Ilustrasi : Google |
Pagi
itu di Akwan Ibom seorang bocah mengais sampah untuk menyambung hidupnya. Bocah
sekecil itu bertelanjang mengaduk-aduk sisa-sisa makanan di ujung jalan itu.
Tubuhnya
yang kurus kerontang dengan perut buncit penuh cacing, sekujur punggungnya
penuh luka akan siksaan masyarakat Uyo-Nigeria Selatan. Mereka menyebut bocah
itu pembawa sial, kerasukan atau lebih tepat penyihir menyebarkan teluh jahat.
Badannya
hitam legam bermata sayu merah itu mengunyah dan mengerat daging busuk yang
telah dikerubungi lalat-lalat kotor. Ia tak tahu apakah itu bersih atau
menyehatkan buatnya, hanya insting layaknya binatang untuk menghapus lapar dan
dahaga.
Bocah
ini tak punya pilihan, dilahirkan tapi tak inginkan dan dibuang oleh orang tuanya.
Dianggap bukan bayi normal, lahir dengan abnormal cacat.
Tidak
ada baju sehelai di tubuh bocah ini, terik matahari dan hujan tak dihiraukan
sama sekali. Kaki-kaki kecil itu hanya berbalut kulit tanpa alas menjejakkan bumi
bercampur lumpur.
Ia
tak tahu siapa bapak ibunya, lahir menangis sekarang berkeliaran di pasar itu
tak dihiraukan sama sekali.
Sekitarnya
ada yang peduli tapi takut untuk dekat bocah ini, cap penyihir akan membawa kesengsaraan
dan kepedihan. Mereka hanya bisa membuang sisa-sisa makanan dan dilempar ke
hadapan bocah itu. Tangannya meraih tak berpikir lama memasukkan kedalam mulut,
air liur menetes disela-sela bibirnya.
Tak
mempunyai tempat tinggal dan malam harinya
ia tertidur di ujung pasar itu, paginya ia bangun tak ada rengekan anak
kepada ibunya atau gelayutan manja seorang ayah.
Bocah
ini hanya duduk termenung terkadang mengigil kedinginan menahan kantuknya
sambil mengucek-ngucek matanya penuh dengan kotoran belek. Mengaruk-garuk kepala yang penuh luka bercampur kutu dalam
rambutnya
Biar
pun anak sekecil itu tapi Tuhan masih sayang dia, tubuhnya terlihat ringkih ada
kekuatan dalam tubuhnya menolak untuk mati.
Tetap
hidup seperti menantang orang-orang yang memandang atau mencaci makinya.
Kalimat kotor yang disampaikan ke bocah ini tak dimengerti olehnya.
“Kau
pembawa api di tanganmu, kau anah haram jadah…cuiih!” hujatan dan cibiran
berbalut ludah diarahkan kepadanya.
Tapi
ia tetap diam dan tak mengerti apa yang mereka perbuat pada dirinya dan apa salahnya
kepada mereka.
Terkadang
suatu malam yang sunyi, bocah ini duduk sendiri memandang bintang di langit.
Dalam benaknya mengapa aku dilahirkan jika tidak diakui, bahkan ia tak tahu
namanya sendiri dan tak sempat mengulum tetek
ibunya sendiri.
Tak
bisa merasa kesenangan anak kecil sepertinya lainnya, bermain bola atau saling
berkejaran mengejar matahari terbenam.
Hal
yang ia bisa lakukan hanyalah bagaimana melawan rasa lapar dan haus yang berada
di dalam perutnya. Cacing-cacing dalam perutnya terus berontak dan minta jatah
pada tuannya yang masih kecil ini. Ia hanya tahu bertahan hidup, memungut
makanan yang ditinggalkan pemiliknya dan minum air sisa dari botol yang
terceceran di ujung jalan itu.
Suatu
ketika bocah ini berusaha mendekati kerumunan anak seusianya yang sedang
bermain bola. Sifat kekanak-kanaknya itu membuat mendekati mereka untuk ikut
bermain, saat bola yang diperebutkan mental ke arahnya dan kaki kecil tak kuasa
menendangnya mengenali salah satu anak tersebut.
Sesaat
itu terhenti keriuhan di sana, mereka memandang bocah ini dengan tajam seakan
sangat membencinya.
“Penyihir
cilik…penyihir cilik…pergi kau! Tubuhnya tak diundang di sini.” teriak salah
satu anak di sana.
Mereka
kompak menghujat bocah ini, melempari ia dengan batu dan mengenai kepala.
Lemparan-lemparan itu membuat kening mengucur darah, tidak kepala bahkan
sekujur tubuh tapi bocah ini tak pernah sekali pun menangis. Orang sekelilingan
hanya diam dan tidak berbuat apa pun karena hanya mengiyakan perbuatan
anak-anak mereka.
Malam
ini bocah penyihir ini berselimut dingin dengan sekujur tubuh penuh luka tapi
ajaib luka cepat mengering. Masyarakat Uyo mengira bocah sial itu menjadi
bangkai mati dan lenyap kesialan di negeri itu.
Tapi
paginya anak ini tetap hidup dan mengais-gais sampah dekat pasar itu lagi dan
mengerat daging busuk kembali. Tuhan memang sayang sama anak satu ini, ada
rencana lain buatnya.
Sudah
ratusan anak menjadi korban tuduhan penyihir yang menyisahkan pedih jika
melihatnya. Tuduhan tidak masuk akal untuk anak kelainan fisik, indigo atau
terlihat aneh tidak seperti anak umumnya.
Sekte
gereja orthodox setempat mengklaim anak-anak ini kerasukan setan dan harus
diusir, penguasa tidak berbuat apa pun karena kemiskinan menguasai semua lini
kehidupan Akwan Ibom.
Malam
itu seperti malam lainnya, bocah ini duduk sendirian memandang langit matanya dan
di sampingnya ada seekor anak anjing yang tengil kotor di sampingnya. Tangannya
mengelus-mengelus kepala anjing ini
“Kau
kesepian juga, aku pun demikian,” ujarnya biar pun anjing tak tahu apa yang
dikatakan dan hanya menjulur-julurkan lidah.
“Andai
dunia ini kiamat dan tak ada satu pun orang hidup. Maukah kau jadi temanku.”
“Orang-orang
membenciku, apa kau juga membenciku?”
“Guuuk…guukkk.”
timpal anjing tapi tak tahu apakah jawaban iya atau tidak sambil mengibas-ibaskan
ekornya.
Percakapan
bocah ini dan anjing jadi penghias mimpi malam ini yang dingin menusuk tulang
* *
*
Berita
tentang bocah penyihir ini menjadi viral di medsos dan didengar kantor berita
lokal dan luar. Mereka berduyun-duyun turun ke Akram Ibom untuk
mendokumentasikan bocah ini, semua awak kamera menyorotnya jepretan kilat
kamera bersambungan menyilaukan mata.
Pewarta
ini diingatkan masyarakat setempat agar meliput dari kejauhan, polisi juga
memasang garis pembatas agar tidak terlalu mendekat kuatir ada jurnalis asing
menyentuh bocah ini menular dan membuat citra negeri jelek dimata dunia luar.
Tapi
bocah ini tak terlalu peduli akan media yang datang, semua aktivitas diiikuti
terus dari ia bangun, berak, kencing sampai ngupil semua tak luput dari
sorotan mata kamera media. Esoknya koran pagi terbit sore lokal muncul
foto-foto bocah ini, tivi-tivi asing mengulas jadi headline “Bocah Penyihir
Akram Ibom” bahkan dilakukan penelitian para peneliti sampai talkshow.
Berita
bocah ini menaikkan rating televisi dan oplah koran, ini membuat para pembaca
dari luar negeri berdatangan. Turis-turis berduyun-duyun ke Uyo melihat bocah
ajaib, datangnya wisatawan ini membawa berkah masyarakat sekitar. Geliat
ekonomi mulai naik, devisa uang dollar masuk. Banyak masyarakat sekitar membuka
warung dadakan, suvenir dibuar, kaos disablon atau gantungan kunci dibuat.
Selama
ini kemiskinan jadi momok sekarang tidak lagi berkat bocah ini, bocah sial ini
membawa peruntungan tapi masyarakat Uyo tetap mengganggap hanya sebagai binatang
yang ditonton menghasilkan uang bagi mereka
Layak
hewan di kebun binatang, turis-turis itu melihat dari kejauhan dengan penjagaan
polisi ketat. Bocah ini tak peduli, ia tampak duduk di atas tanah yang kotor berlumpur.
Banyak makanan dan minuman dilemparkan ke bocah ini, layaknya monyet mencari
pisangnya bocah ini memungutnya. Tepuk riuh kerumunan bergelegar mirip suporter
bola saat tim kesayangan menceploskan gol ke gawang lawan.
Berminggu-minggu
sampai berbulan pertunjukan bocah penyihir ini digelar bahkan dikarciskan.
Ekonomi penduduk setempat beranjak dari taraf rendah ke menengah atas, para
istri bisa membeli perhiasan gelang atau kalung emas yang bisa dipamerkan atau
para bapak bisa membeli motor dan para anak memakai baju bagus. Semua itu
karena pertunjukkan konyol bocah itu, memang ironis pemandangan tersebut.
Mata
sayu bocah ini suatu saat menangkap hal menarik dalam kerumunan itu, sepasang
mata itu tampak indah. Mata kiri dengan bola mata biru sedangkan sebelah kanan
perpupil hijau. Tapi ada pancaran kesedihan, tapi seperti ada tetes mata
mengalir di bawah kelopak mata….ah bocah ini hanya melihat sekilas. Bocah
melanjutkan aktivitasnya mengejar dan bermain dengan sabahat anjingnya.
Setelah
berbulan-bulan para turis dan awak media luar meliput fenomena ini terjadi
kebosanan. Redaktur media menarik crew untuk meliput headline lainnya
yang lebih bombastis, turis juga bosan tidak ada yang dilihat dari Uyo selain
bocah ini.
Sedikit
demi sedikit pengunjung berkurang, warung-warung tutup bertumbangan, masyarakat
sekitar kehilangan pekerjaan mata pencaharian. Para ibu menggadaikan perhiasan,
motor para laki-laki ditarik dealer karena menunggak angsuran. Pada akhirnya
kemiskinan kembali ke Akram Ibom, ke awal sekali lagi.
Kejadian
ini membuat kemarahan, orang-orang di sana menyalahkan bocah penyihir itu
kembali.
“Ini
gara-gara bocah laknat, kita miskin lagi”
“Pembawa
sial!”
“Tukang
sihir!”
“Kita
bunuh saja!”
“Cincang!”
“Bakar
hidup-hidup!”
Semua
caci maki dan hinaan sahut menyahut, malam itu mereka membuat rencana busuk.
* *
*
Kesunyian
tampak pagi hari itu, deru debu berkibar terkena angin. Kota itu tampak sepi
tapi di ujung gang tersebut bermunculan wajah-wajah penuh ketegangan dan kebencian,
hawa membunuh tersirat di sana.
Tidak
hanya laki, perempuan dan anak kecil di tangan memegang golok, pisau, rantai
atau pun balok kayu. Tampak beringas terlihat seperti dari mata mereka memerah.
“Bunuh
anak itu!”
“Habisi!”
“Potong-potong,
kasih daging buat makanan anjing!”
Teriakan-teriakan
itu membahana di seantero kota, mereka mencari anak itu tapi kebetulan tak
tampak batang hidungnya. Mereka terus mencari dan mencari dengan tujuan
menghabisi sang pembawa sial kota mereka. Amarah memucak di ubun-ubun dan iblis
sudah merasuki mereka tapi tak ketemukan buat pelampisannya.
Terlihat
bocah itu bermain dengan anjing tengiknya di pinggiran kali kota ini, kerumunan
nan beringas langsung merangsek
“Itu
dia, gayang! “
“Jangan
sampai hilang.”
“Bunuh!
Bocah
tak-tak tahu kenapa orang-orang ini berlari-lari ke arahnya dengan membawa
beda-benda tumpul itu. Maka terjadi pembantaian sore hari itu, berbagai
pukulan, tendangan, sayatan pisau dan sodokan balok kayu menghantam bocah ini.
Setelah
puas, mereka menginjak-injak ini di atas tanah. Tubuh itu bersimbah darah
tergeletak di samping anjingnya yang lebih dulu dicincang.
Merasa
bocah ini telah menghembuskan napas terakhir, jasad di buang di tumpukan sampah
berharap membusuk dan dikerat anjing liar.
Tapi
mereka begitu kaget, bahwa esok bocah ini masih berdiri tegak mengais sampah
kembali. Betapa geram masyarakat Uyo bahwa buruan tidak mati seperti binatang.
“Hajar
lagi!”
“Hidup
kembali.”
“Hantam
sana-sini!”
“Tegak
berdiri.”
Itu
terjadi berulang-ulang hingga pembantaian ke-13 mereka membiarkan bocah ini di
tengah lapangan hingga malam. Kali ini mereka percaya bahwa setan dalam tubuh
bocah sudah lenyap dan mereka kembali ke rumah mereka masing-masing. Dan tak
sadar ada mata yang memperhatikan pambantaian mereka yang miris.
Tengah
malam yang dingin jasad bocah tergeletak sendiri, ada seekor anjing mendekati
mencoba menjilat-jilat muka. Tak dikira mata bocah ini perlahan membuka, anjing
sepertinya kaget hingga lari terkaing-kaing. Bocah ini merangkak dari
kematiannya lagi.
“Aku
sudah lelah, kenapa tak kau matikan aku saja.” wajahnya tengadah ke atas langit
penuh dengan bintang.
“Aku
tak tahu apa salahku? kenapa mereka memukuliku?”
“Andai
kau tahu jawabannya?”
Pekat
malam itu ada langkah kecil mendekati ia, langkah itu berhenti di depannya.
“Kau..kau
seperti tidak asing bagiku. Mata itu…mata itu begitu indah.”
Seorang
perempuan mendekati bocah ini, seluruh badannya berkulit putih berwajah tato
dan rambut putih pirang bak emas berkilau di gelapnya malam itu.
Perempuan
ini menyodorkan botol aqua ke mulut bocah sambil berjongkok
“Kau
begitu cantik, matamu berbinar.”
Mata
itu layaknya pelangi, memancarkan harapan dan kesedihan. Kulihat air mata itu
meleleh dari matamu tapi itu bukan airmata itu sebuah tato air mata. Kenapa kau
tato matamu? Apakah kau membenci kebahagian? Kenapa kau menolongku tidak
seperti lainnya menghujatku? …ah aku tak tahu jawabannya.
Kau
ulurkan tanganmu, kau selimuti aku dengan selimut dan kau gendong aku. Begitu
hangat.
Kau
ajak aku pergi dari kota sialan ini, pergi jauh dari kota ini. Mereka pasti
senang bahwa aku sudah tidak ada, menghilang tanpa bekas dan tidak memberikan
kesialan lagi kota ini.
Dalam
dekapanmu kurasakan degup jantungmu, lama tak kurasakan ini. Karena setelah ini
dan esok kau kupanggil MAMA.
Surabaya, Februari 2017
____________
Ferry Fansuri kelahiran Surabaya adalah travel writer, fotografer dan
entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas
Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair
dan ikut dalam pendirian majalah kampus Situs dan cerpen pertamanya
"Roman Picisan" (2000) termuat. Puisi-puisinya masuk dalam seleksi
antologi puisi festival puisi Bangkalan 2 (2017) dan cerpen "pria dengan
rasa jeruk" masuk antologi cerpen senja perahu litera (2017). Mantan
redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis
freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional. Dalam
waktu dekat menyiapkan buku antalogi cerpen dan puisi tunggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar