![]() |
Ilustrasi : google |
Cerpen : M Faizul Kamal
Semangkuk
mi instan Yu Darsini membuat Sumar dan ketiga kawannya ketagihan. Mi instan berkuah
seperti kaldu kental itu terasa asin lezat. Taburan bawang goreng membuatnya
lengkap, gurih, dan terasa lekat di lidah. Yu Darsini tidak menggunakan bumbu
kemasan mi instan. Dia membuat racikan sendiri. Itulah mengapa rasanya khas.
Sumar,
Cecep, Kibul, dan Harun biasa ke warung Yu Darsini setelah salat jamaah isya di
masjid kampung. Mereka itulah pelanggan setia yang khusus setiap malam membeli
mi instan di warungnya.
Tak
ada yang mengetahui kelezatan mi instan Yu Darsini selain mereka berempat. Toh,
jika ada yang kebetulan memesan mi, Yu Darsini membuatkan mi instan biasa tanpa
menambahkan bumbu khasnya. Dia sengaja merahasiakan hal itu. Dia tak ingin
menambah pelanggan khusus. Cukup Sumar, Cecep, Kibul, dan Harun.
Mereka
berempat sepakat untuk ikut menjaga rahasia kelezatan mi Yu Darsini. Mereka bahkan
mengatur giliran makan mi agar orang-orang tak curiga. Jika malam Sabtu Sumar,
maka malam Minggu si Cecep, begitu hari selanjutnya sampai giliran Harun, dan
kembali ke Sumar.
*
Malam
ini warung Yu Darsini sepi. Tidak ada orang-orang yang biasa ngopi sampai
dini hari. Kali ini yang ngopi hanya seorang kakek. Ia sendirian. Dan,
Yu Darsini tidak yakin kakek itu akan bertahan sampai larut malam.
Pandangan
Yu Darsini terlempar ke sebuah jalan yang gelap. Dia seperti mencari-cari seseorang.
“Tumben
mereka ndak ke sini.” gumamnya.
“Gorengan,
Yu!”
Si
Kakek membuyarkan lamunan Yu Darsini. Ia tahu, itu tanda bahwa kakek minta
tambah lagi gorengannya. Ketika hendak mengambilkan gorengan permintaan si kakek,
tiba-tiba Sumar, Cecep, Kibul, dan Harun terlihat dari jalan. Ketika sampai
warung, tanpa dipersilakan, mereka nyerobot masuk.
Melihat
kedatangan empat lelaki itu, wajah Yu Darsini semringah. Bibir bergincu merah
tebal terlihat begitu senyumnya mengembang. Tubuh Yu Darsini mendadak sigap.
Kedua tangannya yang basah digosok-gosokkan pada daster agar cepat kering. Yu
Darsini memang selalu mengenakan daster di warungnya. Daster tanpa lengan.
“Daster
kesayangan untuk pelanggan tersayang,” kata Yu Darsini jika ada yang bertanya
mengapa ia selalu memakai daster itu.
Ketika
Yu Darsini mengambil kain lap di meja depan mereka, Cecep tiba-tiba melotot dan
menyenggol Sumar. Sumar pun langsung menutup mulutnya dengan tangan kanan.
Mereka berdua saling memandang. Tapi tak satu pun suara keluar dari mereka.
Rupanya, Cecep dan Sumar melihat bulu ketiak Yu Darsini yang lebat dan agak
basah.
Harun
dan Kibul yang duduk agak jauh seperti meminta penjelasan dan konfirmasi dari Cecep
dan Sumar. Cecep mengangkat tangan kanannya dengan sikap sayap ayam. Alisnya
naik-naik. Ketiganya menahan tawa.
Sementara
itu, Sumar menggetarkan tubuhnya. Ia membayangkan betapa baunya bulu ketiak
selebat itu. Tapi, Harun segera melambaikan tangan. Ia lapar dan menyudahi
terkaan-terkaan yang mulai meracuni selera makan.
Harun
melihat teman-temannya yang berkasak-kusuk. Padahal, dia ingin segera memesan
mi. Tapi kawan-kawannya masih saja membayangkan ketiak Yu Darsini.
“Yu,
saya pesan mi,” Cecep tiba-tiba mengawali.
“Sekalian
semuanya saja. Mumpung lagi sepi,” sahut Harun.
“Iya
sekalian semuanya,” sambut Sumar.
“Kalian
mau kubuatkan mi lebih lezat dari yang sebelumnya?” Yu Darsini menawarkan.
“Emang
bisa lebih lezat lagi, ya?” cetus Cecep.
“Kalau
mau dibuatkan yang lebih lezat lagi, ya, silakan,” Sumar menerima tawaran Yu
Darsini.
“Hemmm…”
Kibul mendeham dan matanya mengerling. Dia bimbang.
“Aku seperti
kemarin aja, Yu.” Harun angkat bicara.
“Ya sudah,
berarti cuma Sumar yang kubuatkan racikan baru?”
“Iya,
biar Sumar saja,” kata Cecep.
“Hemm…
Iya, iya, tunggu sebentar aku buatkan,” kata Yu Darsini sambil berjalan ke belakang.
Sumar
dan kawan-kawannya menunggu sambil mengobrol ringan. Mereka tampak riang,
barangkali karena warung Yu Darsini sepi.
Tak
lama kemudian, mi pesanan mereka sudah jadi. Sumar yang memilih resep masakan
terbaru, mencoba membandingkan dengan masakan mi biasanya.
Sepintas,
mi yang dipesan Sumar tidak jauh beda. Hanya saja, kuahnya lebih kuning seperti
kuah kari. Sumar mengaduk-aduk mi agar bumbunya merata, lalu perlahan-lahan
memakannya. Dia mengunyah pelan-pelan, merasakan perlahan-lahan. Cecep, Kibul, dan
Harun menunggu Sumar berbicara, apakah mi yang dia makan lebih enak dari
biasanya.
“Wauw!
Kalian harus mencoba ini.” Sumar mengiming-imingi.
“Alah,
apa iya lebih enak?” tanya Cecep dengan nada meremehkan.
“Beneran,
aku tidak bohong.”
Cecep
melirik mangkuk Sumar. Dia sedang merencanakan sesuatu. Dan benar saja, dia
tiba-tiba mengambil mangkuk Sumar tanpa bilang-bilang, kemudian memakannya.
Satu suap pertama dia berhenti.
“Emm…
Enak juga, ya,” gumamnya.
Cecep
pun memakannya dengan lahap. Rakus. Seperti terburu-buru.
“Loh!
Kok kamu ambil?” Sumar kaget sekaligus cemas.
Cecep abai
dengan Sumar. Dia terus memakannya. Kunyahannya begitu cepat. Sumar
menarik-narik tangan Cecep hingga kuah mi tumpah sedikit. Cecep tak bergidik,
dia meneruskan makannya. Yu Darsini tergelak melihat tingkah dua pelanggannya.
Sedangkan Kibul dan Harun, dalam batinnya ingin sekali merasakan mi itu. Mereka
sedikit menyesal tidak menerima tawaran Yu Darsini.
Ketika
Cecep dan Sumar masih saja berebut mi, Yu Darsini tiba-tiba berjalan ke
belakang. Ternyata dia mengambil botol berisi air kental. Entah untuk apa air
dalam botol itu. Dia membawanya. Menunjukkan kepada mereka berempat.
“Inilah
yang membuat mi itu enak.”
Perkataan
Yu Darsini membuat Sumar dan Cecep berhenti memperebutkan mi. Mereka melihat
botol itu, begitu juga Kibul dan Harun.
“Apa
itu, Yu?” tanya Kibul.
“Ini
air ingusku. Air ini aku kumpulkan ketika flu. Air ingus inilah yang menjadi campuran
di kuah mi yang dipesan Sumar.” Jawab Yu Darsini tanpa beban.
Kibul
dan Harun melongo mendengarnya. Mereka kaget mendengar perkataan Yu Darsini.
Sumar dan Cecep menelan ludah karena mau muntah namun ditahan-tahan. Mata
mereka berair. Mereka membayangkan botol berisi air kental kekuning-kuningan
itu.
Yu
Darsini tiba-tiba kembali ke belakang. Di sana dia mengambil dua wadah kotak
kecil. Satunya berisi air bening, satunya berisi bawang goreng.
“Kalau
ini bawang goreng yang kucampur upil,” kata Yu Darsini dengan santai seolah
tanpa dosa.
“Sedangkan
ini air ketiak yang kukumpulkan ketika keringat mengucur, lalu kumasukkan ke
dalam wadah. Dan, mengapa saya menggunakan daster setiap hari, ya, untuk
memudahkan keringat yang keluar dari ketiak,” lanjutnya.
Sumar
dan Cecep muntah. Kibul dan Harun juga muntah. Mereka ingin mengeluarkan
seluruh mi yang selama ini mereka makan. (*)