![]() |
Ilustrasi Google |
“Orang naik haji itu seperti raja memakai mahkota. Hanya orang-orang pilihan
yang bisa melakukan dan mendapatkannya. Ketika keimanan seorang muslim sudah
mencapai takwa dalam makna sebenarnya, saat seseorang sudah mampu berperilaku sehari-hari
seperti ajaran yang tertera dalam kitab suci Alquran dan sunnah Rasul. Ketika seorang muslim sudah
mampu melakukan kebajikan yang tercermin dalam lisan, hati dan perbuatan, InsyaAllah mereka
terpilih untuk naik haji. Allah akan memanggilnya, entah dengan rezeki yang hanya Allah Swt yang tahu.”
Mahko terpekur
di antara umat kala mendengar pengajian
pagi Subuh pada musala ujung kampung. Ustad Hasim sedang bersyiar tentang ibadah
naik haji.
Mahko bergumul
dengan pertanyaan-pertanyaan yang membelit benaknya. Ini saatnya ia
mengeluarkan, ketika ustaz Hasim memberi
kesempatan pada umat untuk bertanya. Mahko segera mengacungkan jari.
“Ya, Ustaz,
apakah seorang yang miskin seperti saya bisa naik haji?”
Ustaz Hasim
beristigfar. ”InsyaAllah. Tiada yang tidak mungkin jika Allah SWT berkehendak.”
Mahko
mengucapkan syukur. Beberapa jemaah mencibir padanya. Mahko pulang, sepanjang
perjalanan membayangkan jika ia memenuhi panggilan Allah, naik haji ke Mekkah.
* * *
Siang terik, Mahko
sedang mencangkul hendak menanam
pisang saat mata cangkulnya berpadu menyentuh sebuah benda keras.
Mahko terhenyak
meneliti benda yang tertanam cangkul,
mengobok-obok tanah merah di kebun
belakang tumah. Mahko terbeliak
memandang sebuah benda keras berkilau
berada di dalam tanah,
Mahko
mengeduk hati-hati dengan tangan, hingga benda semakin tampak. Berteriak, keras. Mahko memanggil sang istri
yang sedang menjemur pakaian di belakang rumah.
“Pari, gegaslah
kau ke sini. Kau lihatlah apa yang
kutemukan?”
Pari membantu
mengeduk, menggali tanah dengan jari-jari,
hingga benda keras seukuran telapak tangan
semakin terlihat. Mahko meyakinkan diri. Pari memandangi lekat-lekat.
Mahko gemetar mengambil benda berkilau, membersihkan serpih tanah yang
membelenggu. Prol-prol, serpihan tanah berjatuhan, benda semakin terlihat
jelas.
“Apa nih, Kak?”
“Kau lihatlah...
seperti emas.”
Mahko semakin
memandang lamat-lamat. Pari mengucek mata seraya setengah berteriak, ketika
Mahko buru-buru membekap pelan mulutnya.
“Em…em…emas.
Emas, emas...ini, Kak.”
“Iya, emas.
Emas. Lihat kita kaya. Kaya. Kaya!”
“Kak, jangan
keras-keras, nanti orang dengar dan geger!”
Sepasang suami
istri diam-diam mengambil benda berharga, harta karun-yang mereka temukan di
kebun, dibungkus dengan kain. Mereka
tengok kiri, tengok kanan, padahal saat
itu sepi, hari sore belum menjelang.
Setiba di dalam
rumah. Mahko sengaja mengunci pintu rumah. Mereka menyimpan benda temuan di
kamar tidur. Pari meletakkan bungkusan kain di atas gelaran tikar pandan. Kain
perlahan dan hati-hati dibuka, selubung
yang meliliti benda semakin terkuak. Mahko dan pari mengamati. Sejelas-jelasnya.
Sepuas-puasnya.
Benar,
benda berwujud mahkota terbuat dari emas. Mahko dan Pari gemetar menyentuh benda yang semakin terlihat berkilau
saat dibersihkan. Emas. Mahkota terbuat dari emas. Mahkota emas!
“Apa yang mesti
kita lakukan, Kak?”
“Kita berpikir
dululah.”
“Apa kita serahkan
pada pemerintah, supaya dipajang di museum.”
“Tak usah.”
“Kalau kita serahkan,
kita dapat uang, Kak.”
“Uang akan kita
dapatkan lebih banyak jika mahkota emas ini kita jual. Tanah dan kebun luas
kita beli. Kita bisa berangkat haji!”
* * *
Mahko
memperlihatkan mahkota emas temuannya pada
Samo, teman akrab, yang kebetulan bekerja sebagai kemasan, tukang
membuat perhiasan dari bahan emas.
Samo
terbeliak melihat mahkota emas yang terbuat dari
emas murni 24 karat.
“Benar, Mahko.
Benda ini, mahkota emas. Mahkota dari
emas murni. Lihatlah kilaunya, sangat cemerlang. Jika kau jual, kau akan kaya.
Kalian akan kaya raya!”
“Kau yakin ini mahkota
emas?”
“Tentu. Kau
tahu, aku pernah kerja jadi penambang emas. Aku yakin. Aku akan bantu jual mahkota emas ini. Bagaimana?”
“Tentu, Kawan.
Kau bantu jual, nanti kau dapat komisi.”
Mahko ditemani Samo menjual mahkota emas pada seorang juragan
emas, pemilik beberapa toko emas di kota Ujung Pasir. Mahko menghitung
uang hasil penjualan emas. Ia merasa tak percaya, dalam hidupnya memiliki uang sebanyak itu.
“Ada berapa jumlah
uang, Kak?” bisik Pari.
“3 M. Tiga
milyar. Kita kaya. Kita kaya!”
“Besok
kita beli perhiasan, Kak. Aku pengen kalung dan giwang emas.”
“Tentu.”
“Kita beli sawah Wak Haji Tomsin. Kabarnya ia butuh uang
untuk kawinan anaknya. Kita beli kebun yang luas. Kita tanam
mangga, rambutan, nangka, kakao, melinjo.”
“Tentu, Dik.
Sebagian uang kita simpan di bank. Kita daftar naik haji, atau umroh saja, supaya lebih cepat
berangkat.”
“Setuju, Kak. Aku pengen ke Mekkah. Aku pengen lihat makam Kanjeng Nabi Muhammad. Kita
cari biro yang keren, Kak. Kita naik haji, ajak Samo.”
* * *
Mahko, Pari dan
Samo berangkat naik haji. Semula mereka harus menunggu belasan tahun untuk bisa
segera berangkat. Berkat sogokan, uang pelicin, akhirnya mereka tak perlu
menunggu setahun, bisa segera berangkat. Naik haji ONH plus. Rasanya tak percaya, saat kaki menginjakkan kaki di bandara King Abdul Aziz. Bandara yang
megah. Mobil jemputan datang membawa calon jemaah haji
Mahko merasa
keharuan. Ia meneteskan air mata. Ia teringat saat berpamitan pada teman-temannya. Mahko menggelar pesta
dua hari. Menyembelih tiga ekor kerbau.
Mengundang ustaz terkenal yang sering muncul di teve. Para tetangga berjubelan
di halaman rumah barunya yang megah. Mereka mendoakan semoga Mahko dan Pari
menjadi haji mabrur.
Sebagian
tetangga berbisik-bisik tentang kehidupan
Mahko yang mendadak kaya. Ada yang
bergosip jika Mahko mendadak kaya karena ngopeni pesugihan.
Pari berkilah
jika Mahko mendapat rezeki nomplok, memperoleh warisan dari orangtuanya-nun seorang
terkaya di kota yang ukirannya terkenal seantero dunia.
Mahko tiba-tiba
merasa haus, ingin minum, tapi ia juga ingin kencing. Samo mengantar ke toilet.
Mahko tergopoh-gopoh memasuki kamar mandi.
Samo menunggu
di depan toliet. Lima menit. Sepuluh
menit. Setengah jam. Mengapa Mahko belum keluar juga.
Sementara itu,
di sebuah toilet perempuan, Pari seusai
buang air kecil, merasa tubuhnya gatal,
ia menggaruk-garuk tubuh, semakin gatal.
Gatal. Gatal. Ia memandang diri di
cermin. Ia menjerit! Pingsan.
Samo cemas. Ia
mengetuk pintu toilet. Seorang satpam kekar mendatanginya. “Ada apa, Bapak?
Apa yang bisa saya bantu?”
“Teman saya
berada di toilet sejak tadi. Ia belum keluar. Saya takut terjadi sesuatu.”
“Semoga temanmu
baik-baik saja.”
“Mahko-mahko,
kau tak apa-apa?”
Tak ada sahutan
dari dalam toilet. Samo semakin cemas. “Mahko...Mahko kau dengar
suaraku?!” Samo menggedor-gedor pintu
kamar mandi.
Orang-orang
berdatangan, merubung. Sebagian kebelet kencing. Sebagian ingin tahu:
ada apa di balik toilet? Apa yang terjadi dengan calon jamaah yang berada di
balik toilet? Mereka khawatir
jangan-jangan terjadi peristiwa buruk.
Semisal si dia terkena serangan jantung
saat pipis? Atau...
“Kita harus
lakukan sesuatu,” usul seseorang yang merasa berpikiran jernih.
“Tentu saja.
Saya sudah memanggilnya, tak ada sahutan, “gumam Samo.
“Saya sudah
meneleponnya, tak diangkat, padahal ponselnya aktif...”
“Kita dobrak
saja!” satpam memutuskan.
Beberapa orang kuat beraksi. Pintu terdobrak. Seekor
ular besar menerobos. Seekor ular besar bermahkota emas.
Kota
Ukir, 21 Januari 2016 - 12 Februari 2017
__________________
Kartika
Catur Pelita, lahir 11 Januari 1971. Karya berupa
cerpen, esai, dan puisi dimuat di Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Kartini,
Koran Merapi, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solo Pos, Radar Bojonegoro,
Sabili, Annida, Analisa Medan, Haluan Padang, Koran Rakyat Sultra, Joglosemar,
Lampung Pos, Soeara Moeria, Bangka Pos, Metro Riau, Republika, Media
Indonesia, Genie, dan Nova. Menulis buku
fiksi “Perjaka”, “Balada Orang-orang Tercinta” dan “Bintang Panjer Sore”.
Bermukim di Jepara dan bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar