Jeruji Sepeda - Soeara Moeria

Breaking

Senin, 23 Juli 2018

Jeruji Sepeda


Ilustrasi : google
Cerpen Kartika Catur Pelita

Ayu pulang sekolah terlambat.  Nenek Siti sudah menunggu dengan gelisah. Nenek  berumur 65 tahun itu berjalan hilir mudik  di pekarangan rumah. Sesekali melihat jalan raya di depan rumahnya. Jalur angkutan kota yang  ramai lalu lalang kendaraan.
       
Sudah satu jam lebih Ayu terlambat pulang.  Bocah perempuan  kelas 4 SD itu biasanya sudah pulang pukul 12.  Tapi sekarang sudah pukul satu siang dan Ayu belum pulang.
       
Nenek Siti benar-benar dilanda kegelisahan. Ada apa dengan Ayu, mengapa belum pulang? Padahal jarak rumah sekolahnya tak jauh. Setiap hari Ayu berjalan  kaki  pergi dan pulang sekolah. Jarak sekolah-rumahnya hanya 500 meter. Berjalan kaki dibutuhkan waktu sekitar setengah jam.
       
Nenek Siti  kembali berjalan ke pekarangan depan, menengok jalanan. Siapa tahu Ayu sedang berjalan menuju rumah.
       
Setelah  beberapa waktu dilanda  kegelisahan  akhirnya Nenek Siti  bersorak senang, menghela nafas syukur ketika dari kejauhan dia melihat  cucunya pulang. 

Tas merah dan sepatu merah Ayu melambai.  Tapi mengapa Ayu pulang tak berjalan kaki? Siapa kakek  kurus yang mengantar Ayu pulang dengan naik  sepeda motor?
       
Ayuk..!” Nenek Siti Zulaikah mendekat. Sepeda motor kembali melaju. Ayu melangkah terpincang-pincang. Nenek Siti terheran.
       
”Ayuk.. sayang. Kamu kenapa?” Nenek yang sangat menyayanginya itu terlihat kuatir.
       
Ayu menangis. ”Kaki Auk sakit, Nek.  Kaki Auk terluka. Sakit-sakit..” Ayu menangis kencang.
       
Nenek Siti  malah bingung. Untung Mang Cunong, paman Ayu datang.
       
”Ada apa, Bu?”
      
”Keponakanmu kakinya terluka. Entah kenapa...”
       
Mang Cunong segera memeriksa kaki Ayu. Kaget mendapati sepatu Ayu robek. Kaos kaki juga robek. Dan kaki Ayu juga robek. Mang Cunong  membujuk agar Ayu menceritakan  peristiwa apa yang telah terjadi  menimpanya.
       
”Ceritakanlah, Ayu. Tak usah takut pada Paman. Tak usah takut pada Nenek. Kami takkan  memarahimu.”
       
Sambil menangis terbata-bata Ayu menceritakan kronologis kejadian.
      
Ketika Ayu pulang sekolah. Di tengah perjalanan pulang Ayu  bertemu Ira  teman sebangkunya. Ira yang naik sepeda menawari membonceng.
   
”Ayolah, Yuk. Naik sepedaku...”
      
Enggak, enggak...” Ayu menolak.
       
”Naik deh Yuk.  Kuantar sampai ke rumah.”
       
Enggak...” Ayu menolak. Tapi Ira terus memaksa.”Sudah, Yuk,  naik aja.  Kamu aku boncengin. Kamu tidak capek jalan kaki melulu.”
       
Ira terus merayu. Akhirnya  hati  Ayu luluh juga.
       
”Tapi benarkan kamu kuat boncengin aku?”  Ayu kuatir  karena tubuhnya lebih bongsor daripada Ira.
      
”Ayu, udah  deh,  naik aja!”  Ira menyuruh.
      
Ayu menurut.  Ayu menaiki sepeda.  Tapi karena tak   pernah  bonceng  sepeda Ayu tak merenggangkan  dan mengangkat kakinya. Sehingga ketika Ira menggerakkan sepeda jari-jari kaki Ayu masuk sepeda!
      
Ayu menjerit kesakitan.
      
Ira panik. Ira bingung. Ira ketakutan.
      
Akhirnya  Ira  membawa Ayu pulang ke rumahnya. Kaki Ayu  yang masuk  ke ruji sepeda-terluka, berdarah. Kakek Ira mencari  obat merah. Tapi tak menemukan. Lelaki tua itu malah mengambil salep dan mengoleskannya pada luka Ayu. Lalu mengantar Ayu pulang.
      
Ayu  masih bercerita sambil  menangis. Kakinya kini terasa sakit  dan perih. Mang Cunong segera  mengompres dengan air hangat,  setelah membersihkan luka dengan antiseptik
       
Nenek Siti  marah-marah. ”Orang tak bertanggung jawab.  Sudah bikin celaka anak orang!”
      
”Sudahlah, Bu.”  Mang Cunong menangkan  hati ibunya.
      
”Mengapa kakek itu sangat bodoh, Nong. Kaki luka berdarah malah diberi salep. Bukannya dibawa ke dokter atau Puskesmas. Bagaimana kalau luka infeksi?”
      
”Semoga tidak, Bu.”
      
”Apakah sepeda temanmu  baru atau sudah karatan, Yuk?”
      
Auk tak tahu. Auk tak tahu. Huuuh.”  Ayu malah menangis. Ketakutan melihat Nenek marah-marah.

* * *
      
Mang Cunong  membawa Ayu ke dokter praktik. Dokter memeriksanya. Katanya Ayu tak perlu  disuntik ATS.
      
”Lukanya tak parah. Lukanya juga sudah dibersihkan.
      
”Ya, dokter.”
      
Dokter tidak menyuntik Ayu. Dokter  wanita yang ramah itu  lalu memberi beberapa obat  untuk diminum.
      
”Lain   kali  kalau naik sepeda hati-hati anak cantik.  Jangan sampai kakimu masuk ruji lagi.  Bagaimana kalau  jarinya patah,   Dokter muda berjilbab  itu  tersenyum sambil menasihati.
      
Mang Cunong  membayar ongkos berobat dan  mereka naik becak untuk pulang.
      
Ayu dalam hati berjanji-akan hati-hati kalau membonceng sepeda, atau kalau nanti bisa naik sepeda.
      
Ayu berterima kasih  pada dokter  yang   mengobatinya. Pada  Nenek yang  merawatnya. Mang Cunong yang menyayanginya. Seperti kedua orangtua Ayu yang sedang  berada jauh di Malaysia. Mereka berkeja sebagai TKI. Ayu terkadang rindu pada mereka. Kapan mereka pulang, ya? (*)
                                                                 
Kota Ukir, 11 Januari  2018

_Kartika Catur Pelita penulis cerita anak. Tinggal di Jepara. Cernak karyanya pernah dimuat di Yunior (Suara Mereka), Lampung Post, Solo  Pos, dan Kedaulatan Rakyat. Pemenang lomba menulis cerita rakyat cerita anak Karya Cipta PAUD Kemendikbud 2016. Dia tinggal di Perum Kuwasharjo Blok A No. 4 Jalan Padi 1, Rt. 16 Rw.  05 Kuwasen Jepara.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar