernah muda saja, hehe. “
“Maksud saya, saya tak keliru merekomendasikan tukang pijat pada Mas.”
“Sip. Saya mandi dulu, Pak.”
Setelah mandi dan berganti baju, ia menemani menyeruput kopi pagi hari
di sebuah rumah sejuk di bibir hutan.
“Kopinya sangat enak, Pak. Pasti yang bikin
Mbak Narti.”
“Iya, sebelum Mbak Narti berangkat ke pasar.”
“Belanja?”
“Tidak. Selain memijat, Mbak Narti jualan di
pasar. Jualan apa saja. Bawa pisang, nangka, durian, sayuran.
“O, gitu. Padahal saya ingin bertemu Mbak
Narti, semalam belum bayar. Hehe.”
“Mas boleh bayar pada saya. Nanti saya serahkan
pada Mbak Narti.”
“Boleh. Sekalian ongkos ojeknya, Pak.”
Setelah pembayaran, ia membonceng
ojek dan diantar ke hotel. Hari itu berencana meninggalkan kota kecil dilingkup
hutan jati, untuk melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya. Tukang ojek
menguntai pesan, ” Selamat jalan. Hati-hati, Mas. Oya, jangan lupa jika suatu
ketika singgah di kota ini temui saya. Saya antarkan lagi ke Mbak Narti.”
Lutfi tertawa.
* * *
Sepulang mengantar tamu, si
tukang ojek mendatangi rumah berpagar sepasang
pohon nangka di bibir hutan. Ia mengetuk
pintu. Seorang perempuan muda-usia tiga puluhan tahun hangat menguakkan daun pintu jati.
“Jam segini sudah...”
“Saya ngantar
bayaran pijat semalam dari orang kota itu.”
“Ia bayar berapa?”
Pak Jo mengangsurkan lima lembar uang seratus ribuan.
Si perempuan menerima uang dengan binar
bungah. ”Alhamdulillah. Kang. Kita
bisa bayar uang LKS si Nang dan belikan sepatunya yang sudah sobek.” (*)
Kota Ukir, 26 Januari
2017 - 12
Mei 2018
__Kartika Catur Pelita, lahir 11 Januari 1971. Prosa
dan puisi dimuat beberapa media cetak dan online, di antaranya Pikiran Rakyat, Suara
Merdeka, Suara Pembaruan, Republika, dan Media Indonesia. Buku fiksi “Perjaka”,
“Balada Orang-orang Tercinta.” Bermukim dan bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar