Dalam rangka
peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2017 Lembaga Penelitian, Pengembangan dan
Pengabdian Masyarakat (LP3M) STAINU Temanggung menggelar Seminar Ilmiah
bertajuk “Pendidikan Karakter Bangsa” di aula STAINU Temanggung, Sabtu
(21/10/2017) yang ditujukan untuk menguatkan SDM dan juga memantik spirit
nasionalisme.
"Konsep Hubbul
Wathan Minal Iman menjadi induk dari nasionalisme yang diterapkan dalam
pendidikan Islam di Indonesia. Bahkan, nasionalisme yang dikonsep ulama-ulama
NU menjadi acuan ideal untuk membangkitan, mempertahankan dan mengisi
kemerdekaan sampai saat ini," beber Hamidulloh Ibda, dosen STAINU
Temanggung sebagai pemateri pertama.
Dalam artikel
bertajul “Konsep Hubbul Wathan Minal Iman dalam Pendidikan Islam sebagai
Marwah Nasionalisme” itu Ibda menegaskan bahwa selama ini banyak orang
salah kaprah tentang konsep Hubbul Wathan.
“Ada yang
mengatakan ini ayat Alquran, padahal ini rumusan kiai NU untuk membangkitkan spirit
nasionalisme dalam melawan penjajah. Dalam artikel ini, saya membaginya ada
tiga fase. Mulai sebelum, sesudah kemerdekaan dan era sekarang,” beber dia.
Ia juga
membeberkan, bahwa urgensi penerapan Hubbul Wathan dalam pendidikan
Islam adalah seratus persen.
“Pertentangan
antara nasionalisme dan spirit keagamaan makin kacau karena ditunggangi
kepentingan politik. Ditambah benturan suku, ras, agama, dan antargolongan
(SARA) yang dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Adanya kelompok pengusung spirit
negara Islam justru memperkeruh kondisi bangsa. Padahal memegang nasionalisme
dan Pancasila sudah sangat islami dan bukan pula melenceng dari substansi Islam
itu sendiri,” beber mantan Ketua IPNU tersebut.
Adanya kelompok
radikal, lanjut dia, konservatif, kaku, yang ingin menegakkan khilafah, negara
Islam dan sistem syariah.
“Kita juga
harus melihat, bahwa Indonesia dengan Arab, Mesir, Yaman beda. Di
Nusantara ini, tidak ada yang urgen untuk mendirikan negara Islam, daulah
islamiyah, Islamic state atau pun khilafah. Sebab, hukum Islam tidak
bergantung pada adanya suatu negara, melainkan masyarakat dapat memberlakukan
hukum agama dalam sebuah negara berbentuk apa saja. Dan Islam tidak harus
menjadi sebuah negara, karena yang harus ditonjolkan seharusnya adalah nilai-nilainya,
spirit dan substansinya,” beber dia.
Dalam sejarah
Islam, menurut dia, nasionalisme tidak bisa lepas dari lahirnya Mitsaq
al-Madinah (Piagam Madinah) yang oleh para pakar politik Islam sekaliber Montgomery
Watt pada 1988 dan Bernard Lewis pada 1994 yang dianggap sebagai
embrio lahirnya negara nasional atau nation state dan menempatkan Nabi
Muhammad Saw sebagai pemimpin negara dan tidak sekadar menjadi pemimpin agama.
“Pembentukan
Piagam Madinah itu, tidak hanya dinikmati umat Islam, namun juga dari kaum
Yahudi, Nasrani dan umat yang masih menyembah berhala. Jadi, paham nasionalisme
itu sudah lahir sejak zaman nabi,” jelasnya.
Ia juga
menyinggung sejarah lahirnya nasionalisme di Indonesia. Dari artikel saya, ada
tiga jenis nasionalisme, yaitu nasionalisme Islam, kebudayaan dan nasionalisme
radikal. Salah satu pelopor nasionalisme kebudayaan adalah Budi Utomo (BU).
Sementara organisasi yang mengusung nasionalisme berbasis pemurnian Islam,
yaitu Syarikat Islam (SI) dulu bernama Sarekat Dagang Islam (SDI).
Kemudian pada 4
Juli 1927 Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan
wadah nasionalisme modern yang radikal. Ideologi partai tersebut nasional
radikal yang dalam pandangan Bung Karno dianggap kekuatan bangsa Indonesia
terletak pada Nasionalisme, Islamisme dan Komunisme (NASAKOM).

Lahirnya
beraneka ragam organisasi itu dapat dikatakan nasionalisme sudah mulai tumbuh
karena senasib sependeritaan, yang menginginkan bebas dari penjajahan Belanda,
dan ingin mewujudkan cita-cita yaitu masa depan lebih baik, yang oleh Anderson
disebut Imagined Political Community. Nasionalisme mencapai puncaknya saat
dibentuknya BPUPKI pada 1 Maret 1945.
Menurutnya,
gagasan cinta tanah air, nasionalisme, yang dikemas dengan idiom Hubbul
Wathan Minal Iman tidak pernah lepas dari peran ulama dan kiai Nusantara
khususnya NU.
Secara bahasa, hub
artinya cinta, wathan berarti tanah air (bangsa), minal iman
berarti dari atau sebagian dari iman.
Konsep Hubbul
Wathan Minal Iman yang digagas tahun 1934 oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah
yang kemudian diabadikan dalam lagu Syubbanul Wathan adalah yang paling
ideal dan justru menjadi induk nasionalisme.
“Sebab, Hubbul
Wathan Minal Iman itu lengkap, memuat unsur Islam, kebudayaan dan kebangsaan.
Namun, mengapa kok pakai Bahasa Arab? Kalau versi Kiai Said, karena untuk
mengecoh Belanda agar tidak tahu artinya saat penjajahan dulu,” ujar dia.
Selain itu,
dalam artikelnya itu, ada beberapa peran NU dalam mengawal nasionalisme. Sebab,
tanggal 22 Oktober 1945 yang diperingati sebagai Hari Santri Nasional, delapan
minggu setelah Indonesia merdeka, terjadi perang di Surabaya.
Untuk
memobilisasi dukungan umat Islam, KH. Hasyim Asyari mengeluarkan fatwa untuk
tetap mempertahankan NKRI.
“Pertama,
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus wajib dipertahankan.
Kedua, Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus
dijaga dan ditolong. Ketiga, musuh Republik Indonesia yaitu Belanda yang
kembali ke Indonesia dengan bantuan Sekutu (Inggris) pasti akan menggunakan
cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia. Keempat,
umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan Belanda dan
Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali. Kelima, kewajiban ini merupakan
perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal di
radius 94 kilometer,” beber dia.
Tidak hanya
dalam bentuk lagu, KH. Abdul Wahab Chasbullah juga mendirikan sekolah Islam
bernama Nahdlatul Wathan untuk membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan
umat Islam.
Nahdlatul
Wathan menjadi kawah candradimuka yang
menggembleng pemuda Islam untuk belajar dan menggelorakan cinta tanah air dalam
melawan penjajah.
“Gagasan Hubbul
Wathan Minal Iman tidak bisa terlepas dari peran dan perjuangan KH. Abdul Wahab
Chasbullah yang dikonsep dari spirit Islam dan kebangsaan. Dirumuskan
dengan Bahasa Arab, tujuannya agar Belanda tidak mengetahui maknanya. Sebab,
jika tahu maknanya, maka Belanda akan melawan kaum pesantren saat itu,” lanjut
dia.
Untuk
menggerakan spirit nasionalisme, kata dia, Syubbanul Wathan sebagai
sayap Nahdlatul Wathan mendirikan sayap di sejumlah daerah. Seperti
Madrasah Akhul Wathan (saudara setanah air) di Semarang, Far’ul
Wathan (cabang tanah air) di Gresik dan Malang, Hidayatul Wathan
(petunjuk tanah air) di Jombang dan Jagalan, Ahlul Wathan (warga tanah
air) di Wonokromo dan Khitabul Wathan di Pacarkeling.
Ia juga
menjelaskan penerapan Hubbul Wathan Minal Iman dalam pendidikan Islam
yang bisa diterapkan melalui Pancasila, mapel Kewarganegaraan, PKn dan semua
materi.
“Dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK), ada 17 karakter yang dikuatkan. Nah, ada dua
karakter yang senafas dengan Hubbul Wathan Minal Iman, yaitu semangat
kebangsaan dan cinta tanah air. Di sinilah yang harus dipahami bersama untuk
mengimplementasikan Hubbul Wathan Minal Iman secara sederhana,” papar
dia.
Karakter
nasionalisme dan Hubbul Wathan Minal Iman yang didesain melalui Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK), lanjut dia, harus dimaksimalkan lembaga pendidikan
Islam untuk mencetak generasi yang setia kepada Indonesia.
“Hal itu
menjadi cara strategis untuk menghalau lahirnya generasi antinasionalisme,
faham dan aliran radikal yang mengancam keutuhan Indonesia. Nasionalisme memang
bukan segalanya, namun keutuhan negara yang di dalamnya ada suku, bahasa,
budaya dan agama berawal dari sana. Tanpa nasionalisme, Indonesia akan mudah
dijajah dan dihancurkan,” tutur dia.
Kenalkan Nilai
Pancasila Sejak Dini
Sementara itu,
Rhindra Puspitasari pemateri kedua yang juga dosen PIAUD STAINU Temanggung membeberkan
bahwa urgensi menerapkan Pancasila dalam PAUD atau TK sangat mendesak.
Sebab, saat ini
banyak pengaruh negatif, degradasi nilai dan moral anak, penyalahgunaan narkoba
seks bebas dan lainnya.
“Di dalam
Pancasila itu banyak karakter kebangsaan. Maka kita harus menempatkan Pancasila
sebagai dasar negara, menjadikan bangsa Indonesia sudah menetapkan
fondasi bagi setiap konten aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,” beber dia.
Dari desain
penelitian yang ia gagas itu, ada beberapa hal yang dikonsep. Pertama
adalah pembentukan karakter kebangsaan sebagai perwujudan dari eksistensi Pancasila
melalui good citizen dairy activity anak salih.
“Kedua,
nilai-nilai Pancasila mampu menjadi jangkar transedental dalam pembentukan
karakter kebangsaan, sedangkan good citizen dairy acivity anak salih
dapat menjadi salah satu media pembiasaan anak usia dini dalam melakukan
pembiasaan disiplin sholat dan pembiasaan lain yang positif," beber dia.
Dan ketiga,
lanjut dia, salah satu kunci dari keberhasilan membentuk karakter kebangsaan
pada anak usia dini adalah konsistensi, keteladanan dan ketelatenan orang tua
maupun pendidik dalam menerapkan pembiasaan disiplin sholat pada anak dan
pembiasaan lain yang positif.
"Itu semua
harus dilaksanakan melalui penerapan dan penguatan nilai-nilai Pancasila di
dalam pendidikan, khususnya PAUD atau TK,” papar dia dalam seminar yang
dihadiri pejabat dan semua dosen STAINU Temanggung itu. (dloli)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar