Ilustrasi : google |
Berlama-lama memandangi tubuh telanjangnya di balik
cermin. Ratih selesai mandi
dan berada di hadapan cermin. Sebelum berganti baju ia termangu. Berat badan yang naik
sehingga badannya melar. Paha dan pinggang membesar. Payudara dan perut yang
telah membuncit. Ratih menggumam. Kandungan usia enam bulan sudah kentara. Tiga
bulan lagi ia melahirkan.
Ini bukan kehamilan yang pertama. Namun Ratih resah.
Bukan, bukan menjalani dengan terpaksa, Ratih senang ia hamil untuk kesekian
kalinya.
Ratih ingat, saban hamil ia mengalami pengalaman yang
berbeda. Pun kehamilannya kali ini. Kehamilan yang keempat. Setelah Ratih
melahirkan dengan normal ketiga buah
hati. Riri, Rara, dan Rere. Ketiganya berjenis kelamin sama : perempuan.
Apakah kali ini Ratih akan melahirkan bayi perempuan?
Ratih merinding ketika teringat
kata-kata suaminya saat tahu ia hamil.
“Kau hamil lagi, Sayang.”
“Benar, Mas. Aku senang, Mas.”
“Aku juga bahagia, Dik. Tapi...”
“Tapi apa, Mas?”
“Aku ingin...bayi lelaki.”
“Insya Allah, Mas.”
Ratih tersenyum, meneteskan air mata. Ia buru-buru
menghapusnya, saat suara pertengkaran Rara dan Rere menembus kamarnya. Pasti
dua saudara itu merebutkan sesuatu. Seandainya ia punya anak lelaki mungkin Rara dan Rere bisa didamaikan. Seandainya ada anak lelaki,
mungkin bisa memutuskan dengan tegas, tak seperti perempuan. Seperti Riri.
“Bunda, Rere dan Rara bertengkar lagi. Riri enggak bisa
pisahin.”
Nah, dengerin tuh Riri memohon pertolongannya.
Ratih bangkit. Ia harus buru-buru keluar kamar, melerai
dengan ketegasan dan kasih sayang
seorang bunda.
* * *
Sejam yang lalu Mas Ramdan sudah pergi ke kantor. Ratih
sedang mencuci pakaian ketika perutnya terasa mulas. Ada apa? Tak mungkin ia akan melahirkan. Usia
kandungan baru enam bulan. Tertatih Ratih ke dapur, ketika Riri menghampirinya.
“Bunda ada, apa? Bunda sakit?”
“Aduh, perut Bunda melilit. Sakit.”
“Riri ambilin obat ya.”
Riri menuntun Bunda ke kamar tidur. Ratih berbaring di
ranjang.
“Tolong kamu ambilkan botol bekas kecap, kemudian kamu
isi dengan air panas, untuk kompres perut Bunda.”
“Baik, Bunda.”
Tak berapa lama, gadis cilik kelas 5 SD itu sudah muncul dan membawa
pesanan. Ratih membalut botol panas dengan kain, lalu menempelkan ke
perutnya. Rasa melilit berkurang.
“Riri bisa bantuin Bunda, Sayang.”
“Apa, Bunda?”
“Kamu bilasin cucian Bunda, kemudian dijemur ya.”
“Baiklah Bun.”
Inilah mungkin beruntungnya memiliki anak perempuan.
Ratih mengajari Riri mencuci pakaian dan piring, menyapu, membersihkan rumah.
Karena setiap hari Ratih mengerjakan
tugas rumah sendiri, sesekali Riri membantu mengerjakan hal ringan.
Ratih sudah mengajarkan sejak dini anak-anak untuk bisa membersihkan kamar
tidur mereka sendiri. Sehingga pekerjaan Ratih agak ringan.
Ya, Ratih dan Mas Ramdan sengaja tidak menggunakan jasa pembantu. Selama bisa
mengerjakan sendiri, mengapa tak dilakukan?
* * *
Ratih berdebar
saat melihat sosok yang terlihat
di layar USG. Dokter tengah mengamati sang janin yang bergerak-gerak.
“Apa jenis kelaminnya, Dok?”
“Kalian lihatlah, sepertinya bayi kalian pemalu. Ia
meringkuk, tak terlihat jelas kemainnya. Tapi sepertinya ia bayi perempuan.”
“Perempuan, Dok?”
“Maaf, lain kali kalian bisa USG lagi. Yang penting bayi
dalam keadaan sehat.”
Ratih teringat pemeriksaan USG tempo bulan. Terbayang betapa raut muka
Mas Ramdan terlihat kecewa saat tahu jenis bayi. Tapi saat itu dokter belum
memastikan secara jelas jenis kelamin sang
janin.
Apakah Ratih perlu USG lagi, ketika kandungannya semakin
menua nanti? Rasanya tak perlu. Ratih tak kuasa melihat mendung
di paras Mas
Ramdan. Apa yang harus Ratih lakukan? Mungkin lebih
baik sejak semula ia menggugurkan kandungan
saja?
* * *
Ratih memilih pulang ke rumah orangtuanya di Jepara. Ia
ingin menenangkan diri. Tak ingin
sesuatu hal buruk terjadi pada kandungannya. Ibu Raminten menyambut bahagia kepulangan Ratih. Namun perempuan sepuh itu terlihat sedih saat tahu
beban yang disandang Ratih, bungsu, anak perempuannya
satu-satunya.
“Bukankah anak lelaki dan perempuan sama, Bu. Tak ada
yang lebih unggul.” Gumam Ratih kelu, sore itu saat bersama ibunya menikmati
suasana di beranda rumah dengan minum teh berteman blanggem, singkong goreng berbumbu,
jajanan khas Kota Ukir. Enak. Nikmat. Harum bunga kemuning
menguar dari kebun bunga kesayangan
ibunya.
Ratih menceritakan kekalutan hati pada perempuan yang
paling disayangi, dipercayai.
“Ratih sejujurnya sudah bahagia memiliki tiga anak
perempuan, Bu. Seandainya pun Allah memberi anak perempuan lagi, Ratih takkan
menolaknya.”
“Tentu, Rat. Mereka semua titipan Allah. Kita mesti
menyayanginya.” Raminten menggenggam jemari putri semata wayang, memberi
kekuatan. “Ratih, kamu harus kuat.”
“Tapi Mas Ramdan menginginkan anak lelaki. Apa yang harus
Ratih lakukan, Bu? Apakah tidak sebaiknya sejak awal Ratih gugurin kandungan
ini saja.”
“Hush, kamu ini
ngomong apa, Ratih. Jangan berpikir yang tidak-tidak!”
“Ratih bingung, Bu.”
“Anak itu rezeki, mengapa kau menolaknya?”
“Ratih senang hamil lagi, tapi sedih jika teringat Mas
Ramdan yang mendambakan anak lelaki. Bagaimana kalau Ratih melahirkan anak
perempuan lagi, Mas Ramdan kecewa,
kemudian selingkuh demi mendapatkan anak laki-laki. Bagaimana kalau...”
“Ratih, sudahlah, jangan memikirkan yang belum terjadi.
Jangan berpikir yang bisa bikin dirimu stres. Percayalah pada suamimu.
Perkawinan kalian akan baik-baik saja. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk
kehidupan kalian.”
“Iya, Bu. Seandainya saja Ratih nanti melahirkan bayi
laki-laki...”
Ibu Raminten terlihat muram, merenung. Namun sesaat
mendung di wajahnya berubah bagai cahaya matahari pagi.
“Ada apa, Bu? “ Ratih penasaran.
“Ibu teringat sesuatu. Mungkin ini bisa jadi solusimu.”
“Apa maksdudnya, Bu.”
“Tukar Ulek,
Rat. Mengapa kau tak melakukan tukar ulek,
supaya dapat anak laki-laki.”
Tukar Ulek? Ratih menggumam bingung.
“Kau lakukan tukar
ulek saja, Ratih. Supaya kau melahirkan anak laki-laki.”
“Tukar Ulek?
Apakah itu, Bu?”
“Dalam tradisi Jawa, ada mitos, jika kau mencuri ulek milik perempuan yang sedang hamil, kau akan melahirkan anak laki-laki.
Kebetulan Raswi, sepupumu sedang hamil tua. Ibu antar kau ke rumahnya. Kita
silaturahmi, nanti diam-diam kau ke dapur, dan
ambilah uleknya.”
* * *
Pembukaan kelahiran telah dimulai beberapa jam lalu.
Namun Ratih mengalami kesulitan. Ini bukan pertama kali Ratih melahirkan, namun
benar, melahirkan bagai antara hidup dan mati.
Mas Ramdan memberi kekuatan. “Kau harus bisa melahirkan
anak kita, Rat. Aku janji, janji ini kehamilanmu yang terakhir. Setelah ini
jangan hamil lagi. Aku ingin kau melahirkan dengan selamat. Aku ingin kau dan bayi kita lahir
selamat.”
“Bagaimana kalau anak
kita perempuan, Mas?”
“Jangan pikirkan itu. Bayi perempuan atau
lelaki apa bedanya. Kehendak Allah. Kau tahu, aku sudah seharusnya bersyukur
memiliki tiga anak perempuan, Riri, Rara, Rere, yang sehat, cantik, dan pintar.
Kurang apa. Mengapa aku ingin sesuatu
yang kita hanya bisa meminta, namun tak bisa memutuskan.”
“Tapi, Mas.”
“Aku mencintaimu apa adanya, Rat. Maafkan kalau tempo hari
aku pernah bilang ingin anak lelaki. Sekarang aku sadar, apa pun yang Allah
berikan, kita ikhlas menerimanya. Yang
penting selamat. Dan...”
“Aku, aduh sakit, sakit.”
“Dok, dok tolonglah. Selamatkanlah istri dan anak saya!”
* * *
Dokter melakukan operasi caesar pada kandungan Ratih. Bayi dan
ibu dalam keadaan selamat. Ratih seperti tak percaya ketika dokter meletakkan
bayi di pangkuannya. Bergetar Mas Ramdan membopong dan mengazaninya. Ratih
menatapnya haru. Ratih teringat ritual Tukar
Ulek yang dilakukan bersama Raminten. Maafkan aku Mas Ramdan, jika
kenyataannya nanti...
“Mas.., aku...”
“Terimakasih ya
Allah, anak dan istriku selamat.”
“Bayi kita...”
“Selamat ya, Bapak dan Ibu melahirkan bayi yang sangat
tampan.”
Kota Ukir, 5 Januari 2016-2
April 2016
__Kartika Catur Pelita, lahir 11 Januari 1971.
Karya berupa cerpen, esai, dan puisi dimuat di Suara Merdeka, Suara Pembaruan,
Kartini, Koran Merapi, Koran Rakyat Sultra, Pikiran Rakyat, Langgam Sumut,
Genie, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Inilah Koran, Koran Waktu, Solo Pos,
Radar Bojonegoro, Sabili, Annida, Analisa, Lampung Pos, Soeara Moeria, Kanal
Sastra, Bangka Pos, Metro Riau, Republika, Media Indonesia, dan Nova. Menulis
buku fiksi “Perjaka”, “Balada Orang-orang Tercinta” dan “Bintang Panjer Sore”.
Bermukim di Jepara dan bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar