![]() |
Ilustrasi : Google |
“Terlalu panas,
Bodoh!”
“Apa kepalamu cuma
hiasan yang tidak berfungsi? Aksesoris? Pajangan tak bermutu? Atau pemberat
tubuh? Jawab, Bodoh!”
Gemetar
menggelengkan kepala.
“Bagus. Ternyata
kepalamu berfungsi. Kalau begitu, masalahnya apa? Kenapa airnya panas sekali?
Apa kau berniat merebusnya? Atau mungkin, kepalamu sedikit butuh perbaikan? Service? Biarkan aku memperbaikinya!”
Prank
Hantaman keras
membuatnya linglung. Penyokan pada panci menunjukkan kesungguhan menghantam kepala
yang lunak.
Prank!
“Sepertinya di sini
masih butuh service.”
Prank!
Prank!
Prank!
“Aku rasa airnya
sudah hangat. Lelah sekali membenarkan kepalamu. Pastikan dia tidak marah hari
ini, kalau tak ingin kuservice kepala
aksesorismu.” Berjalan meninggalkan bocah yang menahan isak tangis.
Tertelungkup tanpa
ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa yang akan terjadi pada
hari esoknya, pada masa depannya. Dia tak ingin melihat bayangan hitam
mengerikan di depannya. Masa depan adalah kutukan berkepanjangan.
Selalu seperti itu.
Tanpa ada perubahan. Sedikit pun tak ada yang peduli. Melaju kencang, dengan
haluan menyesatkan.
* * *
Terbang tinggi
sekali. Senar di kaleng susu sampai habis. Layangannya meliuk ke sana ke mari
riang bersamaku dan awan.
Sendirian tanpa
teman di angkasa tak membuat layangannya takut mengudara. Bebas dan terikat
dengan kalbu Acan yang sebiru langit dan sedamai awan. Menyenangkan sekali
melihat kedamainnya bermain layang-layang.
Lapangan luas
dengan Pohon Waru rindang menghiasi pinggirannya. Matahari semakin terik. Acan
berteduh di Pohon Waru. Duduk mengamati layangannya. Bebas. Walau yang
dicarinya adalah aman. Tempat dan perasaan aman.
Pada saat ini saja
Acan bisa aman dari rasa sakit yang menghantuinya. Teror keji yang selalu menggelayuti
mimpinya. Bermain layang-layang adalah terapi kejiwaan. Layang-layang adalah
hidup yang selalu diidamkannya. Tinggi bebas, aman, tak terraih.
Acan hidup dengan
orang tuanya. Seperti orang kebanyakan. Kepala Keluarga bekerja dan Ibu di
rumah. Tak banyak perbedaan keluarganya dengan keluarga lainnya.
Makan sama-sama,
kalau libur panjang piknik, dan hobi Acan rebutan remote dengan ibunya. Sudah lama aku hadir di sisi mereka.
Mengamati dari bangun tidur sampai mimpinya pun tak terlewat kuamati.
Entah sejak kapan,
aku sedikit lupa. Semua dimulai dari warna merah darah gelap mimpi Kepala
Keluarga. Kehidupan keluarganya sudah tidak biasa. Arah dan kecepatannya
berubah. Berganti haluan dan mengembangkan semua layar menuju palung
kemusnahan.
Mimpi Kepala
Keluarga lama-kelamaan semakin menggelap. Warna merah darah kental ketakutan,
warna khas mimpi buruk yang paling buruk. Mimpinya selalu bertambah mengerikan
dari waktu ke waktu.
Badan dikoyak anjing
buduk sampai sumsumnya, ditelan ular dari kepala sampai kaki bulat-bulat,
ulat-ulat masuk melalui lubang tubuhnya dan menggerogoti organ dalam sampai
habis tak tersisa.
Gambaran mimpi
buruknya terus muncul setiap malamnya. Gangguan mental tak bisa dihindari.
Kepala tertimpa, seluruh tubuh mati rasa.
Kepala Keluarga
selalu marah-marah. Kejiwaannya mulai terganggu. Cacian, hardikan, umpatan, dan
kalimat kekecewaan tak pernah putus dari mulut Kepala Keluarga. Bahkan saat
mendapati masalah kecil. Seperti belum siapnya air panas buat mandi, hukuman
gamparan dan tendangan dengan mudah dilayangkan ke Ibu. Sedangkan Acan, tak
lepas dari incaran rasa murka.
Efek negatif
menambah tidak sedapnya cerita ini. Seperti
getok tular, lama-kelamaan Ibu
kehilangan dirinya. Keibuan? Hanya jadi mitos. Ibu mutlak jadi orang lain. Karena
seringnya Ibu disiksa, Ibu jadi mudah kerasukan. Ibu gila.
Ketika Ibu melihat
Kepala Keluarga, Ibu akan ketakutan dan kepala keluarga akan menendang keras
Ibu. Kepala Keluarga membenci melihatnya. Setiap melihatnya, yang tergambar
hanya perasaan murka.
Kegilaan Ibu
semakin menjadi-jadi. Murkanya dilimpahkan pada Acan. Mau pekerjaannya
dikerjakan dengan baik maupun tidak, Acan tetap kena hantaman panci yang sudah
peyok tak karuan, dan itu belum semuanya. Belum semua siksaan dari Kepala
Keluarga.
Acan bisa aman saat
Kepala Keluarga pergi bekerja jam delapan. Saat itu pula Acan bisa pergi ke
lapangan, sebab pintu dibiarkan tidak terkunci sampai Kepala Keluarga pulang
jam lima sore.
Setiap dalam
keadaannya yang buruk, Acan senang membayangkan lapangan dengan Pohon Waru
rindang yang tetap menaungi dan merengkuhnya menggantikan keteduhan keluarga.
Walaupun benjolan, memar, luka di hatinya tak sembuh-sembuh, bermain dengan
saudaranya, layang-layang, mampu melipur lara.
Lapangan yang luas
dengan senang hati diangkat menjadi Ayah Acan. Pohon Waru gembira menjadi Ibu
dari anak menggemaskan seperti Acan. Layang-layang tak bosan-bosan bermain
dengan saudaranya. Keluarga baru Acan yang tak tega menghukum, tidak terlalu
menuntut, tak paham panci untuk menghantam kepalanya. Keluarga yang sempurna, nyaris. Aku jadi
penasaran, bagi Acan aku siapa?
Acan mulai
menggulung senarnya. Dia harus kembali. Kalau semakin gelap dia takut saat
pulang nanti. Takut kena pukulan, atau
lebih buruk lagi.
* * *
“Hiks… hiks… hiks… ”
Entah salah siapa
yang memasak. Acan tak tahu-menahu siapa yang memasakkan air panas. Tapi
kenapa? Kenapa dia tetap dipukul dengan keras? Isaknya berat, tertahan di
lubang lebar yang terhalang, tak bisa lepas. Seandainya dia berteriak keras,
pungkulan untuk membungkamnya tak bisa diartikan sakit lagi. Pedih, pedih
baginya tak ada tempat aman, pelindungnya, teman. Keluarga barunya tak mampu
bertindak sesempurna keinginannya.
“Oh…Acan! Apa yang
telah kulakukan? Setan apa yang telah merasukiku? Kau tak apa-apa, Acan?” Ibu
tersadar.
Hanya sesaat.
Acan dibangunkan.
Isaknya berusaha dihentikan, yang jadinya malah sesenggukan. Acan menutup
matanya dengan lengan kiri dan menyumpal mulutnya dengan telapak tangan kanan.
Ibu mencoba membuka wajah Acan dengan perlahan.
“Wajah buruk apa
ini?”
Brak! Ibu kumat
lagi.
“Kau ingin
menunjukkan wajah burukmu pada siapa, hah? Sana tidur, jangan nangis di sini!
“Bangun, Bodoh!
“Bangun, Bodoh!
“Bangun! Bangun!
Bangun, Bodoh! Jangan di sini!”
Acan terduduk
menangis. Dorongan keras ibunya membuatnya menghantam tembok triplek yang
digunakan sekat membagi ruang tengah. Acan langsung terduduk dan menunduk tak
berani menunjukkan wajahnya. Tertunduk dengan tangisnya.
“Terserah kau kalau
ingin di sini. Aku tak peduli.” Ibu pergi.
Acan tak berpindah
sedikitpun, langsung tertidur.
* * *
Mimpi-mimpi mereka.
Aku sudah pernah
bilang selalu mengamati mereka, mimpinya pun tak lewat kuamati. Warna
menjelaskan mimpi apa yang mereka jalani. Kesenangan, kuning. Haru, biru.
Hijau, damai. Jingga, asmara. Kedukaan, ungu. Indah, merah mudah. Buruk, merah.
Sangat buruk, merah darah.
Setelah warna dasar
mimpi keluar, bayang-bayang akan nampak saat terlelap tidur dan menjelang
bangun. Bayang-bayang menggambarkan kejadian apa di balik warna mimpi.
Seperti melihat
wayang bayangan dimana sang dalang bermain di belakang layar dengan sorotan
warnu lampu sebagai proyeksi, dengan mudah aku mengetahui alur cerita.
Mimpi Kepala
Keluarga semakin berwarna merah darah, tapi sangat keruh. Aku kesulitan
menerjemahkan gambarannya. Hanya sedikit. Seperti ada sesuatu di lehernya yang
membuat kesulitan bernafas.
Warna merah muncul
lagi dari lubang-lubang di kepalanya, mungkin itu darah yang tertahan di
kepala, sehingga keluar deras karena tekanan.
Ibu bermimpi
seterang matahari. Warna jingga dengan gambaran sepasang-sejoli yang
berpegangan tangan, mesra. Berjalan beriringan melewati ladang bunga. Saat sampai
tempat yang paling indah di tengah ladang bunga yang sedang mekar, pigmen warna
berubah.
Lelaki mencengkeram
lengan perempuan dan mengayunkannya layaknya boneka ringkih. Perempuan
dibanting dalam jurang yang tiba-tiba menganga. Ladang bunga dan pigmen warna
mimpi berubah merah darah.
Sedangkan Acan
terkulai di atas lantai. Terlelap dengan mimpi berwarna merah muda yang manis,
semanis dirinya. Dia sedang menerbangkan layang-layang di lapangan luas di
bawah Pohon Waru.
Keteduhannya
menciptakan rasa damai, damai sekali dengan keluarga barunya. Layangannya
terbang tinggi dengan membawa dua sosok bayangan yang terjerat lehernya.
Warna merah
mengalir di sekitar sayatan luka mereka dan menetes membasahi warna merah muda
yang cerah. Benar-benar mimpi yang indah.
Aku melihat itu
semua, tapi tak mampu mengubahnya dengan kehendak. Hanya melihat, tapi tidak
kesuluruhan, hanya mengintip. (*)
Senja, Bumi Kartini, 28 April 2017
No comments:
Post a Comment