Ular Bermahkota Emas - Soeara Moeria

Breaking

Jumat, 21 April 2017

Ular Bermahkota Emas



Ilustrasi Google
Cerpen Kartika Catur Pelita

“Orang naik haji itu seperti raja memakai mahkota. Hanya orang-orang pilihan yang bisa melakukan dan mendapatkannya. Ketika keimanan seorang muslim sudah mencapai takwa dalam makna sebenarnya, saat seseorang sudah mampu berperilaku sehari-hari seperti ajaran yang tertera dalam kitab suci Alquran  dan sunnah Rasul. Ketika seorang muslim sudah mampu  melakukan kebajikan  yang tercermin dalam lisan,  hati dan perbuatan, InsyaAllah mereka terpilih untuk naik haji. Allah akan memanggilnya, entah dengan  rezeki yang hanya Allah Swt yang tahu.”
   
Mahko terpekur di antara umat kala mendengar  pengajian pagi Subuh pada musala ujung kampung. Ustad Hasim sedang bersyiar tentang ibadah naik haji.

Mahko bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan yang membelit benaknya. Ini saatnya ia mengeluarkan,  ketika ustaz Hasim memberi kesempatan  pada umat untuk  bertanya. Mahko segera mengacungkan jari.
   
“Ya, Ustaz, apakah seorang yang miskin seperti saya bisa naik haji?
    
Ustaz Hasim beristigfar. ”InsyaAllah. Tiada yang tidak mungkin jika Allah  SWT berkehendak.”
    
Mahko mengucapkan syukur. Beberapa jemaah mencibir padanya. Mahko pulang, sepanjang perjalanan membayangkan jika ia memenuhi panggilan Allah, naik haji ke Mekkah.

* * *
   
Siang terik, Mahko sedang  mencangkul hendak menanam pisang  saat mata cangkulnya  berpadu menyentuh sebuah benda keras.

Mahko terhenyak meneliti benda yang tertanam  cangkul, mengobok-obok  tanah merah di kebun belakang tumah.  Mahko terbeliak memandang sebuah benda keras  berkilau berada di dalam tanah, 

Mahko mengeduk  hati-hati dengan tangan,  hingga benda semakin tampak.  Berteriak, keras. Mahko memanggil sang istri yang sedang menjemur pakaian di belakang rumah.
   
“Pari, gegaslah kau ke sini.  Kau lihatlah apa yang kutemukan?”
   
Pari membantu mengeduk, menggali tanah dengan jari-jari, hingga benda keras seukuran telapak tangan  semakin terlihat. Mahko meyakinkan diri. Pari memandangi lekat-lekat. Mahko gemetar mengambil benda berkilau, membersihkan serpih tanah yang membelenggu. Prol-prol, serpihan tanah berjatuhan, benda semakin terlihat jelas.

“Apa nih, Kak?”
   
“Kau lihatlah... seperti emas.”
   
Mahko semakin memandang lamat-lamat. Pari mengucek mata seraya setengah berteriak, ketika Mahko buru-buru membekap pelan mulutnya.
   
“Em…em…emas. Emas, emas...ini, Kak.”
   
“Iya, emas. Emas. Lihat kita kaya. Kaya. Kaya!”
   
“Kak, jangan keras-keras, nanti orang dengar dan geger!”
   
Sepasang suami istri diam-diam mengambil benda berharga, harta karun-yang mereka temukan di kebun, dibungkus  dengan kain. Mereka tengok kiri, tengok  kanan, padahal saat itu sepi,  hari sore belum menjelang.
   
Setiba di dalam rumah. Mahko sengaja mengunci pintu rumah. Mereka menyimpan benda temuan di kamar tidur. Pari meletakkan bungkusan kain di atas gelaran tikar pandan. Kain perlahan dan hati-hati dibuka, selubung  yang meliliti benda semakin terkuak. Mahko dan pari mengamati. Sejelas-jelasnya. Sepuas-puasnya.

Benar, benda  berwujud mahkota  terbuat dari emas.  Mahko dan Pari gemetar menyentuh benda yang semakin terlihat berkilau saat dibersihkan. Emas. Mahkota terbuat dari emas. Mahkota emas!
   
“Apa yang mesti kita lakukan, Kak?”
   
“Kita berpikir dululah.”
   
“Apa kita serahkan pada pemerintah, supaya dipajang di museum.”
   
“Tak usah.”
   
“Kalau kita serahkan, kita dapat uang, Kak.”
   
“Uang akan kita dapatkan lebih banyak jika mahkota emas ini kita jual. Tanah dan kebun luas kita  beli. Kita bisa  berangkat haji!”
                                                           
* * *
Mahko memperlihatkan mahkota emas temuannya pada  Samo, teman akrab, yang kebetulan bekerja sebagai kemasan, tukang membuat perhiasan dari bahan emas.
   
Samo terbeliak  melihat mahkota  emas yang terbuat  dari  emas murni 24 karat.
   
“Benar, Mahko. Benda ini, mahkota emas. Mahkota  dari emas murni. Lihatlah kilaunya, sangat cemerlang. Jika kau jual, kau akan kaya. Kalian akan kaya raya!”
   
“Kau yakin ini mahkota emas?”
   
“Tentu. Kau tahu, aku pernah kerja jadi penambang  emas. Aku yakin. Aku akan bantu jual mahkota  emas ini. Bagaimana?”
   
“Tentu, Kawan. Kau bantu jual, nanti kau dapat komisi.”
    
Mahko  ditemani Samo menjual  mahkota emas pada seorang  juragan  emas, pemilik beberapa toko emas di kota Ujung Pasir. Mahko menghitung uang hasil penjualan emas. Ia merasa tak percaya, dalam hidupnya  memiliki uang sebanyak  itu.
   
“Ada berapa jumlah uang, Kak?” bisik Pari.
   
“3 M. Tiga milyar. Kita kaya. Kita kaya!”
   
“Besok kita beli perhiasan, Kak. Aku pengen kalung dan giwang emas.”      
 “Tentu.”
    
“Kita beli  sawah Wak Haji Tomsin. Kabarnya ia butuh uang untuk  kawinan anaknya. Kita  beli kebun yang luas. Kita  tanam  mangga, rambutan,  nangka, kakao, melinjo.”
    
“Tentu, Dik. Sebagian uang kita simpan di bank. Kita daftar naik haji,  atau umroh saja, supaya lebih cepat berangkat.”

 “Setuju, Kak. Aku pengen ke Mekkah.  Aku  pengen lihat makam Kanjeng Nabi Muhammad. Kita cari  biro yang  keren, Kak. Kita  naik haji, ajak Samo.”
* * *

Mahko, Pari dan Samo berangkat naik haji. Semula mereka harus menunggu belasan tahun untuk bisa segera berangkat. Berkat sogokan, uang pelicin, akhirnya mereka tak perlu menunggu setahun, bisa segera berangkat. Naik haji ONH plus. Rasanya tak percaya, saat kaki menginjakkan kaki  di bandara King Abdul Aziz. Bandara yang megah. Mobil jemputan datang  membawa  calon jemaah haji

Mahko merasa keharuan. Ia meneteskan air mata. Ia teringat saat berpamitan  pada teman-temannya. Mahko menggelar pesta dua hari. Menyembelih tiga ekor  kerbau. Mengundang ustaz terkenal yang sering muncul di teve. Para tetangga berjubelan di halaman rumah barunya yang megah. Mereka mendoakan semoga Mahko dan Pari menjadi haji mabrur.
    
Sebagian tetangga berbisik-bisik tentang kehidupan Mahko yang mendadak kaya. Ada yang  bergosip jika Mahko mendadak kaya karena ngopeni pesugihan.

Pari berkilah jika Mahko mendapat rezeki nomplok, memperoleh warisan dari orangtuanya-nun seorang terkaya di kota yang ukirannya terkenal seantero dunia.
   
Mahko tiba-tiba merasa haus, ingin minum, tapi ia juga ingin kencing. Samo mengantar ke toilet. Mahko tergopoh-gopoh memasuki kamar mandi.
   
Samo menunggu di  depan toliet. Lima menit. Sepuluh menit. Setengah jam. Mengapa Mahko belum keluar juga.
   
Sementara itu, di sebuah toilet perempuan, Pari  seusai buang air  kecil, merasa tubuhnya gatal, ia menggaruk-garuk  tubuh, semakin gatal. Gatal. Gatal. Ia memandang diri  di cermin. Ia menjerit! Pingsan.
    
Samo cemas. Ia mengetuk pintu toilet. Seorang satpam kekar mendatanginya. “Ada apa, Bapak? Apa yang bisa saya bantu?”
  
“Teman saya berada di toilet sejak tadi. Ia belum keluar. Saya takut terjadi sesuatu.”
  
“Semoga temanmu baik-baik saja.”
  
“Mahko-mahko, kau  tak apa-apa?”
   
Tak ada sahutan dari dalam toilet. Samo semakin cemas. “Mahko...Mahko kau dengar suaraku?!”  Samo menggedor-gedor pintu kamar mandi.
   
Orang-orang berdatangan, merubung. Sebagian kebelet kencing. Sebagian ingin tahu: ada apa di balik toilet? Apa yang terjadi dengan calon jamaah yang berada di balik toilet? Mereka  khawatir jangan-jangan terjadi  peristiwa buruk. Semisal  si dia terkena serangan jantung saat pipis? Atau...
  
“Kita harus lakukan sesuatu,” usul seseorang yang merasa berpikiran jernih.
  
“Tentu saja. Saya sudah memanggilnya, tak ada sahutan, “gumam Samo.

“Saya sudah meneleponnya, tak diangkat, padahal ponselnya aktif...”
  
“Kita dobrak saja!” satpam memutuskan.
    
Beberapa  orang kuat beraksi. Pintu terdobrak. Seekor ular besar menerobos. Seekor ular besar bermahkota  emas.
                                                               
Kota Ukir, 21 Januari 2016 - 12 Februari 2017
__________________
Kartika Catur Pelita, lahir 11 Januari 1971. Karya berupa cerpen, esai, dan puisi dimuat di Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Kartini, Koran Merapi, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solo Pos, Radar Bojonegoro, Sabili, Annida, Analisa Medan, Haluan Padang, Koran Rakyat Sultra, Joglosemar, Lampung Pos, Soeara Moeria, Bangka Pos, Metro Riau, Republika, Media Indonesia,  Genie, dan Nova. Menulis buku fiksi “Perjaka”, “Balada Orang-orang Tercinta” dan “Bintang Panjer Sore”. Bermukim di Jepara dan bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar