![]() |
Ilustrasi : Google |
Cerpen Pipiek Isfianti
Perjalanan panjang
ini memang harus kembali kutempuh. Setelah bertahun-tahun. Puluhan tahun.
Setelah hampir saja aku melupakan desa tempat bapakku dilahirkan. Desa yang
kata suamiku Mas Ir adalah desa yang tak tercatat di peta.
Hahaha...konyolnya...
Tapi ada benarnya juga “ejekannya”. Bayangkan saja, dari kotaku Kudus aku harus
menempuh perjalanan sekitar tiga jam lebih. Padahal masih satu kota di Jawa
Tengah. Ini saja karena aku diantar Mas Ir naik mobil.
Masih teringat dulu
saat aku masih tinggal di Semarang bersama bapak dan ibuku. Harus naik bus dari
rumah ke terminal Pedurungan. Sampai terminal harus berganti colt plat
hitam yang kalau penumpangnya belum penuh total nggak bakal berangkat.
Setelah berhasil
berangkat, kami turun di sebuah pasar. Dari pasar itulah kami naik dokar yang
menempuh perjalanan hampir dua jam. Sudah jalan yang ditempuh dari tanah yang
super becek dan berlumpur kalau musim hujan. Ditambah penumpang dokar yang
sangat penuh. Aku melihat sang kuda yang berjalan terseok-seok dan dipukuli
dengan cambuk oleh pak kusirnya saja merasa begitu miris.
Dan kini ingatan itu
kembali terbayang. Begitu kuat dan hebatnya. Karena lewat Purwodadi, aku tidak
sampai melihat terminal Pedurungan yang sekarang entah masih ada atau tidak.
Aku tiba-tiba sudah sampai pasar tempat dulu mobil mobil plat hitam pada ngetem
mencari penumpang.
Pasar masih seperti
dulu. Tapi bangunan-bangunan di sana berubah menjadi bagus-bagus. Aku mencari
di sekeliling. Dokar-dokar juga masih ada dan berjajar rapi.
“Cari apa?” tanya Mas
Ir.
“Dulu begitu sampai
pasar ini, bapak pasti langsung mengajak kami makan sayur lodeh tempe semangit
dicampur kol. Krupuknya krupuk goreng pasir,” kataku sambil mataku mencari-cari
apa yang kumaksud.
Mas Ir terkekeh. “Itu
kapan? Puluhan tahun lampau. Apa masih ada warung itu?”
“Kita cari ah Mas,
kalau warung itu sudah nggak ada, pokoknya cari warung yang jual makanan
yang sama,” jawabku mantab. Setengah ngeyel.
“Okelah kalau
begitu...’ jawab Mas Ir sambil menepikan mobil di jalan.
Tak sabar aku turun
dari mobil. Berjalan cepat menuju warung-warung yang berderet di pasar kecil
itu. Mas Ir setengah berlari menyusulku. Rasanya ingin segera menemukan sayur
lodeh tempe semangit, yakni tempe yang sudah dibiarkan beberapa hari. Dan
krupuk pasir adalah krupuk yang tidak digoreng dengan minyak, melainkan dengan
pasir putih, sehingga gurih sekali rasanya.
Aku masuk ke sebuah
warung. “Bu, ada sayur lodeh tempe semangit?” tanyaku langsung.
Ibu penjual warung
menggeleng cepat. “Nggak ada Mbak.”
Tubuhku terasa lemas. Mas Ir mengajakku keluar. “Ayo cari warung yang lain.”
Beberapa warung sudah
kami masuki. Tapi ternyata mereka hanya menyediakan soto, bakso, ayam bebek
goreng dan paling banter lodeh sayur.
Aku menahan geram.
Juga lapar yang semakin menggigit. Tapi aku sedang nggak ingin makan
makanan itu. Aku hanya ingin sayur lodeh dari tempe semangit dan kol yang dulu
jika sampai pasar ini selalu diajak makan oleh bapakku.
“Sudahlah makan yang
ada dulu. Karena sudah siang. Takut nanti kemalaman sampai rumah. siapa? Kamu
tadi menyebutnya siapa? Mbah Nom?“ tanya suamiku. Lalu dia tertawa kecil.
“Lucu dan aneh ya
panggilannya…”
“Mana kutahu. Bapak
yang memanggilkannya begitu untuk kami. Ya ayolah makan bakso saja,” jawabku
cepat.
Yaya, memang hari
sudah siang dan kami masih harus melanjutkan perjalanan. Rumah Mbah Nom aku
juga sudah lupa. Terakhir ke sana puluhan tahun lalu saat aku masih kecil. Itu pun
hanya dua tiga kali. Dan itu pun nggak boleh cerita sama siapa
saja.
Kami melanjutkan
perjalanan. Menyusuri jalan desa yang dulu aku bersama bapak ibu dan ketiga
kakakku menempuhnya dengan dokar. Walau sekarang jalanan tidak seburuk dahulu,
tetap saja banyak lobang di sana-sini. Masih terasa goncangannya tiap kali Mas
Ir harus masuk ke lobang atau menghindari lobang.
Sepanjang perjalanan,
ingatanku kembali melaju menuju pada masa lalu. Saat bapak masih ada. Tiap
lebaran hari kedua, kami selalu diajaknya mudik ke desanya. Menempuh perjalanan
seperti yang kuceritakan tadi.
Lalu sebelum sampai
di rumah nenek, ibu kandung bapakku, yang kami memanggilnya Mbah Uti, kami
sudah melihat sosoknya dari kejauhan. Begitu kecil karena terlihat dari jauh.
Mbah Uti sudah menunggu kami berjam-jam yang lalu. Berdiri di pinggir jalan.
Lalu begitu melihat dokar kami, dia akan langsung bertepuk tangan, melonjak
lonjak bagai anak kecil. Betapa kehadiran kami begitu dia nanti.
Mbah Uti terasa
begitu mencintai kami. Maklumlah, bapak anak tunggal. Sebenarnya bapak punya
adik lelaki. Tapi waktu bapak kelas empat Sekolah Rakyat, adik satu-satunya
yang baru berusia enam tahun diculik tetangganya dan katanya sudah dijual
di Malaysia.
Dan adik bapak itu
tak pernah diketahui kabarnya sampai Mbah Uti meninggal. Sampai bapak
meninggal. Bahkan sampai sekarang. Tak ada yang tahu bagaimana kabarnya.
Masihkah hidup atau sudah tiada. Dan sepertinya tak ada yang ingin
mengorek-mengorek keberadaannya. Karena aku tahu itu luka yang sedemikian sakit
bagi Mbah Uti, juga bapak.
Lalu begitu sampai di
rumah Mbah Uti, kami pasti langsung makan. Sayur lodeh tempe semangit lagi,
dengan krupuk goreng pasir juga. Bedanya, di Mbah Uti ada empal daging sapi
yang digoreng garing. Manis, asin dan gurih.
Ah, aku kembali
menelan ludah. Lalu setelah makan, kami akan mandi di sungai, bersama dengan
anak-anak desa yang sejak kami datang akan melihat kami dari pintu rumah Mbah
Uti. Berjajar seperti takjub melihat kami. Lalu ibu membagi-bagikan kue kepada
mereka, dan mereka tetap tak beranjak. Baru setelah kami mengajak bermain di
sungai, mereka akan kembali biasa.
Lalu Mbah Uti akan
mengajak kami berkeliling ke rumah saudara-saudaranya. Menceritakan dengan
bangga keberadaan kami. Begitu terus siklusnya jika lebaran kami pulang ke desa
bapak.
Hanya yang membuatku
selalu menyimpan pertanyaan, jika Mbah Uti pergi ke pasar untuk menjual hasil
kebunnya, bapak akan mengajak kami pergi ke sebuah rumah yang cukup jauh dari
rumah Mbah Uti. Tapi masih sedesa.
Di rumah itu kami
akan bertemu dengan seorang nenek yang tak jauh usianya dari Mbah Uti. Tapi
sungguh sangat berbeda penampilannya. Mbah Uti hanya mengenakan kain jarik yang
dipakainya asal-asalan, dengan kebaya yang model dan kainnya sangat biasa,
sedangkan nenek itu selalu memakai kain yang bagus dan rapi. Kebayanya juga
bagus dengan model yang lain.
Rambut Mbah Uti juga
hanya digelung kecil sekedarnya, sedang nenek itu disanggul seperti orang mau
kondangan. Dan bapak memanggilkannya untuk kami : Mbah Nom. “Panggil Mbah Nom
saja,” kata bapak waktu itu.
Waktu itu aku dan
kakak-kakaku tidak pernah tahu siapa Mbah Nom itu. Bapak hanya mengatakan Mbah
Nom ya Mbah Nom. Nom artinya muda dalam bahasa Jawa. Jadi Mbah Nom berarti
nenek muda, begitu selalu kata bapak.
Dan anehnya, bapak
selalu mewanti-wanti kami untuk tidak pernah menceritakan pada Mbah Uti bahwa
hari itu saat Mbah Uti pergi ke pasar, bapak mengajak kami ke sana.
“Jangan bilang Mbah
Uti tadi kita ke rumah Mbah Nom ya,” pesan bapak.
Pernah aku keceplosan
bercerita pada Mbah Uti bahwa aku tadi diberi uang Mbah Nom saat Mbah Uti
bertanya, dari mana uang di sakuku saat akan mencucinya. Di luar dugaan, Mbah
Uti tiba-tiba masuk kamar dan tak keluar seharian. Aku mengintip dari lubang
kunci, dan melihat Mbah Uti telungkup di tempat tidur. Aku tak tahu mengapa.
Hanya bapak memarahiku habis-habisan.
Ingatan itu tiba-tiba
menyeruak di kepala. Betapa dulu Mbah Nom menjadi sesuatu yang harus dijaga
dari Mbah Uti. Aku baru tahu setelah puluhan tahun, setelah aku mulai beranjak
dewasa. Aku baru tahu siapa Mbah Nom itu.
“Sudah
sampaiiiiiii.....” tiba-tiba Mas Ir sengaja mengerem mendadak mobilnya untuk
menghentikan lamunanku.
Aku tergeragap. Di
depanku sudah nampak rumah Mbah Uti, yang sekarang ditempati Wak As dan
keluarganya. Wak As adalah keponakan Mbah Uti yang membeli rumah Mbah Uti
setelah Mbah Uti wafat.
Wak As tergopoh-gopoh
menjemput kami. Dadaku berdegup. Aku jadi ingat Mbah Uti. Kangen begitu
menyergap, dan mataku mendadak basah.
“Ayo ayo masuk,” kata
Wak As, yang rambutnya sudah memutih. Seusia ibuku. Sekitar 65 an tahun.
Setelah berbasa-basi
dengan Wak As yang sudah menjanda itu, aku ceritakan maksud kedatangankku. Aku
hendak menemui Mbah Nom, menyampaikan pesan bapak sebelum bapak meninggal.
Wak As menghela napas
panjang. “Tapi apa Mbah Nom masih bisa mendengar ceritamu? Usianya sudah 90
tahunan,” kata Wak As.
“Kita coba saja
Wak,soalnya ini amanah bapak. Supaya semuanya nanti menjadi baik,” kataku
pelan.
Aku lalu bercerita
bahwa sebelum bapak wafat, bapak menceritakan hal ini padaku. Sesuatu yang menjadi
ganjalanku. Dan aku memutuskan untuk menceritakan pada Mbah Nom setelah Mbah
Uti wafat dan bapak wafat.
Apalagi aku mendengar
Mbah Nom masih hidup sekali pun sudah susah berkomunikasi. Tapi aku merasa
bahwa aku mempunyai beban untuk menyampaikan ini, seperti pesan bapak.
Wak As terdiam, lalu
menyuruhku shalat ashar sebelum aku menemui Mbah Nom.
Sore hampir senja,
aku menuju rumah yang dulu ketika aku kecil tiap lebaran selalu diajak bapak ke
sana. Secara sembunyi-sembunyi. Rumah Mbah Nom.
Rumah yang kata bapak
sering dikunjunginya saat bapak masih kecil. Juga dengan cara
sembunyi-sembunyi. Untuk menemui ayahnya, seorang kepala desa yang terpandang
di desanya.
Setelah menikah
dengan Mbah Uti dan memiliki bapakku, kakekku menikah lagi. Tentu saja awalnya
tanpa sepengetahuan Mbah Uti. Tapi lama-lama Mbah Uti juga tahu bahwa suaminya
memiliki perempuan lain.
Itulah awal kata
bapak dia mulai merasakan aroma ketidaknyamanan di rumah. Mbah Uti menjadi
sosok yang pemurung sekaligus pemarah. Mbah Uti dan kakek sering bertengkar,
dan bapak sering lari meninggalkan rumah. Dan yang dituju adalah rumah Mbah
Nom.
Kata bapak, di rumah
Mbah Nom bapak justru merasakan kenyamanan. Mbah Nom baik dan tak pernah marah.
Itulah mengapa bapak suka berada di rumah Mbah Nom. Lama-lama keberadaan bapak
di rumah Mbah Nom membuat Mbah Uti sedemikian marah. Mbah Uti mengamuk hebat,
dan melarang keras bapak untuk kembali ke rumah Mbah Nom.
Lalu saat bapak mulai
sekolah rakyat, tiba-tiba di rumah bapak ada bayi lelaki. Dan Mbah Uti dan
kakek menyebut bayi itu adalah adik bapak. Bapak tidak tahu dari mana bayi itu
berasal. Yang jelas bapak begitu mencintai adiknya itu. Sampai cerita bapak
berhenti, saat adik lelaki kesayangannya itu tiba-tiba tak ada di rumah.
Pergi kata Mbah Uti.
Sejak itu Kakek jadi sakit-sakitan, dan meninggal. Dan Mbah Uti selalu marah
jika bapak menanyakan keberadaan adiknya. Mbah Uti dan tetangga selalu bilang
jika adik bapak diculik tetangganya pergi ke Malaysia dan tak pernah kembali.
Sejak itu cerita
tentang adik lelaki bapak hanya sayup-sayup terdengar, sampai padam sama
sekali. Sampai bapak melanjutkan sekolah di Semarang, lulus, bekerja di sana
dan menikah dengan ibuku. Sudah hanya sampai di situ.
Sampai bapakku mulai
sakit-sakitan, dan aku kerap berkunjung ke Semarang. Suatu hari sewaktu
menyuapi bapak, dengan terbata-bata bapak bercerita, bahwa ada sebuah rahasia
yang dia pendam hingga menyesakkan dada. Tentang sebuah kisah yang ia pendam
bertahun-tahun.
Tentang adik
lelakinya. Bahwa sang adik kesayangannya itu, satu-satunya itu adalah anak Mbah
Nom dengan kakek. Mbah Nom menyerahkan anak itu kepada kakek dan Mbah Uti
karena Mbah Uti mengancam jika sampai anak itu tidak diserahkan padanya maka
dia akan memberitahu hubungan kakek dan Mbah Nom dengan siapa saja.
Juga pada Pak Camat
waktu itu. Sehingga jabatan kakek sebagai kepala desa akan dicopot.
Ternyata keberadaan
anak lelaki pernikahan siri antara kakek dan Mbah Nom hanya mampu meredakan
amarah Mbah Uti barang sekejab.
Selebihnya dendam karena
disakiti dan dikhianati membuat Mbah Uti ingin selalu membalas dendam. Maka
terjadilah konspirasi itu. Mbah Uti menyuruh salah seorang tetangganya yang
masih keponakan jauhnya untuk membawa adik bapak pergi. Lalu Mbah Uti membuat
cerita rekaan tentang penculikan itu. Dan mereka memang pergi dan tak diketahui
rimbanya sampa saat ini.
Hal itu membuat
dendam Mbah Uti terbalas, walau akhirnya menimbulkan penyesalan yang luar
biasa. Sampai mengganggu hari-harinya sahingga terus menerus sakit-sakitan,
karena mananggung rasa dosa dan penyesalan yang begitu mendalam. Mbah Uti
menceritakan itu semua pada bapak menjelang kematiannya. Dan bapak menceritakan
padaku juga menjelang kematiannya.
“Hanya kau yang kuharapkan. Yang mengerti semua ini. Tolong kalau bapak sudah meninggal, dan Mbah Nom masih hidup. Temui dia, ajak dia ke rumahmu. Rawat sebaik-baiknya. Dia tak punya siapa-siapa. Hanya itu kita menebus kesalahan Mbah Uti, agar beliau tenang di alam sana,” kata bapak tergugu waktu itu.
Aku tercekat. Cerita
bapak rasanya bagai dongeng bagiku. Sesungguhnya aku tak menyangka, bahwa Mbah
Uti yang teramat baik itu juga pernah tega berbuat sekeji itu. Semua atas nama
cinta? Ataukah justru atas nama dendam? Ah entahlah, yang jelas aku sendiri
mencoba merasakan penderitaan Mbah Uti karena sebuah pengkhianatan.
Tapi apakah harus
dibalas dengan mengorbankan seseorang yang tak berdosa? Adik bapak? Bagaimana
jika dia ternyata hidup terlunta-lunta? Sungguh aku tak berani membayangkan.
Dan kini setelah bapak wafat, aku hanya ingin menjalankan amanahnya.
Sebuah amanah yang memang harus aku tunaikan.
Suara mengaji orang
di masjid mulai terdengar. Aku telah sampai di rumah Mbah Nom. Rumah yang dulu
semasa kecil kuingat samar-samar itu kini terlihat kusam dan rusak di bagian
sana-sini. Aku dengar dari Wak As, Mbah Nom hanya mengandalkan kiriman dari
belas kasihan tetangga.
Saat aku datang
beberapa tetangga sudah berada di situ. Sebelumnya Wak As memang telah
memberitahu akan maksud kedatanganku pada mereka.
Ingatanku menyeruak,
kepada sosok perempuan cantik dengan sanggul dan kebaya yang mewah, yang dulu
sering memberiku uang dan memangkuku. Dan aku tak boleh bercerita pada Mbah Uti
bahwa aku baru saja diajak bapak ke rumahnya.
Tapi kini yang
kulihat hanya sesosok tubuh tua renta kurus kering tertidur meringkuk di sebuah
balai dengan kasur tipis tanpa sprei. Bau pesing menyergap. Mungkin sisa-sisa
kotoran tubuhnya.Kudekati tubuh itu. Dia menatapku lemah. Matanya saja yang
berbicara saat aku menyebut namanya, “Mbah Nom...”
Dia menatapku lemah,
ingin bicara tapi tak bisa. Aku menahan napas, ini perempuan istri kedua
kakekku. Perempuan yang membuat sakit hari nenekku, sehingga tega melampiaskan
dendam dengan cara yang tak manusiawi.
Tapi dia toh tetap
manusia. Karena nenekku juga dia harus kehilangan anak satu-satunya. Dan aku
tahu, setelah itu pasti hanya luka dan perih yang Mbah Nom tanggung sepanjang
hidupnya.
Aku segera beranjak
mengambil handuk dan ganti yang sudah aku persiapkan dari rumah. Dengan handuk
yang sudah kurendam dengan air hangat yang juga aku bawa dari rumah, kusibin
tubuh tua renta kurus kering itu hati-hati.
Saat kuseka matanya
yang sudah setengah terpejam dan penuh kotoran itu, mata tua itu menatapku
terus. Aku tahu serasa dia ingin berkata-kata, tapi tak bisa. Kubasuh terus
perlahan, dan mata itu berair.
Mas Ir kuminta
mengangkat tubuh kurus kering yang kini sudah tak berbau itu ke atas mobil.
Biarlah kubawa ke rumahku. Akan kurawat sebaik-baiknya.
Biarlah semua
kesalahannya menjadi perempuan kedua dalam hidup kakekku, yang membuat sakit
hati Mbah Uti menjadi miliknya di masa lalu.
Toh bagaimana pun dia adalah bagian dari keluarga kami.
Seperti pesan almarhum bapak, aku harus merawatnya untuk menebus kesalahan Mbah
Utiku. Terngiang terus kata-kata bapak padaku, bahwa bagaimana pun Mbah Nom
adalah bagian dari kakekku, bagian dari bapakku, bagian dari diriku. (*)
Kudus, September 2016
______________
Pipiek Isfianti, lahir di Semarang
pada tanggal 19 Oktober 1973. Menulis sejak SMP dimuat di berbagai media
tanah air dan luar negeri (Majalah Bahana Brunei Darusallam dan majalah
pengguna Malaysia). Menikah dengan Nur Choiruddin. Ibu rumah tangga dengan tiga
orang anak ini sekarang tinggal dengan keluarga di Kudus. Bukunya antara
lain antalogi puisi Perempuan Mengasah Kata (penerbit Taman Budaya Jawa
Tengah 2017), Antalogi Puisi Bayang-bayang Menara (Keluarga Penulis
Kudus), Januari 2016, Antologi Puisi Membaca Jepara, Dewan Kesenian Jepara,
Desember 2015, Inspirasi Untaian Nama Bayi Penerbit Ibu Ibu Doyan Nulis (IIDN)Semarang,
2014, Antologi puisi penyair ind kartini 2012, Antologi cerpen remaja 4,bola
salju di hati ibu (yayasan obor ind), Bse aku mampu berbahasa dan bersastra ind
sma dan ma kl X (kemendiknas) hal 137, Antologi puisi Habis gelap terbitlah
sajak penerbit forum sastra surakarta des 2013, Antologi cerpen mastera seasia
tenggara dari pemburu ke terapeutik (pusat bahasa kemendiknas) 2005, Antologi
cerpen remaja April Mop tabloid remaja tren suara merdeka grup, Cerita
bersambung FIVE GIRLS dimuat di tabloid remaja tren Suara Merdeka Group,
Mewakili Indonesia di ajang penulisan Mastera cerpen se-Asia Tenggara (2003)
Pusat Bahasa Kemendiknas. Selain menulis, pipiek juga aktif berteater. Sekarang
ibu carik RT 5 RW 7 ini aktif di kelompok kesenian Keluarga Segitiga Teater
(teater Keset) Kudus dan Keluarga Penulis Kudus (KPK).