Mitos Tukar Ulek - Soeara Moeria

Breaking

Minggu, 01 Juli 2018

Mitos Tukar Ulek

Ilustrasi : google 
Cerpen : Kartika Catur Pelita 

Berlama-lama memandangi tubuh telanjangnya di balik cermin. Ratih selesai mandi  dan berada di hadapan cermin. Sebelum berganti baju ia  termangu. Berat badan yang naik sehingga badannya melar. Paha dan pinggang membesar. Payudara dan perut yang telah membuncit. Ratih menggumam. Kandungan usia enam bulan sudah kentara. Tiga bulan lagi ia melahirkan.
   
Ini bukan kehamilan yang pertama. Namun Ratih resah. Bukan, bukan menjalani dengan terpaksa, Ratih senang ia hamil untuk kesekian kalinya.
   
Ratih ingat, saban hamil ia mengalami pengalaman yang berbeda. Pun kehamilannya kali ini. Kehamilan yang keempat. Setelah Ratih melahirkan  dengan normal ketiga buah hati. Riri, Rara, dan Rere. Ketiganya berjenis kelamin sama : perempuan.
   
Apakah kali ini Ratih akan melahirkan bayi perempuan? Ratih merinding ketika teringat  kata-kata suaminya saat tahu ia hamil.
   
“Kau hamil lagi, Sayang.”
   
“Benar, Mas. Aku senang, Mas.”   
   
“Aku juga bahagia, Dik. Tapi...”
   
“Tapi apa, Mas?”
   
“Aku ingin...bayi lelaki.”
   
“Insya Allah, Mas.”
   
Ratih tersenyum, meneteskan air mata. Ia buru-buru menghapusnya, saat suara pertengkaran Rara dan Rere menembus kamarnya. Pasti dua saudara itu merebutkan sesuatu. Seandainya ia punya anak lelaki  mungkin Rara dan Rere  bisa didamaikan. Seandainya ada anak lelaki, mungkin bisa memutuskan dengan tegas, tak seperti perempuan. Seperti Riri.
   
“Bunda, Rere dan Rara bertengkar lagi. Riri enggak bisa pisahin.”
   
Nah, dengerin tuh Riri memohon  pertolongannya.
   
Ratih bangkit. Ia harus buru-buru keluar kamar, melerai dengan ketegasan dan kasih  sayang seorang bunda.

* * *
Sejam yang lalu Mas Ramdan sudah pergi ke kantor. Ratih sedang mencuci pakaian ketika perutnya terasa mulas.  Ada apa? Tak mungkin ia akan melahirkan. Usia kandungan baru enam bulan. Tertatih Ratih ke dapur, ketika Riri menghampirinya.
  
“Bunda ada, apa? Bunda sakit?”
  
“Aduh, perut Bunda melilit. Sakit.”
    
“Riri ambilin obat ya.”
   
Riri menuntun Bunda ke kamar tidur. Ratih berbaring  di  ranjang.

“Tolong kamu ambilkan botol bekas kecap, kemudian kamu isi dengan air panas, untuk kompres perut Bunda.”
  
“Baik, Bunda.”
   
Tak berapa lama, gadis cilik kelas 5 SD  itu sudah muncul dan membawa pesanan.  Ratih membalut botol  panas dengan kain, lalu menempelkan ke perutnya. Rasa melilit berkurang.
   
“Riri bisa bantuin Bunda, Sayang.”
   
“Apa, Bunda?”
   
“Kamu bilasin cucian Bunda, kemudian dijemur ya.”
   
“Baiklah Bun.”    
    
Inilah mungkin beruntungnya memiliki anak perempuan. Ratih mengajari Riri mencuci pakaian dan piring,  menyapu, membersihkan rumah.

Karena setiap hari Ratih  mengerjakan  tugas rumah sendiri, sesekali Riri membantu mengerjakan hal ringan. Ratih sudah mengajarkan sejak dini anak-anak untuk bisa membersihkan kamar tidur mereka sendiri. Sehingga pekerjaan Ratih agak ringan.
   
Ya, Ratih dan Mas Ramdan sengaja  tidak menggunakan jasa pembantu. Selama bisa mengerjakan sendiri, mengapa tak dilakukan?

* * *
  
Ratih berdebar  saat melihat sosok yang  terlihat di layar  USG.  Dokter tengah mengamati  sang janin yang bergerak-gerak.
   
“Apa jenis kelaminnya, Dok?”
   
“Kalian lihatlah, sepertinya bayi kalian pemalu. Ia meringkuk, tak  terlihat  jelas kemainnya. Tapi sepertinya  ia bayi perempuan.”
   
“Perempuan, Dok?”
   
“Maaf, lain kali kalian bisa USG lagi. Yang penting bayi dalam keadaan sehat.”
   
Ratih teringat pemeriksaan USG  tempo bulan. Terbayang betapa raut muka Mas Ramdan terlihat kecewa saat tahu jenis bayi. Tapi saat itu dokter belum memastikan secara jelas jenis kelamin sang  janin.

Apakah Ratih perlu USG lagi, ketika kandungannya semakin menua nanti? Rasanya tak perlu. Ratih tak kuasa melihat mendung di paras Mas Ramdan. Apa yang harus Ratih lakukan? Mungkin lebih baik sejak semula  ia menggugurkan kandungan saja?

* * *
    
Ratih memilih pulang ke rumah orangtuanya di Jepara. Ia ingin  menenangkan diri. Tak ingin sesuatu hal buruk terjadi pada kandungannya. Ibu Raminten  menyambut bahagia  kepulangan Ratih. Namun  perempuan sepuh itu terlihat sedih saat tahu beban yang disandang Ratih, bungsu, anak perempuannya satu-satunya.
   
“Bukankah anak lelaki dan perempuan sama, Bu. Tak ada yang lebih unggul.” Gumam Ratih kelu, sore itu saat bersama ibunya menikmati suasana di beranda rumah dengan minum teh berteman blanggem, singkong goreng berbumbu, jajanan khas Kota Ukir. Enak. Nikmat. Harum bunga kemuning menguar  dari kebun bunga kesayangan ibunya.
    
Ratih menceritakan kekalutan hati pada perempuan yang paling disayangi, dipercayai.

“Ratih sejujurnya sudah bahagia memiliki tiga anak perempuan, Bu. Seandainya pun Allah memberi anak perempuan lagi, Ratih takkan menolaknya.”
   
“Tentu, Rat. Mereka semua titipan Allah. Kita mesti menyayanginya.” Raminten menggenggam jemari putri semata wayang, memberi kekuatan. “Ratih, kamu harus kuat.”
   
“Tapi Mas Ramdan menginginkan anak lelaki. Apa yang harus Ratih lakukan, Bu? Apakah tidak sebaiknya sejak awal Ratih gugurin kandungan ini saja.”
   
Hush, kamu ini ngomong apa, Ratih. Jangan berpikir yang tidak-tidak!”
   
“Ratih bingung, Bu.”
   
“Anak itu rezeki, mengapa kau menolaknya?”
   
“Ratih senang hamil lagi, tapi sedih jika teringat Mas Ramdan yang mendambakan anak lelaki. Bagaimana kalau Ratih melahirkan anak perempuan lagi,  Mas Ramdan kecewa, kemudian selingkuh demi mendapatkan anak laki-laki. Bagaimana kalau...”
   
“Ratih, sudahlah, jangan memikirkan yang belum terjadi. Jangan berpikir yang bisa bikin dirimu stres. Percayalah pada suamimu. Perkawinan kalian akan baik-baik saja. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kehidupan kalian.”
   
“Iya, Bu. Seandainya saja Ratih nanti melahirkan bayi laki-laki...”
   
Ibu Raminten terlihat muram, merenung. Namun sesaat mendung di wajahnya berubah bagai cahaya matahari pagi.
   
“Ada apa, Bu? “ Ratih penasaran.
   
“Ibu teringat sesuatu. Mungkin ini bisa jadi solusimu.”
   
“Apa maksdudnya, Bu.”
   
Tukar Ulek, Rat. Mengapa kau tak melakukan tukar ulek, supaya dapat anak laki-laki.”
    
Tukar Ulek? Ratih menggumam bingung.
   
“Kau lakukan tukar ulek saja, Ratih. Supaya kau melahirkan anak laki-laki.”
   
Tukar Ulek? Apakah itu, Bu?”
   
“Dalam tradisi Jawa, ada mitos, jika  kau mencuri ulek milik perempuan  yang sedang hamil, kau akan melahirkan anak laki-laki. Kebetulan Raswi, sepupumu sedang hamil tua. Ibu antar kau ke rumahnya. Kita silaturahmi, nanti diam-diam kau ke dapur, dan  ambilah uleknya.”

* * *
   
Pembukaan kelahiran telah dimulai beberapa jam lalu. Namun Ratih mengalami kesulitan. Ini bukan pertama kali Ratih melahirkan, namun benar, melahirkan bagai antara hidup dan mati.
   
Mas Ramdan memberi kekuatan. “Kau harus bisa melahirkan anak kita, Rat. Aku janji, janji ini kehamilanmu yang terakhir. Setelah ini jangan hamil lagi. Aku ingin kau melahirkan dengan  selamat. Aku ingin kau dan bayi kita lahir selamat.”
    
“Bagaimana kalau anak  kita perempuan, Mas?”
    
“Jangan pikirkan itu. Bayi perempuan atau lelaki apa bedanya. Kehendak Allah. Kau tahu, aku sudah seharusnya bersyukur memiliki  tiga anak perempuan, Riri, Rara,  Rere, yang sehat, cantik, dan pintar. Kurang  apa. Mengapa aku ingin sesuatu yang kita hanya bisa meminta, namun tak bisa memutuskan.”
    
“Tapi, Mas.”
   
“Aku mencintaimu apa adanya, Rat. Maafkan kalau tempo hari aku pernah bilang ingin anak lelaki. Sekarang aku sadar, apa pun yang Allah berikan,  kita ikhlas menerimanya. Yang penting selamat. Dan...”
    
“Aku, aduh sakit, sakit.”
    
“Dok, dok tolonglah. Selamatkanlah istri dan anak saya!”

* * *
      Dokter melakukan  operasi caesar pada kandungan Ratih. Bayi dan ibu dalam keadaan selamat. Ratih seperti tak percaya ketika dokter meletakkan bayi di pangkuannya. Bergetar Mas Ramdan membopong dan mengazaninya. Ratih menatapnya haru. Ratih teringat ritual Tukar Ulek yang dilakukan bersama Raminten. Maafkan aku Mas Ramdan, jika kenyataannya nanti...

    
“Mas.., aku...”
    
“Terimakasih  ya Allah, anak dan istriku selamat.”
    
“Bayi kita...”
    
“Selamat ya, Bapak dan Ibu melahirkan bayi yang sangat tampan.”
                                                          
                                                          Kota Ukir, 5 Januari 2016-2 April 2016                         


__Kartika Catur Pelita, lahir 11 Januari 1971. Karya berupa cerpen, esai, dan puisi dimuat di Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Kartini, Koran Merapi, Koran Rakyat Sultra, Pikiran Rakyat, Langgam Sumut, Genie, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Inilah Koran, Koran Waktu, Solo Pos, Radar Bojonegoro, Sabili, Annida, Analisa, Lampung Pos, Soeara Moeria, Kanal Sastra, Bangka Pos, Metro Riau, Republika, Media Indonesia, dan Nova. Menulis buku fiksi “Perjaka”, “Balada Orang-orang Tercinta” dan “Bintang Panjer Sore”. Bermukim di Jepara dan bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar