Tumi dan Pangeran Langit - Soeara Moeria

Breaking

Jumat, 02 Maret 2018

Tumi dan Pangeran Langit



Ilustrasi : Google
Cerpen Kartika Catur Pelita

Sore jam tiga, saatnya Tumi melakukan ritual.  Ia mandi selama satu jam, menyabuni tubuh tiga kali, luluran dan keramas dua kali, menggosok gigi  sebersih-bersihnya. Ia kemudian berdandan di depan cermin luas,  secantik-cantiknya, bedak tebal merona dan lipstik merah menyala.

Ia membuka almari besarnya, memilih gaun termolek, mengenakan sambil berlenggak-lenggok, kemudian memakai sepatu high heels, menggamit  tas cantik. Ritual  terakhir Tumi menyemprotkan parfum ke seluruh anggota tubuh, lalu melenggang menyusuri gang rumah petak, ke jalan besar, berburu taksi.

Sepanjang gang Tumi  tersenyum, melambaikan tangan dan kiss muah, ketika orang-orang menyapanya. Bahkan ketika anak-anak muda jahil menggodanya, “Tum, bukak sithik jambule...!” Tumi tak rikuh membuka sedikit gaunnya, menyingkapnya centil, meniru gaya Marilyn Monroe.

* * *
  
Taksi berhenti pada sebuah taman di punggung kota. Tumi duduk manis di bangku kayu warna  merah  di bawah pohon palem. Ia sudah berjanji bertemu Pangeran Langit di sini. Mereka sua pertama kali di tempat bekerja Tumi pada satu swalayan kecil. Kala itu  Pangeran Langit kesulitan memilih baju yang hendak dibelinya.
   
“Ada yang bisa saya bantu, hei, Tampan?”
  
“Maaf saya ingin membeli baju yang khusus dibuat untuk pria setampan saya.”
  
“Oya?”
  
“Saya mendapat petunjuk, jika hanya gadis secantik kamu yang bisa menolong.”
  
“Baju model apa yang kau perlukan, Tampan?”
  
“Baju yang bisa untuk terbang. Aku seorang pangeran yang berasal dari langit. Satu hari aku bosan berada di langit.  Maka aku turun ke bumi, mandi di telaga dalam hutan, eh seseorang mencuri pakaianku, hingga aku tak bisa lagi balik ke langit.”
   
“Aku turut berduka.”
   
“Engkau lihatlah  pakaian yang terpaksa-mau tak mau mesti kukenakan.  Celana gombrong hitam dan baju hitam, lusuh. Baju  petani yang kutemukan di ladangnya.”
   
“Kau  mencurinya?”
   
“Hanya pinjam, nanti dikembalikan.”
   
“Terserah kau.”
   
“Maka tolonglah, segera carikan baju untukku. Jika aku cocok, nanti  kuberi kau hadiah.”
   
“Uang?”
   
“Tentu, dan ada bonus: timun ajaib!”
   
“Aah, kau penggoda!”
   
Tumi akhirnya menemukan pakaian yang cocok untuk Pangeran Langit, sebuah  kostum terbaru Superman!
   
“Kau pantas pakai ini. Semoga kau bisa terbang lagi...”
   
“Tapi aku bingung, pakai celana dalamnya di luar atau di dalam.”
   
“Tentu celana dalam dipakai di dalam,  tapi setelah memakai  baju kau boleh pakai celana dalam lagi di luar. Gimana?”
    
“Kau cerdas. Aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama. Bisakah setelah ini kita kencan, Cantik?”
   
“Tentu. Di mana?”
   
“Taman Seribu Janji.”

* * *
   
Sore jam tiga, saat Tumi melakukan ritual. Ia mandi selama satu jam, menyabuni tubuhnya tiga kali, keramas dua kali, mengguyur tubuh sebersih-bersihnya. Ia kemudian berdandan secantik-cantiknya di depan cermin. Menyemprotkan parfum seharum-harumnya.
   
Tumi melenggang menebar harum di ruang tamu, ketika seorang perempuan  sedua kali lipat usianya menegurnya.
  
“Apa yang kau lakukan, Tum? Kau hendak ke mana?”
  
“Tumi ada janji dengan Pangeran Langit.”
  
“Pangeran yang mana? Kau tak malu? Kau tak boleh keluar rumah. Kamu hamil tanpa suami.”
  
“Tak ada yang bikin malu, Mi. Perempuan hamil itu biasa. Tumi hamil karena Pangeran Langit. Pangeran  sedang pergi ke langit mengambil  bintang kejora untuk Tumi. Nanti dia pasti kembali. “
  
“Kau ngomong apa? Kau gila! Kau dulu diperdaya Pangeran Bumi yang katanya pergi ke dalam kawah  gunung demi mengambil intan untukmu. Kemudian kau membawa Pangeran Laut yang katamu menyelam ke dasar samudera untuk membawakanmu kerang permata.”
   
“Semua itu benar, Mi. Pangeran Bumi tak kembali karena terjadi gunung meletus. Pangeran Laut tak kembali karena bencana tsunami. Tumi harus bagaimana, Mi?  Beruntung sekarang Tumi bertemu Pangeran Langit.”
  
“Kau ngawur, kau sudah ditipu. Mereka bukan pangeran, tapi laki-laki jahat. Suruh si Pangeran Langit untuk datang ke sini dan mengawinimu, atau kau pergi dari rumah ini!”
  
“Baiklah. Tumi akan pergi, tapi nanti malam Tumi kembali. Semoga nanti malam Pangeran Langit sudah datang dan membawakan bintang untuk Tumi. Nanti bintangnya boleh untuk Mami.”
  
“Pergilah. Pergi. Oalah, Gusti Allah, seandainya saja aku  masih punya suami. Seandainya  Engkau  beri aku anak  yang lain. Mengapa aku Kau beri anak edan turun, edan taun?

* * *
   
Sore jam tiga saatnya Tumi melakukan  ritual mandi. Sudah satu jam lewat, Tumi belum keluar kamar mandi. Mami gelisah menanti,  berdiri di balik pintu kamar,  mengaduh-aduh  memegang perut.
   
“Tum, sudah selesai mandinya?”     
    
“Belum, Mi. Sebentar lagi. Lagi asik.”
   
“Tumi, cepat, mami wes ora tahan. Sakit perut nih.”
   
“Nanggung, Mi. Lagi asik. Ah, ah, ah.”
   
“Tumi cepet, cepet...”
   
“Mi, sebentar  lagi keluar. Ah, ah...”
   
Mami tak tahan lagi, mendobrak pintu. Mami terjengkang terpeleset karena sesuatu  yang licin, bersamaan crot brot brot dut, sesuatu serupa bubur berselubung cair, berbau seperti telur busuk, merembes di celana. Bau tak sedap. Busuk.  Tapi lebih busuk  yang terhampar di kamar mandi.

Darah membasah, meleleh. Amis. Anyir. Tumi terduduk di lantai berkubang darah sambil menahan sakit,  tersenyum pias, tangannya menenteng- sesuatu yang mengerikan-yang masih meneteskan darah!
  
“Ia memaksa keluar, Mi. Padahal Pangeran Langit belum datang. Ia memaksa. Tumi menariknya, dan hanya dapat... ndase, kepala!”
                                                                                             
Kota Ukir, 22 Januari 2016 - 1 April 2016
   
Kartika Catur Pelita lahir 11 Januari 1971. Karya berupa 700-an  cerpen,  cerber, novel, esai, opini, resensi, pantun, naskah drama,  skenario, dan puisi. Sejumlah karya dipublikasikan  di Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Kartini, Koran Merapi, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solo Pos, Radar Bojonegoro, Sabili, Annida Online, Okezone.com, Joe Fiksi, Jembia Batam Pos, Lampung Pos, Koran Muria, SoearaMoeria.Com, Bangka Pos, Metro Riau, Analisa Medan, Haluan Padang, Aceh Pos, Kupang Pos, Satelit Pos, Kendari Post, Republika, Media Indonesia dan Nova.  Karya cerpen ‘Watu Kucing’  terpilih  pada antologi cerpen Joglo 11 ”Tatapan Wajah Boneka” Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT, 2011), dan cerpen ‘Bangsat’ termuat dalam antologi Joglo 12 “Tahun-tahun Penjara”(TBJT, 2012). Cerpen  ‘Bukan Robot’ terpilih dalam 15 Cerpen Inspiratif Annida Online(2012.) Karya puisi termaktub dalam antologi ‘Sepotong Rusuk Untukmu(Samudra, 2011). Buku  fiksi “Perjaka”, “Balada Orang-orang Tercinta” dan “Bintang Panjer Sore”. Bermukim di Jepara dan bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar