Pengintip - Soeara Moeria

Breaking

Sabtu, 27 Mei 2017

Pengintip


Ilustrasi : Google
Cerpen M. Zufar
       
“Terlalu panas, Bodoh!”
       
“Apa kepalamu cuma hiasan yang tidak berfungsi? Aksesoris? Pajangan tak bermutu? Atau pemberat tubuh? Jawab, Bodoh!”
       
Gemetar menggelengkan kepala.
       
“Bagus. Ternyata kepalamu berfungsi. Kalau begitu, masalahnya apa? Kenapa airnya panas sekali? Apa kau berniat merebusnya? Atau mungkin, kepalamu sedikit butuh perbaikan? Service? Biarkan aku memperbaikinya!”
       
Prank
       
Hantaman keras membuatnya linglung. Penyokan pada panci menunjukkan kesungguhan menghantam kepala yang lunak.
       
Prank!
       
“Sepertinya di sini masih butuh service.”
       
Prank!

Prank!

Prank!

“Aku rasa airnya sudah hangat. Lelah sekali membenarkan kepalamu. Pastikan dia tidak marah hari ini, kalau tak ingin kuservice kepala aksesorismu.” Berjalan meninggalkan bocah yang menahan isak tangis.

Tertelungkup tanpa ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa yang akan terjadi pada hari esoknya, pada masa depannya. Dia tak ingin melihat bayangan hitam mengerikan di depannya. Masa depan adalah kutukan berkepanjangan.

Selalu seperti itu. Tanpa ada perubahan. Sedikit pun tak ada yang peduli. Melaju kencang, dengan haluan menyesatkan.

* * *
Terbang tinggi sekali. Senar di kaleng susu sampai habis. Layangannya meliuk ke sana ke mari riang bersamaku dan awan.

Sendirian tanpa teman di angkasa tak membuat layangannya takut mengudara. Bebas dan terikat dengan kalbu Acan yang sebiru langit dan sedamai awan. Menyenangkan sekali melihat kedamainnya bermain layang-layang.

Lapangan luas dengan Pohon Waru rindang menghiasi pinggirannya. Matahari semakin terik. Acan berteduh di Pohon Waru. Duduk mengamati layangannya. Bebas. Walau yang dicarinya adalah aman. Tempat dan perasaan aman.

Pada saat ini saja Acan bisa aman dari rasa sakit yang menghantuinya. Teror keji yang selalu menggelayuti mimpinya. Bermain layang-layang adalah terapi kejiwaan. Layang-layang adalah hidup yang selalu diidamkannya. Tinggi bebas, aman, tak terraih.

Acan hidup dengan orang tuanya. Seperti orang kebanyakan. Kepala Keluarga bekerja dan Ibu di rumah. Tak banyak perbedaan keluarganya dengan keluarga lainnya.

Makan sama-sama, kalau libur panjang piknik, dan hobi Acan rebutan remote dengan ibunya. Sudah lama aku hadir di sisi mereka. Mengamati dari bangun tidur sampai mimpinya pun tak terlewat kuamati.

Entah sejak kapan, aku sedikit lupa. Semua dimulai dari warna merah darah gelap mimpi Kepala Keluarga. Kehidupan keluarganya sudah tidak biasa. Arah dan kecepatannya berubah. Berganti haluan dan mengembangkan semua layar menuju palung kemusnahan.

Mimpi Kepala Keluarga lama-kelamaan semakin menggelap. Warna merah darah kental ketakutan, warna khas mimpi buruk yang paling buruk. Mimpinya selalu bertambah mengerikan dari waktu ke waktu.

Badan dikoyak anjing buduk sampai sumsumnya, ditelan ular dari kepala sampai kaki bulat-bulat, ulat-ulat masuk melalui lubang tubuhnya dan menggerogoti organ dalam sampai habis tak tersisa.

Gambaran mimpi buruknya terus muncul setiap malamnya. Gangguan mental tak bisa dihindari. Kepala tertimpa, seluruh tubuh mati rasa.

Kepala Keluarga selalu marah-marah. Kejiwaannya mulai terganggu. Cacian, hardikan, umpatan, dan kalimat kekecewaan tak pernah putus dari mulut Kepala Keluarga. Bahkan saat mendapati masalah kecil. Seperti belum siapnya air panas buat mandi, hukuman gamparan dan tendangan dengan mudah dilayangkan ke Ibu. Sedangkan Acan, tak lepas dari incaran rasa murka.

Efek negatif menambah tidak sedapnya cerita ini. Seperti  getok tular, lama-kelamaan Ibu kehilangan dirinya. Keibuan? Hanya jadi mitos. Ibu mutlak jadi orang lain. Karena seringnya Ibu disiksa, Ibu jadi mudah kerasukan. Ibu gila.

Ketika Ibu melihat Kepala Keluarga, Ibu akan ketakutan dan kepala keluarga akan menendang keras Ibu. Kepala Keluarga membenci melihatnya. Setiap melihatnya, yang tergambar hanya perasaan murka.

Kegilaan Ibu semakin menjadi-jadi. Murkanya dilimpahkan pada Acan. Mau pekerjaannya dikerjakan dengan baik maupun tidak, Acan tetap kena hantaman panci yang sudah peyok tak karuan, dan itu belum semuanya. Belum semua siksaan dari Kepala Keluarga.

Acan bisa aman saat Kepala Keluarga pergi bekerja jam delapan. Saat itu pula Acan bisa pergi ke lapangan, sebab pintu dibiarkan tidak terkunci sampai Kepala Keluarga pulang jam lima sore.

Setiap dalam keadaannya yang buruk, Acan senang membayangkan lapangan dengan Pohon Waru rindang yang tetap menaungi dan merengkuhnya menggantikan keteduhan keluarga. Walaupun benjolan, memar, luka di hatinya tak sembuh-sembuh, bermain dengan saudaranya, layang-layang, mampu melipur lara.

Lapangan yang luas dengan senang hati diangkat menjadi Ayah Acan. Pohon Waru gembira menjadi Ibu dari anak menggemaskan seperti Acan. Layang-layang tak bosan-bosan bermain dengan saudaranya. Keluarga baru Acan yang tak tega menghukum, tidak terlalu menuntut, tak paham panci untuk menghantam kepalanya.  Keluarga yang sempurna, nyaris. Aku jadi penasaran, bagi Acan aku siapa?

Acan mulai menggulung senarnya. Dia harus kembali. Kalau semakin gelap dia takut saat pulang nanti. Takut  kena pukulan, atau lebih buruk lagi.

* * *

Hiks… hiks… hiks…

Entah salah siapa yang memasak. Acan tak tahu-menahu siapa yang memasakkan air panas. Tapi kenapa? Kenapa dia tetap dipukul dengan keras? Isaknya berat, tertahan di lubang lebar yang terhalang, tak bisa lepas. Seandainya dia berteriak keras, pungkulan untuk membungkamnya tak bisa diartikan sakit lagi. Pedih, pedih baginya tak ada tempat aman, pelindungnya, teman. Keluarga barunya tak mampu bertindak sesempurna keinginannya.

“Oh…Acan! Apa yang telah kulakukan? Setan apa yang telah merasukiku? Kau tak apa-apa, Acan?” Ibu tersadar.

Hanya sesaat.

Acan dibangunkan. Isaknya berusaha dihentikan, yang jadinya malah sesenggukan. Acan menutup matanya dengan lengan kiri dan menyumpal mulutnya dengan telapak tangan kanan. Ibu mencoba membuka wajah Acan dengan perlahan.

“Wajah buruk apa ini?”

Brak! Ibu kumat lagi.

“Kau ingin menunjukkan wajah burukmu pada siapa, hah? Sana tidur, jangan nangis di sini!

“Bangun, Bodoh!

“Bangun, Bodoh!

“Bangun! Bangun! Bangun, Bodoh! Jangan di sini!”

Acan terduduk menangis. Dorongan keras ibunya membuatnya menghantam tembok triplek yang digunakan sekat membagi ruang tengah. Acan langsung terduduk dan menunduk tak berani menunjukkan wajahnya. Tertunduk dengan tangisnya.

“Terserah kau kalau ingin di sini. Aku tak peduli.” Ibu pergi.

Acan tak berpindah sedikitpun, langsung tertidur.

* * *
Mimpi-mimpi mereka.

Aku sudah pernah bilang selalu mengamati mereka, mimpinya pun tak lewat kuamati. Warna menjelaskan mimpi apa yang mereka jalani. Kesenangan, kuning. Haru, biru. Hijau, damai. Jingga, asmara. Kedukaan, ungu. Indah, merah mudah. Buruk, merah. Sangat buruk, merah darah.

Setelah warna dasar mimpi keluar, bayang-bayang akan nampak saat terlelap tidur dan menjelang bangun. Bayang-bayang menggambarkan kejadian apa di balik warna mimpi.

Seperti melihat wayang bayangan dimana sang dalang bermain di belakang layar dengan sorotan warnu lampu sebagai proyeksi, dengan mudah aku mengetahui alur cerita.

Mimpi Kepala Keluarga semakin berwarna merah darah, tapi sangat keruh. Aku kesulitan menerjemahkan gambarannya. Hanya sedikit. Seperti ada sesuatu di lehernya yang membuat kesulitan bernafas.

Warna merah muncul lagi dari lubang-lubang di kepalanya, mungkin itu darah yang tertahan di kepala, sehingga keluar deras karena tekanan.

Ibu bermimpi seterang matahari. Warna jingga dengan gambaran sepasang-sejoli yang berpegangan tangan, mesra. Berjalan beriringan melewati ladang bunga. Saat sampai tempat yang paling indah di tengah ladang bunga yang sedang mekar, pigmen warna berubah.

Lelaki mencengkeram lengan perempuan dan mengayunkannya layaknya boneka ringkih. Perempuan dibanting dalam jurang yang tiba-tiba menganga. Ladang bunga dan pigmen warna mimpi berubah merah darah.

Sedangkan Acan terkulai di atas lantai. Terlelap dengan mimpi berwarna merah muda yang manis, semanis dirinya. Dia sedang menerbangkan layang-layang di lapangan luas di bawah Pohon Waru.

Keteduhannya menciptakan rasa damai, damai sekali dengan keluarga barunya. Layangannya terbang tinggi dengan membawa dua sosok bayangan yang terjerat lehernya.

Warna merah mengalir di sekitar sayatan luka mereka dan menetes membasahi warna merah muda yang cerah. Benar-benar mimpi yang indah.

Aku melihat itu semua, tapi tak mampu mengubahnya dengan kehendak. Hanya melihat, tapi tidak kesuluruhan, hanya mengintip. (*)

Senja, Bumi Kartini, 28 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar