Resep Rahasia Mi Instan Yu Darsini - Soeara Moeria

Breaking

Jumat, 16 November 2018

Resep Rahasia Mi Instan Yu Darsini


Ilustrasi : google

Cerpen : M Faizul Kamal

Semangkuk mi instan Yu Darsini membuat Sumar dan ketiga kawannya ketagihan. Mi instan berkuah seperti kaldu kental itu terasa asin lezat. Taburan bawang goreng membuatnya lengkap, gurih, dan terasa lekat di lidah. Yu Darsini tidak menggunakan bumbu kemasan mi instan. Dia membuat racikan sendiri. Itulah mengapa rasanya khas.
       
Sumar, Cecep, Kibul, dan Harun biasa ke warung Yu Darsini setelah salat jamaah isya di masjid kampung. Mereka itulah pelanggan setia yang khusus setiap malam membeli mi instan di warungnya.

Tak ada yang mengetahui kelezatan mi instan Yu Darsini selain mereka berempat. Toh, jika ada yang kebetulan memesan mi, Yu Darsini membuatkan mi instan biasa tanpa menambahkan bumbu khasnya. Dia sengaja merahasiakan hal itu. Dia tak ingin menambah pelanggan khusus. Cukup Sumar, Cecep, Kibul, dan Harun.

Mereka berempat sepakat untuk ikut menjaga rahasia kelezatan mi Yu Darsini. Mereka bahkan mengatur giliran makan mi agar orang-orang tak curiga. Jika malam Sabtu Sumar, maka malam Minggu si Cecep, begitu hari selanjutnya sampai giliran Harun, dan kembali ke Sumar.
*
Malam ini warung Yu Darsini sepi. Tidak ada orang-orang yang biasa ngopi sampai dini hari. Kali ini yang ngopi hanya seorang kakek. Ia sendirian. Dan, Yu Darsini tidak yakin kakek itu akan bertahan sampai larut malam.

Pandangan Yu Darsini terlempar ke sebuah jalan yang gelap. Dia seperti mencari-cari seseorang.

“Tumben mereka ndak ke sini.” gumamnya.

“Gorengan, Yu!”

Si Kakek membuyarkan lamunan Yu Darsini. Ia tahu, itu tanda bahwa kakek minta tambah lagi gorengannya. Ketika hendak mengambilkan gorengan permintaan si kakek, tiba-tiba Sumar, Cecep, Kibul, dan Harun terlihat dari jalan. Ketika sampai warung, tanpa dipersilakan, mereka nyerobot masuk.

Melihat kedatangan empat lelaki itu, wajah Yu Darsini semringah. Bibir bergincu merah tebal terlihat begitu senyumnya mengembang. Tubuh Yu Darsini mendadak sigap. Kedua tangannya yang basah digosok-gosokkan pada daster agar cepat kering. Yu Darsini memang selalu mengenakan daster di warungnya. Daster tanpa lengan.

“Daster kesayangan untuk pelanggan tersayang,” kata Yu Darsini jika ada yang bertanya mengapa ia selalu memakai daster itu.

Ketika Yu Darsini mengambil kain lap di meja depan mereka, Cecep tiba-tiba melotot dan menyenggol Sumar. Sumar pun langsung menutup mulutnya dengan tangan kanan. Mereka berdua saling memandang. Tapi tak satu pun suara keluar dari mereka. Rupanya, Cecep dan Sumar melihat bulu ketiak Yu Darsini yang lebat dan agak basah.

Harun dan Kibul yang duduk agak jauh seperti meminta penjelasan dan konfirmasi dari Cecep dan Sumar. Cecep mengangkat tangan kanannya dengan sikap sayap ayam. Alisnya naik-naik. Ketiganya menahan tawa.

Sementara itu, Sumar menggetarkan tubuhnya. Ia membayangkan betapa baunya bulu ketiak selebat itu. Tapi, Harun segera melambaikan tangan. Ia lapar dan menyudahi terkaan-terkaan yang mulai meracuni selera makan.

Harun melihat teman-temannya yang berkasak-kusuk. Padahal, dia ingin segera memesan mi. Tapi kawan-kawannya masih saja membayangkan ketiak Yu Darsini.

“Yu, saya pesan mi,” Cecep tiba-tiba mengawali.

“Sekalian semuanya saja. Mumpung lagi sepi,” sahut Harun.

“Iya sekalian semuanya,” sambut Sumar.

“Kalian mau kubuatkan mi lebih lezat dari yang sebelumnya?” Yu Darsini menawarkan.

“Emang bisa lebih lezat lagi, ya?” cetus Cecep.

“Kalau mau dibuatkan yang lebih lezat lagi, ya, silakan,” Sumar menerima tawaran Yu Darsini.

“Hemmm…” Kibul mendeham dan matanya mengerling. Dia bimbang.

“Aku seperti kemarin aja, Yu.” Harun angkat bicara.

“Ya sudah, berarti cuma Sumar yang kubuatkan racikan baru?”

“Iya, biar Sumar saja,” kata Cecep.

“Hemm… Iya, iya, tunggu sebentar aku buatkan,” kata Yu Darsini sambil berjalan ke belakang.

Sumar dan kawan-kawannya menunggu sambil mengobrol ringan. Mereka tampak riang, barangkali karena warung Yu Darsini sepi.

Tak lama kemudian, mi pesanan mereka sudah jadi. Sumar yang memilih resep masakan terbaru, mencoba membandingkan dengan masakan mi biasanya.

Sepintas, mi yang dipesan Sumar tidak jauh beda. Hanya saja, kuahnya lebih kuning seperti kuah kari. Sumar mengaduk-aduk mi agar bumbunya merata, lalu perlahan-lahan memakannya. Dia mengunyah pelan-pelan, merasakan perlahan-lahan. Cecep, Kibul, dan Harun menunggu Sumar berbicara, apakah mi yang dia makan lebih enak dari biasanya.

“Wauw! Kalian harus mencoba ini.” Sumar mengiming-imingi.

“Alah, apa iya lebih enak?” tanya Cecep dengan nada meremehkan.

“Beneran, aku tidak bohong.”

Cecep melirik mangkuk Sumar. Dia sedang merencanakan sesuatu. Dan benar saja, dia tiba-tiba mengambil mangkuk Sumar tanpa bilang-bilang, kemudian memakannya. Satu suap pertama dia berhenti.

“Emm… Enak juga, ya,” gumamnya.

Cecep pun memakannya dengan lahap. Rakus. Seperti terburu-buru.

“Loh! Kok kamu ambil?” Sumar kaget sekaligus cemas.

Cecep abai dengan Sumar. Dia terus memakannya. Kunyahannya begitu cepat. Sumar menarik-narik tangan Cecep hingga kuah mi tumpah sedikit. Cecep tak bergidik, dia meneruskan makannya. Yu Darsini tergelak melihat tingkah dua pelanggannya. Sedangkan Kibul dan Harun, dalam batinnya ingin sekali merasakan mi itu. Mereka sedikit menyesal tidak menerima tawaran Yu Darsini.

Ketika Cecep dan Sumar masih saja berebut mi, Yu Darsini tiba-tiba berjalan ke belakang. Ternyata dia mengambil botol berisi air kental. Entah untuk apa air dalam botol itu. Dia membawanya. Menunjukkan kepada mereka berempat.

“Inilah yang membuat mi itu enak.”

Perkataan Yu Darsini membuat Sumar dan Cecep berhenti memperebutkan mi. Mereka melihat botol itu, begitu juga Kibul dan Harun.  

“Apa itu, Yu?” tanya Kibul.

“Ini air ingusku. Air ini aku kumpulkan ketika flu. Air ingus inilah yang menjadi campuran di kuah mi yang dipesan Sumar.” Jawab Yu Darsini tanpa beban.

Kibul dan Harun melongo mendengarnya. Mereka kaget mendengar perkataan Yu Darsini. Sumar dan Cecep menelan ludah karena mau muntah namun ditahan-tahan. Mata mereka berair. Mereka membayangkan botol berisi air kental kekuning-kuningan itu.

Yu Darsini tiba-tiba kembali ke belakang. Di sana dia mengambil dua wadah kotak kecil. Satunya berisi air bening, satunya berisi bawang goreng.

“Kalau ini bawang goreng yang kucampur upil,” kata Yu Darsini dengan santai seolah tanpa dosa.

“Sedangkan ini air ketiak yang kukumpulkan ketika keringat mengucur, lalu kumasukkan ke dalam wadah. Dan, mengapa saya menggunakan daster setiap hari, ya, untuk memudahkan keringat yang keluar dari ketiak,” lanjutnya.

Sumar dan Cecep muntah. Kibul dan Harun juga muntah. Mereka ingin mengeluarkan seluruh mi yang selama ini mereka makan. (*) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar